Untuk kesekian kali, terjadi penyerangan terhadap warga Ahmadiyah. Kali ini terjadi di Desa Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, Minggu (6/2/2011). Tiga orang tewas dan lima lainnya luka-luka. Polisi tengah sibuk mendalami kasus ini meskipun kita tidak bisa memastikan apakah mereka akan cukup punya keberanian untuk bertindak tegas setelah menemukan fakta-fakta.
Adalah sebuah ironi bahwa pada saat penyerbuan terjadi, tengah digelar acara Pekan Kerukunan Beragama (Interfaith Harmony Week) di Istora Senayan. Acara itu, yang dihadiri sejumlah politikus dan tokoh lintas agama, bertujuan mulia, yaitu mempromosikan toleransi beragama. Namun, kerusakan dan bolong-bolong dalam penegakan hukum kita telah memberikan peringatan berharga kepada semua pihak.
Toleransi sama sekali tidak cukup dibicarakan dalam seremoni-seremoni antartokoh, dalam berbagai perayaan, atau dengan berlembar-lembar pernyataan sikap. Skala kekerasan mengatasnamakan agama yang terus muncul menunjukkan sikap toleran harus ditegakkan secara tegas tanpa tawar-menawar, justru di saat prilaku intoleransi merajalela.
Bagi pemerintah dan penegak hukum, toleransi dalam berkeyakinan adalah harga mati jika memang ingin menegakkan konstitusi dan menjaga Republik. Jika tidak, toleransi seperti menjadi sebuah hidangan yang hambar, bahkan basi, di atas meja makan di sebuah negeri yang penegak hukumnya mandul dalam melindungi hak orang untuk berkepercayaan.
Dalam pernyataannya beberapa jam setelah penyerbuan terjadi, Presiden menyatakan prihatin atas kejadian itu. Adanya kontinuitas kekerasan dan tewasnya tiga orang dalam kejadian ini, sayang sekali, tidak mengubah banyak hal dalam pernyataan Presiden. Presiden (selalu) hanya prihatin. Presiden tidak pernah marah. Presiden tidak pernah menyatakan dirinya malu kepada dunia atas kejadian ini.
Presiden tidak pernah menyatakan ‘enough is enough’ (cukuplah sudah) terhadap musuh-musuh Republik ini. Presiden tidak pernah menyatakan hatinya sakit dan luka parah melihat fondasi Republik, yang susah payah ditegakkan di atas korban ratusan ribu nyawa pejuang, diinjak-injak. Apakah korbannya tiga orang tewas, dua orang luka-luka, sebuah gereja terbakar, satu panti asuhan ditutup, atau seorang pendeta ditusuk, Presiden tetap menyatakan ‘prihatin’.
Saya prihatin dengan pernyataan ‘prihatin’ Presiden. Harus berapa lagi jatuh korban dengan cara yang memprihatinkan hingga akhirnya Presiden bersedia untuk tidak lagi prihatin, tetapi ‘marah’? Harus berapa kali lagi ada kejadian serupa sebelum Presiden siap untuk memanggil Kapolri dan Menteri Hukum dan HAM dan memberi perintah yang pantang dibantah: bubarkan ormas-ormas kriminal yang mengatasnamakan agama.
Ada sebuah pepatah Jawa yang indah: sabdo pandito ratu tan kena wola-wali, sepisan ngucap sepisan dadi (titahnya pemimpin tidak boleh berubah-ubah, sekali berucap maka jadilah). Presiden tinggal berucap marah maka para pembantunya akan membuat marah itu ‘terjadi’.
Menunggu kemarahan Bapak Presiden rasanya mirip seperti menunggu Godot, tokoh dalam drama tenar Samuel Becket yang ditunggu lama oleh banyak orang, tapi tidak datang-datang juga. Mungkin kejadian-kejadian seperti di Pandeglang dan sikap pemerintah itulah yang turut memicu kritik keras para pemimpin agama terhadap kinerja pemerintah belum lama berselang.
Kemarahan yang muncul dari berbagai pihak menjadi bukti bahwa di kalangan umat Islam tindak premanisme yang mengatasnamakan Islam adalah sesuatu yang memalukan, jahiliah, nyaris memuakkan. Reaksi itu membuktikan organisasi pegiat kekerasan yang mengatasnamakan Islam dilihat sebagai musuh bersama, musuh Republik, musuh bangsa. Kegelisahan dan rasa khawatir terhadap situasi kekerasan yang kian tidak terkendali dan nyaris leluasa ini dirasakan juga oleh warga muslim, bukan hanya muncul di kalangan umat nonmuslim dan Ahmadiyah.
Meskipun tentu ada saja kemunculan pernyataan yang seakan memberi lampu hijau terhadap tindak kekerasan, sebagaimana yang disampaikan Majelis Ulama Indonesia bahwa penyerbuan yang mengakibatkan kematian itu sebagai bentuk fighting back. Seolah publik dianggap lupa bahwa kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di hampir setiap tempat adalah sebagai korban penyerbuan/penyerangan dan bukan sebagai pihak yang menyerang.
Adalah tidak masuk akal bahwa segelintir orang, yang mewakili segelintir warga, selama sekian tahun mampu eksis menebar teror, menyebar kebencian, memanen kekerasan, tidak hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai kota di seluruh Indonesia, dan tetap berjaya sampai detik ini, tanpa mendapat tindakan hukum yang berarti.
Saya merindukan Gus Dur. Bukan hanya Gus Dur dalam arti kehadiran fisik, melainkan Gus Dur dalam makna tindakan, sikap, dan perkataan yang ngotot dan pantang surut mengawal toleransi kapan pun, di mana pun, dalam kondisi apa pun. Gus Dur dalam bentuk kesiapan menyampaikan ketegasan yang memang harus disampaikan jika ada hak berkeyakinan yang terusik. Yang tidak pernah ragu mengirim Banser untuk melindungi ibadah warga nonmuslim karena memang tidak bisa banyak berharap pada aparat.
Gus Dur, yang menjadi semacam personifikasi negara, yang ketegasannya dibutuhkan, dirindukan, di saat kekerasan dan sikap mau menang sendiri merajalela. Yang menjadi semacam harapan dan impian tentang bagaimana seharusnya sebuah negara dan pemerintah melindungi hak warganya untuk memiliki keyakinan.
Rasanya tidak sulit membayangkan wajah Republik dan tampilan demokrasi kita dalam dua-tiga tahun ke depan, jika hal-hal seperti ini tidak ditangani secara tuntas. Suram, kelam, dan remang-remang. Eskalasi kekerasan meningkat, intoleransi dalam cara hidup sehari-hari merajalela, sementara situasi ekonomi belum mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan yang merata.
Mungkin saja Presiden memang tidak merasa (perlu) marah dengan kejadian hari ini. Namun, apakah Presiden tidak merasa (perlu) khawatir dengan kenyataan di masa mendatang?
*Artikel ini dimuat cetak pertama kali di Media Indonesia, 8 Februari 2011.
Sumber: santrigusdur.com