Sekali lagi dunia dikejutkan dengan aksi keji yang terjadi di Perancis beberapa hari lalu. Seorang remaja usia 18 tahun memenggal kepala seorang guru dan seorang pemuda usia 21 tahun membunuh tiga orang dalam sebuah misa di gereja.
Kekejian ini dipicu tindakan sang guru menggunakan kartun produksi Charlie Hebdo tentang Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan tentang kemerdekaan berpendapat. Sejak diterbitkan pada tahun 2015, kartun ini telah menimbulkan kemarahan kaum Muslim dan memicu aksi terorisme berulang kali di Perancis.
Aksi keji ini diikuti dengan beberapa peristiwa lain, mulai dari pernyataan Presiden Perancis Emanuel Macron yang menuai protes dari banyak tokoh dunia sampai seruan boikot terhadap produk-produk Perancis, termasuk di Indonesia.
Aksi keji pemenggalan kepala masih terjadi di sejumlah tempat, terutama dilakukan oleh Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Di Indonesia, tahun ini dilakukan oleh kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora. Perancis sendiri mencatat sejarah hukuman guillotine, sedangkan Arab Saudi masih menerapkan hukuman pancung sampai saat ini.
Namun, aksi keji pemenggalan kepala di Perancis pada bulan Oktober 2020 ini menjadi berbeda karena dilakukan tidak di arena perang atau arena khusus peradilan, tetapi di ruang publik terbuka, bahkan di rumah ibadah.
Setidaknya ada beberapa hal yang menonjol dari situasi aksi keji di Perancis ini: isu kebebasan berpendapat, isu teror atas nama agama, dan isu politis terkait pernyataan Presiden Macron. Ketiganya terkait satu sama lain, tetapi juga membawa kita kembali menyelami setiap isu tersebut.
Pernyataan Presiden Macron—yang oleh sejumlah kalangan dinilai—memaknai aksi keji tersebut sebagai problem dalam dunia Islam memicu protes. Faktanya, aksi teror dapat dilakukan oleh kelompok ideologis atau agama apa pun, sebagaimana tampak pada tragedi Christchurch, tragedi sinagog Pittsburg, kasus Ansari di India, dan tragedi Sri Lanka.
Berdasarkan fakta-fakta ini, dunia pada umumnya berkecenderungan untuk memisahkan aksi terorisme dari agama tertentu dengan klaim bahwa kalaupun mengatasnamakan agama, aksi tersebut tidak merefleksikan ajaran agama atau sikap mayoritas pemeluk agama.
Tidak dapat dimungkiri, tafsir atas ajaran agama dapat menjadi penyulut aksi terorisme. Semisal, hukum pancung dalam Islam memiliki banyak aturan, dan diberikan kewenangannya kepada hakim dan pemerintah, sebagaimana hukuman mati di AS atau negara-negara lain. Sementara itu, aksi pemenggalan kepala oleh teroris-teroris atas nama Islam dilakukan dengan menyalahgunakan tafsir ajaran agama untuk menjustifikasi tindak kekerasan tersebut, justru tanpa mengindahkan hukum yang mengaturnya.
Kebencian ini salah satunya disulut oleh tafsir yang ultrakonservatif atas relasi Muslim dengan non-Muslim. Pandangan inilah yang menyebabkan imigran Tunisia berusia 21 tahun di Perancis tersebut membunuh orang-orang di gereja walaupun ketiga korban ini tidak terkait dengan Charlie Hebdo atau guru di kasus awal.
Dalam konteks ini, para ulama Islam dari seluruh dunia memiliki tugas besar untuk memandu 1,6 miliar kaum Muslim memaknai secara tepat ajaran terkait relasi Muslim dengan kelompok-kelompok lain di muka bumi ini sebagai upaya mewujudkan mandat Islam rahmatan lil ’alamin.
Yang paling kontroversial dari persoalan aksi keji di Perancis ini adalah tentang kemerdekaan berpendapat (freedom of speech) yang lebih sering dimaknai sebagai kebebasan berpendapat.
Kemerdekaan berpendapat membawa prinsip tiadanya penindasan atas hak seorang manusia untuk menyampaikan pandangannya. Adapun kebebasan berpendapat menyiratkan tiadanya batas atas pendapat seorang manusia.
Dalam kasus ini, Perancis sebagai sebuah negara tentu berhak atas pilihan untuk menjadikan freedom of speech sebagai salah satu hak yang dilindungi sepenuhnya. Dengan sejarah panjang konflik atas nama agama di masa lalu, Perancis juga memiliki alasan yang kuat untuk memisahkan agama dengan negara.
Kemerdekaan berpendapat ini telah menjadi persoalan panjang dalam konteks hak asasi manusia. Apakah ia dapat masuk dalam non-derogable rights, yaitu hak yang tak dapat dikurangi dalam situasi apa pun? Atau sebagaimana ICCPR menyebutkan, termasuk dalam hak-hak derogable, yang dapat dibatasi oleh negara-negara? Apabila ya, bagaimana dengan Charlie Hebdo dan tertuduh penista agama lainnya?
Belajar dari kasus kartun Nabi Muhammad di Denmark, Howard Gardner menelurkan respecting thinking sebagai salah satu dari lima keterampilan berpikir terpenting di milenium ini. Dalam bukunya, 5 Minds for the Future, psikolog berpengaruh dari Harvard University ini menyebutkan bahwa manusia yang matang memegang prinsip menghormati kepentingan orang lain.
Pembatasan diri terjadi karena penghormatan ini. Dalam bahasa sederhana, ia menyampaikan bahwa setiap orang berhak atas ekspresi pandangannya. Namun, apabila sudah tahu bahwa hal tersebut akan menyakiti orang lain, mengapa dilakukan?
Kebebasan berpendapat di tangan orang-orang yang tidak memiliki respecting thinking menjadi pisau yang berbahaya. Dalam konteks ini, Pemerintah Perancis dan negara-negara lain di dunia ini memiliki tanggung jawab untuk mendidik warga negaranya sehingga kontrol atas ekspresi kemerdekaan berpendapat tersebut ada dalam diri setiap individu dan tidak menimbulkan kekacauan. Dengan demikian, kemerdekaan berpendapat terlindungi tanpa harus menjadi kebebasan yang tak terbatasi.
Sebagaimana pesan Gus Dur, ”Kalau Anda tidak ingin dibatasi, janganlah Anda membatasi. Kita sendirilah yang harusnya tahu batas kita masing-masing. Gitu aja kok repot.”
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 8 November 2020)
Sumber: kompas.id