Apakah Karena Waria, Lantas Boleh Dicela?

Waria masih menjadi problem di masyarakat, kehadirannya masih memunculkan berbagai perspektif yang cenderung diskriminatif. Haknya sebagai manusia yang merdeka jarang mereka dapatkan, apalagi jika ditilik dari sisi religiusitas. Waria tidak cukup hanya dilihat dengan tafsiran Al-Quran secara literer, tapi juga dengan kontekstualisasi dan atau reformulasi.

Pernyataan itu diperkuat dengan khalayak dikagetkan dengan kanal Youtube dengan konten yang cukup fenomenal dan mengundang pro-kontra, tak sedikit netizen menghujat seorang youtuber Ferdian Palekka yang membuat konten prank kepada waria yang memberikan sumbangan sembako tapi ternyata di dalamnya adalah sampah. Resepsi khalayak mengatakan hal itu dirasa tidak sesuai dengan rasa kemanusiaan di tengah pagebluk pandemi Covid-19 yang melanda. Tidak sebatas ujaran kebencian warganet, tetapi juga dibawa ke ruang hukum dan saat ini youtuber itu sudah berstatus tahanan.

Beberapa hari kemudian muncul youtuber dengan akun Iemrusdiy yang mengafirmasi tindakan Ferdian, ia mengatakan bahwa sah-sah saja dan menyetujui prank itu, menurutnya itu pantas didapatkan oleh seorang waria, “Kalo sekedar ngeprank saja gakpapa, toh dalam Islam seharusnya waria itu dibunuh” ujarnya dalam video yang mendapat respon negatif dengan perbandingan lebih banyak unlike daripada like, serta komentar yang menyerang dan menyudutkan dirinya. Ia memberikan komentar dengan dalil agama, tetapi jauh dari agama yang rahmat bagi seluruh alam. Kini semua video yang ada dalam kanal Youtube Iemrusdiy sudah tidak ada lagi, mungkin menghapus semua konten Youtube menurutnya adalah jalan terbaik.

Pertanyaan yang muncul, bagaimana sebenarnya agama merespons kelamin ketiga ini? Problem waria dari sisi agama dapat dilihat secara jelas dalam kitab-kitab fiqih klasik, karena selama ini sumber otoritas yang bisa dibilang cukup mewakili dan rinci dalam membahas persoalan waria adalah fiqih.

Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, secara tegas menyatakan bahwa manusia diciptakan berpasangan (laki-laki dan perempuan) sebagaimana pasangan langit dan bumi, siang dan malam dan sebagainya. Dengan demikian kehadiran waria sebagai kelompok ketiga dalam struktur kehidupan manusia tentunya menjadi ”tidak diakui”.

Dari sisi fiqih nampaknya waria dapat diterima sebagai realitas sosial sehingga sama sekali tidak ada pengingkaran atas keberadaan mereka. Hal itu dipertegas oleh Aziz Anwar Fachrudin yang membahas kelamin ketiga, ia menjelaskan bahwa “Khuntsa” adalah orang yang punya kelamin lelaki dan perempuan sekaligus. Khuntsa diterjemahkan dengan istilah yang lebih baru dan cakupan maknanya lebih luas yakni“intersex”.

Penggolongannya ada dua jenis khuntsa: yang mudah diidentifikasi apakah dia lelaki atau perempuan (khuntsa ghairu musykil) dan yang sulit diidentifikasi (khuntsa musykil). “Mukhannats” definisinya adalah “alladzi yusyabbihu al-mar’ah fil-liyni wal-kalam wan-nazhar wal-harakah wanahwi dzalika” (lelaki yang menyamai wanita dalam kelembutan, cara bicara, cara melihat, cara bergerak, dan semacamnya).

Apakah mukhannats sama dengan transgender? Menurutnya tidak, sebagaimana banyak orang bilang, transgender adalah orang yang jiwanya perempuan tapi terperangkap di tubuh lelaki, atau sebaliknya. Transgender masuk dalam kategori “identitas gender” (al-huwiyyah al-jinsiyyah), bukan “orientasi seksual” (al-muyul al-jinsiyyah), dan karena pada sejarah Islam dan kasus saat ini yang terjadi ada transgender yang hetero maupun homo.

