Beberapa waktu yang lalu, sempat viral di medsos ajakan untuk menolak feminisme oleh sekelompok masyarakat melalui tagar #IndonesiaTanpaFeminis dan #UninstalFeminis. Tentu saja, seperti biasa pro dan kontra pun terjadi. Tulisan ini bukan untuk membicarakan pro dan kontra tersebut karena sudah banyak yang membahasnya. Sebaliknya, tulisan ini ingin mengenalkan seorang tokoh perempuan Sunda yang terlupakan, yang selama hidupnya begitu gigih memperjuangkan nasib perempuan. Salah satu sumbangsih pentingnya adalah UU Perkawinan tahun 1974, saat ia duduk sebagai anggota DPR.
Namanya, Emma Poeradiredja (1902-1976). Ia lahir di Cilimus, Kuningan, pada 13 Agustus 1902. Ia adalah sosok yang lengkap: pekerja sosial, aktivis pergerakan, tokoh emansipasi perempuan, dan politisi. Pada masa hidupnya, ia adalah sosok yang banyak berkiprah untuk menyuarakan masalah perempuan. Kegigihannya memperjuangkan isu-isu perempuan itu menjadikannya seorang tokoh emansipasi yang layak diperbincangkan.
Secara singkat, dapat diceritakan bahwa Emma telah menjadi aktivis sejak usia belia, pada usia 16 tahun saat duduk kelas 1 MULO, dan tak pernah berhenti berkiprah hingga akhir hayatnya di usia 73 tahun.
Ia adalah perempuan pribumi pertama yang menjadi anggota Dewan Kota Bandung/Gemeenterad (1938-1942), pendiri Pasundan Istri/PASI (1930), terlibat aktif dalam Kongres Pemuda I dan II (1926 & 1928), ketua pada Kongres Perempuan Indonesia III tahun 1938 di Bandung (yang kemudian melahirkan peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember), pegawai yang sangat berdedikasi pada Jawatan Kereta Api dengan mendirikan berbagai yayasan, dan seorang nasionalis sejati.
Di saat pendidikan bagi kaum pribumi, terlebih bagi perempuan, masih sangat sulit, Emma berhasil melalui berbagai jenjang pendidikan, yang membawanya menjadi aktivis di berbagai organisasi pemuda saat itu. Saat masih duduk di kelas satu MULO (1917), Emma sudah menjadi anggota Bond Inlandsche Studeerenden (BIS).
Kemudian tahun 1918, ia bergabung dengan Jong Java, sebuah organisasi yang mengenalkannya pada gagasan-gagasan mengenai kesetaraan dari para tokoh pergerakan nasioal pada awal abad kedua puluh. Pada saat yang sama, ia juga mulai aktif di Paguyuban Pasundan, sebuah organisasi yang memperjuangkan gagasan-gagasan nasional, meski namanya terdengar lokal.
Pada masa 1925-1926, Emma aktif di berbagai organisasi kepemudaan, seperti Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925, menjadi ketua atau voorzitster JIB cabang Bandung pada 1926, sekaligus menjadi ketua Natipij (National Islamieten Padviderij), yaitu organisasi kepanduan yang didirikan oleh JIB, yang ia ikuti sejak tahun 1925 sampai tahun 1940.
Diilhami dari Kongres Pemuda Indonesia I, pada tahun 1927, Emma bersama teman-temannya di Bandung mendirikan sebuah organisasi intelektual khusus perempuan bernama Dameskring, yang bertujuan untuk memupuk dan membina kepemimpinan perempuan dalam rangka turut menyuarakan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Anggotanya terdiri dari para perempuan muda terpelajar dari berbagai suku bangsa yang berusia 17-23 tahun. Selanjutnya, melalui organisasi yang didirikannya, Pasundan Istri (PASI), ia turut memperjuangkan reformasi politik berupa ‘hak dipilih dan memilih bagi kaum perempuan’ yang saat itu tidak pernah diberi ruang.
