Awalnya adalah puluhan warga desa yang sowan kepada Kiai Nur Aziz, seorang kiai kampung di Desa Surokonto Wetan Kecamatan Pageruyung di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, di tahun 2015.
Mereka menyampaikan kegundahannya setelah tanah garapan mereka diambil alih PT Perhutani. Setidaknya 460 keluarga warga desa tersebut menggantungkan kehidupannya kepada hasil mengolah tanah yang sejak awal tahun 1970-an digarap oleh kakek-nenek mereka. Pengambilalihan tanah ini memutus mata pencarian mereka.
Perusahaan milik negara tersebut menerimanya dari PT Semen Indonesia sebagai tukar guling tanah di Kabupaten Rembang yang dijadikan pabrik semen (yang juga diprotes oleh warga di sekitarnya). PTSI sendiri membeli lahan tersebut dari PT Sumur Pitu, BUMN perkebunan karet pemegang HGU yang menelantarkan tanah tersebut sejak akhir 1960-an.
Sebagai tokoh kampung tersebut, Kiai Nur Aziz tak kuasa mengabaikan keluh-kesah warga desanya. Ia pun mulai mencari jalan untuk memperjelas situasi kepada pihak-pihak terkait, dan mewakili warga dalam menolak pengambilalihan lahan yang telah 45 tahun lebih digarap para petani tersebut.
Sayangnya, perjuangan ini berbuah pahit. Kiai Nur Aziz dan dua orang petani lainnya dijebloskan ke dalam penjara dan ditetapkan sebagai tersangka dalam pembalakan liar dan penyerobotan lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Dalam proses persidangan sampai di tingkat Mahkamah Agung, hakim menetapkan Kiai Nur Aziz dan kedua tersangka lain dihukum 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp 10 miliar tahun 2017.
Masyarakat sipil merespons ini sebagai keputusan yang jauh dari nurani keadilan. Bagaimana mungkin petani kelas desa diminta menyediakan Rp 10 miliar? Bagaimana mungkin koruptor kelas berat yang merugikan kas negara ratusan miliar rupiah hanya dihukum sekian tahun, beroleh sel yang dapat dipermak sebagaimana terungkap investigasi media; sementara kiai kampung sederhana di sudut Indonesia dihukum 8 tahun penjara demi nasib ratusan keluarga petani yang hanya mampu menyambung hidup tanpa kemewahan?
Bukan hanya Kiai Nur Aziz. Konsorsium Pembaruan Agraria menyatakan ada lebih dari 2.000 kasus konflik agraria dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dengan ratusan petani yang dibawa ke meja hukum. RUU Cipta Kerja pun dikhawatirkan memperbesar risiko konflik lahan.
Terbaru adalah konflik lahan masyarakat Pubabu-Besipae Nusa Tenggara Timur yang mengalami bentrok fisik dengan satuan polisi pamong praja beberapa hari lalu. Ironis, sebab justru pakaian adat Pubabu dipilih oleh Presiden Jokowi untuk dikenakan dalam Upacara Kenegaraan RI Ke-75.
Sejak jatuh vonis di tahun 2017 tersebut, kelompok-kelompok masyarakat sipil bergerak untuk memperjuangkan nasib Kiai Nur Aziz dan Pak Rusmin, terhukum lainnya. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bersama organisasi-organisasi lintas iman, seperti PGI, KWI, serta gerakan masyarakat sipil seperti YLBHI, Jaringan Gusdurian, dan FNKSDA, pun terus mendesak pemerintah. Demikian juga Komnas HAM.
Alhasil, 2 tahun 2 bulan setelah mereka menjalani masa tahanan, Presiden Jokowi memberikan grasi yang memungkinkan Kiai Nur Aziz dan Pak Rusmin pulang kembali ke rumahnya di bulan Ramadhan tahun 2019. Rakyat Desa Surokonto Wetan menjemput keduanya dengan hujan air mata di Lapas Kendal, diikuti dengan Tasyakuran Rakyat yang dihadiri para pemuka agama dan gerakan masyarakat sipil selepas Idulfitri.
Sosok Kiai Nur Aziz mengingatkan kembali pada gambaran kiai yang sering diungkapkan Gus Dur: tidak hanya sebagai seorang guru agama bagi para santrinya. Kiai juga adalah pemimpin bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Kiai mengolah lahan spiritual menjadi daya dorong transformasi kehidupan masyarakatnya.
Kiai tidak hidup untuk dirinya, tetapi untuk membimbing dan mengayomi pengikutnya dalam seutuhnya bidang kehidupan. Mulai dari nasihat dan konsultasi berbagai urusan keseharian, sampai mengadukan nasib seperti yang dilakukan warga Surokonto Wetan.
Kaidah dasar ”kebijakan seorang pemimpin ditujukan kepada kemaslahatan rakyatnya” menjadi pegangan para kiai untuk menjalankan peran ini. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang diserukan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari meminta para santri untuk mempertahankan bayi republik ini menjadi contohnya yang paling membahana.
Dampaknya, ribuan santri gugur dalam jihad di medan laga Surabaya pada 10 November 1945, tetapi republik ini terselamatkan dari Sekutu yang mencoba kembali menancapkan kaki di bumi Nusantara. Menjelang peringatan Resolusi Jihad tahun 2020 ini, angan-angan atas kehadiran kiai seperti Kiai Nur Aziz makin nyata.
Kiai-kiai yang mengikatkan dirinya pada kemaslahatan pengikutnya, siap memimpin di garis depan pada saat-saat genting, membersamai umat dalam perjuangan mewujudkan hak-haknya, dan mengambil kepemimpinan melalui politik kebangsaan dan menghindari politik kekuasaan. Di manakah mereka?
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 18 Oktober 2020)
Sumber: kompas.id