Pada tahun 2001 Penerbit LKiS menerbitkan sebuah buku berjudul Menggerakkan Tradisi. Hanya dengan membaca judulnya saja, orang mungkin akan berpikir bahwa buku ini adalah buku tentang pembelaan terhadap tradisi-tradisi yang akhir-akhir ini sering kita dengar mendapat tuduhan bidah, sesat, dan sebagainya. Bahkan, pelaku-pelaku tradisi tersebut pun dilabeli dengan label “kafir” dan “halal darahnya”. Fenomena yang memang sama sekali tidak pernah kita harapkan. Namun jika kita mau sedikit menengok apa yang dibicarakan dalam buku tersebut, tentu asumsi awal sudah tentu akan terbantahkan.
Menggerakkan Tradisi adalah sebuah buku yang berisi kumpulan esai karya Gus Dur tentang pesantren dan juga deskripsi dari kebudayaan pesantren. Deskripsi Gus Dur ini turut mempersempit kesenjangan dan kekeliruan pengertian antara pihak luar dan pihak dalam pesantren. “Tawaran pembaruan” yang dikemukakan Gus Dur untuk pesantren, peningkatan sarana, pembenahan manajemen kepemimpinan, pengembangan watak mandiri, dan beberapa yang lainnya tetap merupakan agenda pesantren hingga sekarang ini.
Buku ini terdiri dari enam belas bab. Bab pertama yang mencapai empat puluh empat halaman berisi deskripsi pesantren sebagai subkultur. Bab kedua berisi deskripsi tentang pesantren sebagai objek sastra. Bab ketiga mengajarkkan kepada pembaca bagaimana mengolah konsep dinamisasi dan modernisasi pesantren. Bab keempat berisi opini Gus Dur tentang penyelenggaraan “sekolah umum” di dalam lingkungan pesantren. Bab kelima menggambarkan pendidikan tradisional yang ada di pesantren beserta kelebihan-kelebihan dan kekurangannya.
Bab keenam berisi gambaran dan opini beliau tentang sumbangan pesantren dalam pembangunan, termasuk di dalamnya pelaksanaan Keluarga Berencana (KB) dan Pendidikan Kependudukan. Bab ketujuh berisi tentang pesantren dan hal-hal yang menyebabkan pesantren kurang diperhatikan. Dalam bab ini Gus Dur juga memberikan opini tentang usaha menyehatkan kembali sistem pendidikan di pesantren, termasuk di dalamnya dengan pengembangan sebuah mata pelajaran baru, yaitu kewiraswastaan madya bagi pedesaan (koperasi).
Adapun bab kedelapan adalah esai yang ditulis oleh Gus Dur untuk menggambarkan karakter kemandirian yang ada dalam pesantren. Bab kesembilan berisi tentang gambaran kurikulum pesantren dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja di masa depan. Bab kesepuluh berisi opini Gus Dur akan pentingnya pembakuan kurikulum yang ada di pesantren-pesantren. Bab kesebelas berisi gambaran tentang pola-pola pengembangan pesantren.
Bab keduabelas berisi deskripsi model kepemimpinan dalam pengembangan pesantren sekarang ini dan opini Gus Dur tentang kepemimpinan dalam pesantren yang seharusnya. Bab ketigabelas adalah bab yang menggambarkan paradigma pengembangan masyarakat melalui pesantren. Bab keempatbelas merupakan esai yang mencoba mengungkapkan asal-usul tradisi keilmuan yang ada di pesantren.
Bab kelimabelas berisi prinsip-prinsip pendidikan pesantren yang dengan itu pesantren mampu merespons tantangan-tantangan yang datang dari luar. Bab terakhir dalam buku ini berisi tentang gambaran keterlibatan pesantren dalam program dan kebijakan pembangunan yang berorientasi budaya.
Dengan enam belas bab yang telah saya paparkan di atas, buku ini bisa menjadi bahan refleksi dan evaluasi bagi kalangan pesantren untuk mengembangkan pesantren lebih lanjut, baik secara individual maupun kolektif. Bagi kalangan pengamat pendidikan dan ilmu sosial budaya umumnya, buku ini bisa menjadi peta sejarah pemikiran pendidikan dan pergumulan suatu subkultur (pesantren) berhadapan dengan gagasan-gagasan dari luar, gagasan modernisasi. Selain itu, buku ini tentunya juga dapat memberikan manfaat yang begitu besar bagi siapa pun yang membacanya.
Sumber: santrigusdur.com