Penggunaan istilah “agama resmi” di Indonesia sebenarnya merupakan hal problematik. Sejak awal kemerdekaan, negara ini mengakui semua agama yang mengakar dan bertumbuh di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kala itu agama masih belum diatur sedemikian ketat. Bahkan belum ada ketentuan kolom agama di KTP. Agama masih menjadi ranah privat bagi masyarakat.
Hal ini lantas berubah drastis di pertengahan dekade 60-an. Peristiwa 1965 membuat pemerintah memandang perlunya penekanan akan ideologi Pancasila. Dampak paling besar dari kebijakan ini adalah pewajiban seluruh warga Indonesia memeluk salah satu agama. Untuk keperluan ini, pemerintah memerlukan definisi “agama resmi”.
Repotnya, tidak pernah ada dokumen peraturan yang memuat definisi dengan gamblang seperti apa kualifikasi agama bisa disebut sebagai agama resmi di Indonesia. Definisi agama secara simplistis hanya didasarkan pada karakter agama Islam dan Kristen. Dua agama samawi yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia.
Dengan berdasar konsep ketuhanan dalam pemahaman agama-agama samawi, sila pertama Pancasila kelak diartikan sebagai pengakuan bangsa Indonesia terhadap Tuhan yang satu (monotheisme). Lengkapnya, agama yang dianggap sebagai agama resmi di Indonesia harus memenuhi empat syarat utama: Memiliki satu Tuhan, mempunyai penyebar agama/nabi, memiliki kitab suci, dan ajarannya berkembang luas di dunia.
Dengan pendefinisian yang demikian agama Buddha jelas tidak bisa memenuhi kualifikasi sebagai agama resmi. Sebab agama Buddha bukan merupakan agama monotheis, melainkan agama non-theistik. Agama Buddha tidak mengakui wujud Tuhan secara persona sebagaimana diimani oleh agama-agama samawi.
Apakah berarti agama Buddha tidak mengakui adanya Tuhan? Bukan begitu. Analogi mudahnya, umat muslim mengenal Tuhan dengan sebutan Allah. Namun umat muslim tidak pernah mengetahui wajah Allah karena Allah terlalu agung untuk dilukiskan. Upaya apapun untuk menggambarkan paras Allah akan kita anggap sebagai bentuk penghinaan besar bagi umat muslim.
Sedangkan umat Buddha tak hanya merasa Tuhan terlalu mulia untuk digambarkan. Akan tetapi umat Buddha menganggap Tuhan juga terlalu maha besar untuk digapai oleh akal manusia. Sehingga Buddha hanya sebatas mengajarkan apa yang masih dapat dinalar oleh manusia, yakni tujuan akhir kehidupan. Tujuan akhir dari setiap umat Buddha adalah melepaskan diri dari lingkaran samsara (penderitaan) dan mencapai nibbana (ketidakmelekatan).
Namun umat Buddha menyadari mereka dalam posisi sulit. Mempertentangkan konsep ketuhanan Buddha dengan Pancasila bukan pilihan yang bijak. Tindakan seperti ini cuma akan menimbulkan masalah. Maka para pemuka agama Buddha mencoba menemukan jalan tengah. Mereka mencari istilah yang pas sebagai kata ganti “Tuhan yang Maha Esa” dalam terminologi Buddha agar sesuai dengan asas Pancasila.
Hingga kelak tercetuslah istilah Sang Hyang Adi Buddha. Nama ini diperkenalkan oleh Biksu Ashin Jinarakkhita sebagai “Tuhannya” umat Buddha. Sang Hyang Adi Buddha ini menjadi nama yang unik dan khas karena hanya dikenal oleh umat Buddha di Indonesia. Tidak dikenal oleh umat Buddha di negara-negara lain.
Berbekal istilah Sang Hyang Adi Buddha, agama Buddha dapat terdaftar sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Umat Buddha bisa mencatatkan agama mereka di kolom KTP. Mereka tidak akan kesulitan saat mendaftar sekolah atau mencari pekerjaan. Pemeluk Buddha berhasil terhindar dari ancaman menjadi warga negara kelas dua. Ancaman yang sempat dialami oleh umat Konghucu dan masih dialami oleh para penghayat kepercayaan.
Pada prakteknya umat Buddha memang hanya menggunakan istilah tersebut untuk keperluan “eksternal”. Misalnya untuk pelantikan sebagai pejabat publik, pengangkatan sumpah sebagai pegawai negeri/TNI/Polri, atau keperluan bersaksi di hadapan pengadilan. Dalam keperluan “internal” umat Buddha, seperti pengajaran agama atau pembacaan doa istilah ini tetap tidak pernah dipakai. Sebab sebutan Sang Hyang Adi Buddha tidak dikenal di dalam Tipitaka.
Pengetahuan tersebut membuat saya terhenyak. Ini adalah contoh tindakan mengalah yang sangat luar biasa. Umat Buddha bukanlah tamu di negara ini. Sejarah keberadaan mereka merentang panjang sejak zaman kerajaan-kerajaan nusantara hingga lahirnya Indonesia. Akan tetapi mereka tidak lantas ngotot menuntut Pancasila diralat.
Umat Buddha nrimo ing pandum saat pengertian sila pertama dalam Pancasila didefinisikan menurut konsep ketuhanan menurut ajaran Islam dan Kristen. Merekalah yang bersedia mencari cara “menyesuaikan” nama Tuhan mereka agar sesuai dengan pengertian Pancasila. Sejauh cara tersebut membuat agama mereka tetap diakui di Indonesia, bagi mereka itu cukup.
Saya sungguh mempelajari teladan sikap berlapang dada yang benar-benar di luar nalar saya, melalui pengalaman di kelas agama Buddha ini.
Sumber: Islami.co