Kawan Saya Membangun Gereja dan Dia Tetap Muslim

Seorang kawan pernah begitu bersemangat ikut membangun gereja ketika menjalani KKN. Saat itu warga di desa yang kami tinggali memang belum memiliki gereja sendiri. Mereka mesti pergi ke gereja di desa tetangga untuk menjalankan ibadah mingguan.

Saya ingat betul jadwal gotong royong warga untuk membangun gereja berlangsung tiga kali dalam seminggu. Pada tiap agenda gotong royong tersebut, kawan satu ini selalu datang ke gereja dari pagi sampai sore. Dia bersemangat membantu pekerjaan fisik apapun yang dapat dia kerjakan. Seringnya saya melihat dia berpeluh mengangkut ember-ember berisi adukan semen dan pasir.

Sebagai muslim yang baik, dia tetap menyempatkan mampir ke basecamp saat tengah hari untuk menjalankan salat dzuhur. Lalu setelah itu dia kembali lagi ke gereja. Dia baru pulang untuk beristirahat saat hari sudah sore dan semua warga yang ikut gotong royong juga sudah pulang ke rumah.

Jujur saja, saya dan kawan-kawan lainnya hanya sekali-dua kali ikut dalam gotong royong ini. Bukannya apa, ketika itu kami menjalani KKN di bulan Ramadhan. Pekerjaan fisik seperti ini sudah tentu menghabiskan energi dan menciutkan mental kami.

Dari pada harus terlibat dalam pekerjaan yang menguras tenaga, kami bersiasat mengerjakan pekerjaan lain yang lebih ringan porsi fisiknya. Misalnya mengajar anak-anak di sekolah atau berkeliling desa untuk pendataan penduduk. Namun harus diakui, mental kawan satu ini memang lain dari yang lain.

Satu hari saya pernah iseng-iseng bertanya, mengapa dia sebagai muslim kok bisa begitu bersemangat membangun gereja. Tak dinyana, dia cuma menukas enteng, “Lah ning kene onone grejo.” (Lah disini yang ada gereja)

Jawaban yang sederhana tapi lugas. Ia bisa menyampaikan pandangannya terhadap tempat ibadah agama lain tanpa argumen ndakik-ndakik. Dia tidak menyitir dalil-dalil atau menyuapi saya dengan definisi toleransi. Bahkan dia tidak merasa heroik dengan aksinya ikut membangun gereja. Dia menganggap tindakannya itu biasa-biasa saja.

Sikap inilah yang jarang saya temui di negeri ini. Sebab bagi masyarakat Indonesia, toleransi kerap dipahami sebagai tindakan saling membiarkan satu sama lain. Bisa jadi kita tahu ada orang-orang yang berbeda identitas di sekitar kita, namun kita tidak membuka komunikasi dengan mereka. Sebab kita tidak tertarik untuk mengenal mereka. Kita tidak merasa perlu tahu seperti apa karakter dan identitas mereka. Asalkan aktivitas mereka tidak mengganggu kita, cukup sudah. Dengan tindakan begitu, kita sudah merasa diri toleran.

Walhasil, toleransi hanya dimaknai sebagai sikap pasif. Sikap untuk menjaga jarak antara kita dan mereka yang berbeda identitas. Minim tegur sapa dan nihil dialog.

Pemahaman toleransi pasif ini menemui konteksnya dengan merebaknya kasus intoleransi yang menonjol sepanjang September. Bulan yang menurut Vina Panduwinata mestinya menjadi bulan yang ceria, kini malih rupa menjadi bulan yang kelabu. Setidaknya di bulan ini sudah terjadi empat kasus intoleransi terhadap umat Kristen di empat lokasi berbeda.

Kisah terbaru datang dari Jonggol, kabupaten Bogor dan desa Ngastemi, kabupaten Mojokerto. Sekelompok warga di kedua tempat tersebut sama-sama menolak kegiatan ibadah yang dilakukan oleh umat Kristen yang minoritas di sana.

Alasannya karena kegiatan ibadah tersebut dilakukan di rumah warga, bukan di gereja. Ironisnya, warga di kedua lokasi tersebut juga menolak pembangunan gereja berbekal argumen klasik: Umat Kristen di wilayah tersebut belum bisa memenuhi persyaratan yang diatur dalam SKB dua menteri.

Benar-benar buah simalakama. Ingin beribadah di gereja, tak punya gereja. Ingin beribadah bersama di rumah jemaat, masih juga kena persekusi.

Hal seperti ini yang akan terus terjadi apabila kita kukuh mengamini definisi toleransi pasif. Kita merasa sudah toleran dan aksi tersebut sebatas meminta umat Kristen mematuhi regulasi yang ada. Namun, ketika mereka berusaha memenuhi persyaratan yang diminta regulasi, kita ikut mempersulitnya juga.

Contoh paling mudahnya saja, kita sibuk memelototi dengan detil siapa saja umat muslim yang bersedia menandatangani surat pernyataan tidak keberatan untuk membangun gereja, sehingga warga yang tadinya biasa-biasa saja, akhirnya merasa tidak nyaman memberikan dukungan terhadap pembangunan gereja.

Kita lupa dengan kenyataan bahwa dengan atau tanpa tempat ibadah, umat beragama lain pun juga memiliki kewajiban beribadah. Sebagaimana umat muslim yang tetap wajib beribadah sekalipun tidak memiliki masjid. Kita terlihat peduli dengan regulasi, tetapi kita mengabaikan hak asasi umat beragama lain hanya karena egoisme kita.

Maka yang kita butuhkan saat ini adalah toleransi aktif. Toleransi yang berdasarkan sikap mau mengetuk pintu rumah orang lain untuk berkenalan dengan mereka. Aktif mengenal serta menjalin kedekatan dengan orang yang berbeda dengan kita. Memberikan pemakluman atas hal-hal yang mungkin saja sedikit mengganggu kenyamanan kita. Namun hal tersebut menjadi kebutuhan mendasar bagi mereka.

Dengan pemahaman demikian, mestinya semua warga saling mendukung supaya umat muslim dan umat Kristen sama-sama dapat menjalankan ibadahnya dengan perasaan tenang dan aman. Pun ada upaya saling mendukung agar umat muslim dan umat Kristen bisa memiliki tempat ibadah yang representatif bagi kebutuhannya masing-masing.

Toh umat muslim di Jonggol dan desa Ngastemi tidak perlu juga sampai repot-repot membangun gereja seperti kawan saya. Berbekal pemahaman toleransi aktif, warga di sana dapat ikut mencari tahu seperti apa kesulitan yang dihadapi umat Kristen dalam pembangunan gereja. Lantas sebisa mungkin warga mendukung proses pengurusan dokumen-dokumen persyaratan yang dibutuhkan.

Kalaupun warga merasa malas membantu sejauh itu, sekadar tidak mempersekusi orang-orang yang beribadah di rumah, rasanya, kok, sudah baik. Cukuplah bersikap biasa saja. Apalagi alasan orang-orang tersebut beribadah di rumah sebab keadaan darurat, bukan karena mereka sengaja ingin melanggar peraturan.

Lagi pula bukannya di negeri ini, orang-orang yang doyan menghalangi umat beragama untuk beribadah itu biasanya orang-orang PKI? Eh..

Sumber: Islami.co

Penggerak GUSDURian Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.