Simbol salib memang kadung identik sebagai identitas gereja. Bahkan di beberapa gereja bersejarah, salib bukan hanya tampak sebagai ornamen. Bentuk salib mewujud pula pada tapak bangunan gereja. Katedral Jakarta merupakan salah satu gereja yang mengadopsi pola tapak seperti ini. Tapak salib bangunan Katedral Jakarta akan terlihat jelas jika kita melihat gereja ini dari atas. Misalnya dengan bantuan piranti drone atau melalui aplikasi Google Maps.
Meskipun menjadi simbol paling populer, sebenarnya salib bukanlah simbol yang mutlak mesti dipakai para pengikut Yesus untuk mengungkapkan iman Kristiani mereka di muka publik. Sebelum segelintir masyarakat di Indonesia takut dengan eksistensi simbol salib, Kekaisaran Romawi juga pernah menakuti simbol ini karena dianggap sebagai simbol kelompok subversif.
Hal itu tercatat dalam sejarah kekristenan awal. Umat Kristiani diburu habis-habisan oleh Kekaisaran Romawi. Mereka pun harus hidup dalam persembunyian. Kronik ini terjadi sebelum Kaisar Konstantinus bertakhta menjadi penguasa Romawi.
Pada masa-masa penindasan seperti ini, mengaku sebagai pengikut Yesus atau memakai simbol salib sama saja bunuh diri, alias meminta hukuman mati. Umat Kristiani benar-benar tidak bisa mengungkapkan jati diri mereka secara bebas. Sehingga umat Kristiani mengembangkan banyak simbol kekristenan selain salib. Perjalanan sejarah ini lantas memunculkan beberapa ikon kekristenan yang lazim dijumpai selain simbol salib.
Ikon pertama adalah “Alpha dan Omega” (Α dan Ω). Alpha dan omega merupakan huruf pertama dan terakhir dalam susunan alfabet Yunani. Ikon ini melambangkan kepercayaan umat Kristiani kepada Yesus sebagai awal (alpha) dan akhir (omega) dunia.
Ikon kedua masih diambil dari alfabet Yunani. Simbol ini menyerupai huruf “P” dan “x” yang disusun bertumpuk (☧ atau ⳩) dan dibaca “Chi-Rho”. Susunan dua huruf bertumpuk ini merupakan dua huruf awal dari kata “Christos”. Kata yang bermakna “Kristus” dalam Bahasa Yunani.
Selanjutnya umat Kristiani juga mengenal simbol “Ichtys”. Sebuah simbol berupa goresan dua garis lengkung yang membentuk wujud mirip ikan. Ikan merupakan sebuah terminologi populer di dalam dunia kekristenan. Yesus sendiri menganalogikan para muridnya sebagai “penjala manusia”. Selain itu ada pula ayat di Alkitab yang mengisahkan Yesus memberi makan 5.000 orang hanya dengan berbekal lima roti dan dua ikan.
Berangkat dari sejarah panjang tersebut, sebenarnya sudah tampak jika umat Kristiani tidak menjadikan simbol salib sebagai satu-satunya penanda identitas diri mereka. Maka sependek pengetahuan saya, tidak ada pula “syariat” Kristen yang mewajibkan simbol salib dipasang sebagai hiasan eksterior gereja. Dengan kata lain, salib hanya wajib terpasang sebagai sarana doa di atas altar. Di dalam bangunan gereja.
Alhasil, apabila salib kerap dipasang di muka/pucuk bangunan gereja, maka itu merupakan elemen dekoratif dan sebuah kebiasaan saja. Namun dalam konteks terkait kehidupan antar umat beragama di Indonesia, elemen dekoratif tersebut memiliki manfaat penting. Gunanya untuk membedakan gereja dengan tempat ibadah lain atau rumah biasa. Sebab peraturan di Indonesia memang melarang bangunan tempat tinggal difungsikan sebagai tempat ibadah.
Maka dalam situasi tertentu, umat Kristiani, khususnya umat Katolik, bisa saja memilih legawa tidak memasang salib sebagai penanda gereja. Toh memang ada gereja Katolik yang tidak memasang ornamen salib di eksterior bangunan gereja ataupun di pucuk menara lonceng gereja.
Salah satu gereja yang mempraktekkan hal ini adalah Gereja Katolik Santa Clara di Bekasi Utara. Proses pembangunan gereja yang baru diresmikan setahun lalu ini sempat berlarut-larut dan berlangsung lama. Sejak diresmikan, Gereja Santa Clara tidak memasang penanda salib di sisi luar gedung gerejanya. Bahkan desain gereja juga dibikin memunggungi jalan raya di depannya. Hal ini dilakukan agar gereja tampak lebih ramah bagi sebagian kelompok masyarakat yang pernah menolak pembangunan gereja.
Sementara itu, contoh paling menarik datang dari Gereja Katolik Santo Yohanes Maria Vianney, Cilangkap. Gereja yang rampung digarap pada 2017 ini lebih dikenal dengan nama Gereja Anak Domba karena ornamen yang terpacak di kubahnya. Alih alih salib, gereja ini mempersonifikasikan sosok Yesus sebagai “anak domba”. Simbol ini sengaja dipilih sebagai bentuk tepa slira dengan warga sekitar. Gereja memahami kalau warga setempat mungkin akan lebih menerima kehadiran sebuah gereja tanpa simbol salib yang mencolok.
Tindakan ini hendaknya jangan dibaca sebagai bentuk ketakutan umat Kristiani kepada umat beragama lain. Kita dapat melihatnya dari sudut pandang yang lain. Bermula dari aksi yang sederhana, kita bisa bertukar pandangan dalam perjumpaan yang bersahabat. Umat non-kristiani dapat menceritakan tafsirnya mengenai salib kepada teman-teman Kristiani. Sebaliknya, umat Kristiani juga bisa menjelaskan arti salib kepada kawan-kawan beragama lain.
Dialog aktif seperti inilah yang kelak kita harapkan bisa memupus kesalahpahaman dan menghapus rasa saling curiga. Sehingga kelak umat Kristiani tidak perlu “berkreasi” mencari simbol-simbol baru hanya karena takut dipersekusi. Sedangkan umat non-kristiani bisa melepaskan sikap paranoid mereka terhadap simbol-simbol kekristenan.
Sumber: Katolikana