Pelopor Kesetaraan
Ketika ia menjadi Ketua JIB cabang Bandung pada tahun 1926 (usia 24 tahun), dapat dikatakan ia telah memosisikan diri sebagai pelopor kesetaraan. Tentu tidak mudah menjadi pemimpin sebuah organisasi pemuda Islam pada era ketika kesempatan perempuan untuk mendapatkan pendidikan saja masih susah. Belum lagi pandangan soal kepemimpinan perempuan dalam Islam yang masih sering diperdebatkan. Tetapi, Emma telah berhasil menerobos sekat-sekat gender dengan memimpin sebuah organisasi Islam dengan anggota laki-laki dan perempuan.
Posisinya sebagai ketua JIB itu pulalah yang membawanya aktif pada Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928). Pada forum itu, ia banyak menyuarakan isu-isu terkait pendidikan dan perempuan.
Situasi lain yang menunjukkan sikapnya sebagai pelopor kesetaraan adalah saat ia bekerja sebagai pegawai Jawatan Kereta Api (1922-1959). Pada tahun 1922, ketika ia mulai bekerja di Jawatan Kereta Api yang saat itu milik pemerintah kolonial, ia menghadapi dua tantangan sekaligus:
Pertama, tatanan struktur sosial kolonial yang menempatkan pribumi sebagai warga kelas dua. Kedua, pekerjaan di jawatan Kereta Api bisa dibilang sebagai ‘dunia laki-laki’. Artinya, ia berhadapan dengan kolonialisme dan feodalisme sekaligus. Tentu, itu bukan hal yang mudah. Untungnya, ia berada pada sebuah lingkungan sosial masyarakat Sunda, khususnya dalam keluarganya, yang memberikan ruang yang sama antara laki-laki dan perempuan. Ia adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluarga.
Berbasis Kearifan Lokal
Ada hal menarik terkait gagasan-gagasannya mengenai pemberdayaan perempuan, yakni pemikirannya yang didasarkan pada nilai-nilai budaya Sunda. Jika pemikiran feminisme kerap diidentikkan dengan pemikiran Barat, maka secara sadar Emma menggunakan pengetahuan kearifan lokalnya yang kaya untuk berbicara di hadapan publik terkait isu pemberdayaan perempuan, seperti posisi perempuan dalam keluarga maupun negara.
Kekayaan bacaannya pada karya-karya sastra Sunda lama, seperti carita pantun dan wawacan itu memperkaya pandangan-pandangannya mengenai perempuan dan pemikiran-pemikiran sosial-politik lainnya. Dalam mengenalkan konsep pemberdayaan perempuan, ia kerap merujuk pada kekayaan literatur budaya dan sastra Sunda lama yang menempatkan perempuan pada posisi terhormat. Misalnya, ia merujuk pada Wawacan Sulanjana yang mengisahkan bagaimana padi berasal dari perempuan. Artinya, perempuan adalah sumber kehidupan. Ia pun mencontohkan bagaimana di pedesaan para istri kerap menjadi penentu secara politis bagi para suami untuk terlibat aktif pada kegiatan tertentu, seperti pada ungkapan, “Ah, abdi mah kumana pun bojo” (Saya mah terserah istri saja). Contoh lain, dalam budaya Sunda, penyebutan kepada audiens saat di depan khalayak adalah Ibu/Bapak, menyebut Ibu dulu baru Bapak. Bukan sebaliknya. Misalnya, “Yang terhormat Ibu dan Bapak.”
Dalam gagasan terkait peran perempuan di tengah masyarakat, ia pun kerap menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah patner dalam membangun masyarakat maupun keluarga secara bersama-sama. Karena perempuan adalah penyangga sebuah bangsa, maka memuliakan sebuah bangsa berarti haruslah juga memuliakan perempuannya.
Dengan demikian, gagasan-gagasan Emma, yang sering disampaikan dalam pidato-pidatonya (yang umumnya berbahasa Sunda) di depan khalayak itu mudah dipahami dan diterima. Emma adalah seseorang yang mampu berbicara dari sudut pandang masyarakat dengan pengetahuan kelokalannya.
Sumber: alif.id