Laporan utama muka harian Kompas pada 2 September 2020 cukup menegangkan: ”Bersiap yang Terburuk, Berharap Terbaik”. Artikel tersebut mengabarkan betapa Indonesia berpotensi menuju titik di mana pandemi Covid-19 tidak bisa dikendalikan.
Menariknya, data dan informasi yang begitu gamblang di harian yang memiliki daya jangkau terbesar di Indonesia ini seakan tenggelam di tengah kesibukan warga bangsa. Tidak terjadi perubahan yang berarti walaupun angka-angka pandemi tajam menanjak.
Pekan ini, konfirmasi kasus positif Covid-19 telah mencapai 4.000 kasus per hari walaupun tidak ada peningkatan signifikan pada angka pengetesan PCR. Kematian positif Covid-19 telah melewati angka 10.000 jiwa, sejak awal September telah melampaui rerata angka 100 orang per hari.
Semua informasi ini tersedia di media sosial dan media massa, lengkap dengan cara pencegahan penularan virus korona. Namun, adaptasi kebiasaan baru hanya menyentuh sebagian warga saja. Sebagian masyarakat bergeming. Walaupun secara formal masih ada pembatasan, kehidupan telah kembali berjalan normal bagi sebagian besar orang: berkerumun, tak bermasker, dan saling menyentuh. Tak heran demikian tajam peningkatan angka-angka terkait pandemi.
Beberapa ahli menilai sikap dan perilaku masyarakat sedemikian dipengaruhi oleh mental model yang meyakini takdir Tuhan tak dapat diganggu gugat dan sebagai makhluk ciptaan kita hanya dapat bersikap pasrah dan berserah diri. Kepasrahan memang salah satu ciri masyarakat Nusantara yang cukup kuat, bahkan sampai saat ini.
YB Mangunwijaya dalam sebuah kesempatan seminar Indigenous Psychology (1994) menyatakan, falsafah nrimo ing pandum (pasrah menerima keadaan) sejatinya menjadi cara pandang orang Indonesia untuk beradaptasi terhadap segala keterbatasan yang ada. Menurut Romo Mangun, falsafah ini bahkan mulai dinarasikan ketika kesultanan Mataram mengalami kekalahan dari penjajah Belanda saat itu, sebagai adaptasi dari watak prajurit menjadi watak nrimo.
Kepasrahan ini menyebabkan warga masyarakat mengabaikan protokol kesehatan pencegah Covid-19. Mereka meyakini Tuhan telah menentukan apakah mereka akan terkena Covid-19 atau tidak karena itu tidak ada gunanya terlalu resah dan membatasi diri. Agaknya, mereka melupakan bahwa Tuhan yang Maha Berkehendak juga memperhitungkan usaha yang dilakukan oleh makhluk-Nya.
Yang tidak banyak dikaitkan dengan sikap mental terhadap Covid-19 adalah kecenderungan egosentris warga Indonesia. Egosentrisme bukanlah egoisme, yaitu dorongan untuk memuaskan ego dengan berfokus pada kepentingan sendiri semata. Orang egois tidak cukup peduli pada kepentingan orang lain, bahkan memiliki dorongan untuk memanfaatkan orang lain demi mendapatkan keinginannya.
Menurut psikolog kampiun Jean Piaget (1958), egosentrisme adalah kecenderungan individu untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Ini karena individu memiliki keterbatasan pemahaman tentang ”diri”, tidak memiliki kemampuan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Contohnya, seorang anak melihat ayahnya menangis, lalu memberikan boneka kepada ayahnya karena ia hanya mampu melihat dari pengalamannya: boneka membuatnya bahagia.
Sebagai bagian proses perkembangan intelektual, egosentrisme memuncak saat individu mencapai masa remaja, lalu menurun saat beranjak dewasa. Individu mulai mampu berpikir abstrak sehingga dapat berempati kepada orang lain melalui imajinasi dan kesadaran sosial. Saat individu memasuki usia lanjut, sikap egosentris akan kembali menguat. Namun, menurut Frankenberger (2000), egosentrisme masih ditemui pada sebagian orang dewasa.
Egosentrisme masyarakat indonesia tidak disebabkan oleh pandemi Covid-19. Sebaliknya, semakin parahnya situasi pandemi ini disumbang oleh sikap egosentris masyarakat yang telah lama mengakar. Egosentrisme membuat individu tidak mampu mengukur tindakannya, terutama terkait dengan kepentingan orang lain di sekitarnya.
Sebagai contoh, saat antrean naik ke dalam pesawat, sering kali penumpang yang membawa ransel tidak dapat mengukur ruang fisiknya. Akibatnya, ransel tersebut mengenai atau bergesekan dengan orang lain tanpa sengaja. Atau anak remaja pengguna narkoba yang yakin ia tidak akan menyandu karena ia mampu mengendalikan situasi. Contoh lain lagi adalah pengendara sepeda motor di jalan raya yang berjalan zig-zag, ia tidak menyadari bahwa ia membahayakan orang lain.
Dalam konteks pandemi, protokol kesehatan tidak dilakukan bukan karena mereka seenak hati, melainkan karena mereka meyakini bahwa mereka akan baik-baik saja. Mereka tidak takut tidak bermasker atau berdekatan dengan orang lain.
Kesadaran mereka didominasi pemikiran ”orang lain tertular virus ini entah karena apa, nyatanya sampai sekarang saya baik-baik saja”. Persis seperti seorang perokok yang meyakini ia tak mungkin mengalami emfisema.
Diperlukan sebuah social engineering untuk menggeser sikap egosentris ini, sebagaimana di dalam psikologi perkembangan dapat dilakukan strategi menurunkan egosentrisme pada level individu. Dalam konteks pandemi, program perubahan perilaku perlu mempertimbangkan kecenderungan dimaksud. Salah satunya dengan mengkapitalisasi ciri watak welas asih yang juga cukup kuat pada bangsa kita. Narasi-narasi pendidikan masyarakat perlu disesuaikan sehingga dapat mengetuk hati dan mengubah cara pandang anggota masyarakat kita.
Kecenderungan egosentris dan tafsir yang kurang tepat atas takdir adalah perpaduan yang fatal dalam konteks epidemi Covid-19. Ia yakin, ia akan baik-baik saja dan tidak membahayakan orang lain, dilengkapi keyakinan akan takdir Tuhan. Diperlukan kerja keras dan kreativitas untuk mengatasi keyakinan ini.
Bila tidak, kita akan menjadi orang tak waras, sebagaimana diisyaratkan Einstein: ketidakwarasan adalah saat kita terus melakukan hal yang sama, tetapi mengharapkan hasil yang berbeda.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 27 September 2020)
Sumber: kompas.id