Dalam hal ini “mukhannats” diterjemahkan sebagai “banci”. Satu catatan penting yang bisa kita jadikan pengingat di sini, untuk dianalogikan dalam kasus lain: suatu hal yang alami tidak bisa dihukumi haram. Yang bisa dihukumi haram, per definisi fikih, adalah tindakan yang diambil secara sengaja (bil-qashdi) dan berdasar pilihan (ikhtiyari).

Jika diizinkan mengadopsi beberapa point penting yang relate dalam kasus ini yaitu dalam buku Berislam dengan Akal Sehat yang ditulis oleh Edi AH Iyubenu, “Siapa yang gagal mengendalikan diri pada derajat ini, sejatinya sedang melanggar hal-hal asasiah dalam berislam diantaranya, ia melanggar kodrat kemajemukan yang mutlak telah ditetapkan oleh Allah, ia menyelisihi praktik hidup Rasul SAW yang tak pernah menyerang pihak mana pun bahkan menolak beriman kepadanya, ia mencerminkan kelemahan akal rasionalnya untuk sekadar memahami bahwa mustahil pemahaman berislam yang semuanya sama merujuk kepada Alquran dan sunnah rasul, ia menjerangkan gelora hawa nafsu yang amat fatal dalam diri yang membuhul dalam rupa merasa diri lebih baik, lebih benar lebih sesuai tuntunan agama”.

Bagaimanapun juga waria adalah realitas sosial yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, sehingga sebagai seorang individu dia tetap berhak diperlakukan sebagaimana individu yang lain karena mereka juga mempunyai hak dan kewajiban. Jelas pada tataran sosial, kelompok waria dikategorikan ke dalam masyarakat minoritas.

Untuk itulah fiqih sebagai tolok ukur dalam pemberlakuan dan pemutusan hukum bagi waria selayaknya tidak hanya melihat waria dalam konteks fisik an sich, namun harus melihat problem waria dari berbagai macam perspektif. Perlu adanya pendekatan sosial-historis, psikologis, bahkan politik, dan bila perlu pendekatan medis. Karena bagaimanapun realitas waria tidak dapat dilepaskan dari rumpun keilmuan tersebut.

Dengan demikian Islam sebagai sebagai sebuah ajaran agama pada akhirnya mampu menjawab segala problem kemanusiaan semakin kompleks dan terus membutuhkan jawaban-jawaban terutama agama. Mari renungkan hadis Rasul ini: “Seorang Muslim adalah orang yang menjadikan selamat (aman) orang lain dari tangan dan lidahnya.” Ada satu lagi dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Jadikanlah orang lain sebagai timbangan bagi dirimu. Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan. Hormatilah orang lain sebagaimana engkau ingin dihormati, dan jangan rendahkan orang lain sebagaimana engkau tak ingin direndahkan.”

Mari sama-sama kita refleksikan, “Ya Allah apa sesungguhnya gerangan hakku menyatakan diri sebagai yang paling benar, paling lurus, paling baik dihadapan paham-paham dan amaliah orang lain, padahal jelas-jelas secara hakiki aku sama belaka dengan mereka dalam hal sedang berusaha mencari dan menuju kepada kebenaranMu dalam kefanaan ilmu, amal dan perjalanan hidup ini?”

Pernah mendengar cerita waria yang dirahmati Allah karena hinaan manusia? Disarikan dari kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali dan Risalah al-Qusyairiyah karya Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi, ada empat orang yang sedang membopong keranda jenazah, tiga di antara mereka laki-laki dan satu orang lagi perempuan.

Abdul Wahid bin Abdul Majid al-Tsaqafi bertanya, “Siapa jenazah itu? Mengapa hanya ada empat orang yang mengantarkan jenazah? Apa kamu tidak memiliki tetangga?” sang perempuan tadi menjawab “Dia adalah anakku, mereka menganggap remeh dan jijik pada anakku karena seorang waria”. Malam harinya, Abdul Wahid bermimpi, ia didatangi sosok bak bulan purnama di tengah malam gelap gulita. Sosok itu kemudian mengucapkan terima kasih kepada Abdul Wahid. “Aku adalah waria yang kamu kuburkan tadi. Sekarang, Tuhanku merahmatiku karena celaan dan hinaan orang-orang kepadaku,” jawab sosok itu. Wallahu’alam bisshawab.

Sumber: islami.co

Mahasiswi Program Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pemerhati fenomena sosial berbalut agama.