Siapa pun yang berteman dengan Herbert Feith “beruntung”. Didera sejarah kekejaman Nazi (yang mendorong keluarganya hijrah ke Australia), Feith menjadi pecinta kemerdekaan manusia dan anti-penindasan. Inilah yang mendorongnya datang ke Indonesia awal 1950-an sebagai sukarelawan muda.
Di negara muda ini, Feith berbakti untuk pengembangan masyarakat baru merdeka. Trauma otoritarian NAZI mendorongnya melihat Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, “maju”, dan damai. Karena itu, ia was-was terhadap setiap gejala fasisme dan autoritarian. Inilah yang tercermin pada disertasinya The Decline of Constitutional Democracy yang kemudian terbit pada 1964.
Disertasi tersebut berlanjut pada sebuah tulisan apiknya, “The Politics of Economic Decline”—yang menggambarkan Indonesia masa Demokrasi Terpimpin (1959-66). Ini pula yang menjelaskan mengapa ia menjadi ‘aktivis’ yang menentang ‘pendudukan’ Indonesia atas Timor Timur pada 1980-an.
Selama saya di Monash University, Clayton, Melbourne, Feith kerap menelepon. Bahkan mengajak saya bertemu per dua pekan untuk sekedar diskusi. Tapi, jangan bayangkan diskusi itu sambil duduk. Feith mengajak saya berjalan keliling kampus. Pada saat itulah dia bercerita banyak.
Salah satu ceritanya adalah tentang Kiai Abdurrahman Wahid. “Ketika ia baru muncul akhir 1970-an,” kata Feith tentang Kiai Abdurrahman Wahid, “Saya sudah melihat potensi kebesarannya. Kepada kawan-kawan, saya katakan tokoh ini harus diperhatikan. Dan secara khusus pandangan ini saya sampaikan kepada Ben Anderson.” Yang dimaksud terakhir itu adalah Benedict R O’G Anderson dari Cornell University dengan karya terkenalnya The Idea of Power in Javanese Culture.
Jadi, dalam catatan saya, Herbert Feith adalah “penemu” Kiai Abdurrahman Wahid di antara para pengamat Barat.
Perjalanan keliling kampus ini terhenti ketika kami sampai ke kantin mahasiswa. Feith pamit, dan saya masuk ke kantin untuk menikmati cappucino.
Karena ingat cerita itulah saya menelpon Feith ketika Kiai Zainuddin MZ datang memberi ceramah pada mahasiswa Indonesia di Monash. Kegiatan ini diorganisasikan oleh Ahmad Suhelmi dari UI dan Imron Rosadi dari Universitas Jember.
“Menarik,” kata Feith. “Pukul berapa acaranya?”
Saya jawab: “Pukul tiga sore.”
Sebagaimana biasa, Feith datang tepat waktu. Ceramah Kiai Zainuddin dilaksanakan di sebuah Hall olahraga di kampus. Peserta masih sedikit. Maka Feith bisa masuk dan duduk bersila di atas karpet barisan terdepan. Karena datang lebih lambat, maka saya berada dua baris di belakang Feith.
Yang tak disangka Feith adalah acara baru dimulai setelah Ashar. Maka, saya melihat Feith kaget dan bingung ketika tiba- semua orang berdiri, setelah qamat dikumandangkan. Kiai Zainuddin melangkah ke depan memimpin sembahyang Ashar. Terlanjur berada di tengah barisan, Feith tidak bisa mengelak. Dengan melihat kiri dan kanan, ia berdiri.
Sebagai orang yang berada di belakangnya, saya sama sekali tidak konsentrasi dalam sembahyang. Perhatian saya tertuju kepada gerak Feith. Untuk takbir, dia harus melihat kiri dan kanan, juga untuk rukuk. Sayang, karena sama-sama harus sujud, saya tidak bisa melihat bagaimana Feith melakukan sujud. Dan tentu saja, jangan tanya soal bacaan salatnya.
Sumber: alif.id