Akhir tahun 2013 silam, beberapa ulama Afghanistan berkunjung ke kantor PBNU, lalu ke Universitas Gadjah Mada, kemudian ke kantor PWNU Jawa Timur. Mereka berasal dari berbagai suku dan kelompok di negara yang sering tercabik perang tersebut. Lalu, buat apa mereka datang jauh-jauh dari Afghanistan?
Pertama, mereka ingin belajar dari umat Islam Indonesia yang dianggap merepresentasikan Islam rahmatan lil alamin. Bagi mereka, NU sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan dianggap memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mereka ingin belajar mengenai aspek pemersatu dalam kontek kebangsaan yang plural. Intinya, mereka ingin memiliki semacam Pancasila yang mampu mempersatukan bangsa dan melekatkan lem perbedaan menjadi sebuah harmoni perdamaian. Ya, mereka capek berperang dan ingin damai! Ketiga, mereka ingin meniru semangat NU dalam memperjuangkan “Islam Ramah, bukan Islam Marah” dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara maupun peranan NU dalam dunia internasional.
Tidak sampai enam bulan dari kunjungan resmi tersebut, terbetik kabar jika para ulama ini kemudian secara resmi membentuk “Nahdlatul Ulama Afghanistan”. Penggunaan nama ini juga telah mendapatkan persetujuan dari PBNU. Meski secara organisatoris tidak ada keterikatan secara administratif, namun secara ideologis dan semangat keagamaan dan kebangsaan, mereka benar-benar terilhami dari NU Indonesia. Lambang mereka sama sekali tidak mirip NU. Hanya punya kesamaan di bola dunia dan bintang. Bintangnya juga tidak berjumlah sembilan seperti NU, melainkan hanya lima yang melambangkan tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), I’tidal (adil), dan musyarakah (partisipatif).
Setelah kunjungan perdana tersebut, pada bulan Maret 2015 silam, beberapa ulama Afghanistan berkunjung lagi ke Indonesia. Kali ini PWNU Jawa Tengah menjadi tempat belajar. Di sana, mereka mendiskusikan banyak hal dengan jajaran pengurus PWNU Jawa Tengah. Termasuk pada upaya perdamaian di negaranya yang mulai terwujud—di antaranya melalui pemilu—meski beberapa kali diganggu oleh aksi Taliban, dan saat ini mulai muncul ISIS.
Selain itu, mereka juga belajar bagaimana mendialogkan antara agama dan negara, sebab di negaranya, pihak-pihak yang bertikai masih saja berkutat soal benturan ideologis dan tarik menarik antara wilayah agama dan kewenangan negara. Tak ada titik temu. Bagi mereka, NU memikat karena organisasi inilah yang pada tahun 1983 “menyudahi” perdebatan seputar hubungan Islam dan negara, serta pada tahun 2006 merumuskan konsepsi NKRI sebagai sesuatu yang sudah final.
Dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, 21 Desember 1983, ketika masih banyak yang meragukan komitmen NU dan umat Islam dalam bernegara, serta di saat Pancasila hanya menjadi tameng sekaligus “alat gebuk”-nya Pak Harto, NU berusaha mendudukkan kembali hakikat Pancasila dalam sebuah deklarasi hubungan Islam dan Pancasila yang berbunyi, “Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.” Selain itu, terdapat pula kalimat yang termuat dalam butir keempat dalam rumusan tersebut, “Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya”.
Dalam kacamata historis-sosiologis, menurut KH. Achmad Siddiq, Rais Aam Syuriah PBNU (1984-1991), NKRI yang berdasarkan Pancasila dipandang sebagai wasilah (sarana) untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, Pancasila bisa diterima karena fungsinya sebagai mu’ahadah atau mitsaq, sebuah kesepakatan antara umat Islam dengan golongan lain di Indonesia untuk mendirikan negara. Oleh karena itu, NKRI merupakan upaya final yang bisa dicapai dalam kesepakatan seluruh bangsa, termasuk kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Ini berarti pengakuan bahwa negara ini didirikan dengan kesepakatan atau mitsaq antara umat Islam dengan golongan lain. Sebagai mitsaq, sejauh hal itu bisa dicapai, umat Islam bertanggung jawab, demikian pula kelompok lain, untuk memegang teguh kesepakatan itu (Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, hlm. 345).
Melihat kondisi Afghanistan, Libya, Suriah, dan Somalia yang tercabik perang saudara, kita bersyukur apabila sampai saat ini Indonesia masih damai. Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara masih relevan sebagai pemersatu dan pengikat keberadaan banyak agama, etnis, dan golongan di negara kita. Indonesia memang bukan sebuah negara sempurna, namun tetap harus dijaga keberlangsungannya. Sebab, tegaknya Indonesia adalah bagian dari wasilah alias sarana membumikan nilai-nilai Islam serta menjadi sebuah wadah tempat umat Islam dan umat beragama lain menjalankan agamanya secara damai dan nyaman.
Namun di saat Afghanistan ingin belajar menjaga perdamaian dari Indonesia, sebaliknya ada orang Indonesia yang seperti sudah capek hidup damai. Mereka ingin berperang. Langkah awalnya membuang Pancasila dan menaburkan benih-benih ekstremisme. Yang capek berperang ingin damai, yang sudah hidup dalam kedamaian malah ingin perang saudara!
Wallahu A’lam Bisshawab.
Sumber: islami.co