Pada dasarnya manusia selalu berurusan dengan konflik sebagai keniscayaan dalam hidup. Banyak faktor yang mendasari manusia berkonflik terhadap sesama atau bahkan pada dirinya sendiri, seperti; politik, sosial budaya, ras, status, ekonomi, agama, dan lain sebagainya. Sebagai bagian dari dialektika kehidupan, konflik tercipta karena perbedaan pandangan dan prinsip mempertahankan keyakinannya dari pengaruh lain.
Konflik diasumsikan sebagai perilaku yang menyebabkan dampak negatif. Melalui konflik akan terjadi kekerasan ataupun kerusakan secara sosial maupun lingkungan. Di sisi lain, konflik juga bisa menyebabkan terjadinya perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Memperbaiki nilai dan norma di masyarakat yang dianggap menyimpang dari konsensus sosial di masyarakat.
Indonesia banyak diakui dunia internasional sebagai negara yang berhasil mengatasi konflik di dalamnya. Sebagai negara plural, tentu Indonesia riskan terjadi konflik, apalagi fakta bahwa masyarakat memiliki sikap etnosentrisme atau sukuisme yang kental dengan nuansa sara dan rasial. Selain itu fakta beragamnya keyakinan dan agama yang tersebar dari Sabang sampai Merauke kerap menjadi alasan terjadinya konflik yang mengarah kepada perilaku kekerasan di berbagai daerah.
Demikian yang menjadikan Indonesia dianggap sebagai negara yang rawan konflik. Permainan isu dan adu domba antar kelompok gampang memicu konfrontasi verbal maupun non-verbal. Ditambah kurang cakapnya ilmu pengetahuan yang membuat sebagian masyarakat gampang dipengaruhi untuk menciptakan konflik yang lebih besar di tengah masyarakat.
Diperlukan prinsip moderat dan toleran untuk mengatasi problematika yang timbul di masyarakat. Bukan hanya melindungi yang lemah atau yang salah, tapi harus bisa menjadi penengah untuk jembatan menuju persatuan. Prinsip moderat juga harus bisa memilah dan menganalisis narasi konflik agar tidak terjebak pada isu yang dimainkan untuk semakin memperkeruh keadaan.
“Spirituality, Yes! Religion, No!”
Zaman modern yang serba keterbukaan informasi, membuat masyarakat cenderung berpikir kritis terhadap keyakinannya. Di dunia Barat, sudah banyak masyarakat yang mulai mempopulerkan spiritualitas sebagai jalan perlawanan dari institusi agama. Bahkan sudah menjadi kecemasan bagi para agamawan bahwa jalan spiritualitas akan mengancam agama-agama formal.
Keberadaan agama formal dianggap sebagai “penindas” spiritual masyarakat dengan ancaman-ancaman atas segala ritual peribadatannya. Agama baru juga menjanjikan surga sebagai langkah agar mudah diikuti banyak umat. Jalan spiritualitas menjadi aib bagi beberapa orang karena dianggap menyimpang. Sedangkan banyak masyarakat yang masih menjalankan ritual dan laku spiritual untuk mengatasi problematika kehidupan.
Di sisi lain, agama tidak cukup cakap menjawab segala kegelisahan umat. Ditambah citra agama yang awalnya mengajarkan cinta, kasih sayang, dan kedamaian berubah menjadi kekerasan, teror, dan pertumpahan darah. Agama terkesan sebagai legalitas atas kebencian, adu domba, dan fitnah untuk mempertahankan keyakinannya. Agama dipandang tidak lagi sebagai jalan menuju kedamaian, tapi malah menjadi permasalahan baru yang jarang ditemukan titik pangkalnya.
Faktor lainnya adalah derasnya arus informasi teknologi yang memudahkan akses ilmu pengetahuan dari berbagai sumber. Kenyataannya banyak orang yang terseret dalam krisis spiritual dan menyukai prinsip ateis ataupun agnostik dalam menjalankan keyakinannya. Media digital seakan membuka mata bahwa agama hanya sarana untuk perdebatan teologi (konsep ketuhanan), persebaran wilayah dalam menyebarkan ajarannya, perebutan umat, dan lain sebagainya.
Disadari atau tidak, prinsip egoisme dalam beragama malah menimbulkan destruksi sosial yang akhirnya mengarah pada sistem yang carut marut, meningkatnya jumlah kemiskinan, kebodohan, kerusakan alam, dan konflik kemanusiaan lainnya. Agama menjadikan sikap merasa paling benar dan yang lain salah. Kemudian dogma-dogma yang seolah menggambarkan kenyataan dalam hal akidah dan iman. Jika lebih dipahami lagi, banyak hal dalam ajaran agama yang kontradiktif dengan dalil atau kenyataan kehidupan sekarang.
Kemuakan atau kekecewaan terhadap agama formal menjadikan beberapa orang beralih untuk menjalankan laku spiritual yang diyakininya mampu mengatasi problematika sosial. Bahkan diantaranya sudah berani tampil eksis di masyarakat untuk menyebarkan ajaran-ajarannya.
Introspeksi Agama Formal
Abad Renaisans merupakan perubahan budaya yang mengawali zaman modern di seluruh dunia. Menjadi cikal bakal kemajuan industri dan teknologi yang berkembang sangat pesat sampai sekarang. Latar belakangnya juga dianggap karena kekecewaan terhadap doktrinisasi agama dunia barat (zaman kegelapan). Agama dianggap sebagai pembatas kreativitas dan pemikiran untuk kemajuan masyarakat dan bangsa.
Renaisans setidaknya dijadikan contoh bagi penganut agama formal untuk bisa menjadi jalan mengatasi problematika sosial. Bukan malah memperkeruh situasi atau kondisi sosial menjadi tidak stabil (konflik baru). Agama harus mengembalikan citra kedamaian dan penuh kasih sayang. Mengurangi, atau bahkan menghilangkan sikap anarkisme, caci maki, umpatan, dan sikap menyalahkan satu sama lain.
Jangan sampai dengan beragama, malah menjadikan citra buruk bagi agama tersebut. Harus cermat memilah akidah dan akhlak, sehingga tidak gampang terjebak narasi untuk menciptakan konflik sosial. Salah satu tujuan agama adalah menciptakan perdamaian, jika ada sikap dan perilaku yang bertolak belakang dengan prinsip kedamaian, maka penganut agama harus bisa introspeksi diri.
Agama bukan semata eksistensi, tapi lebih kepada substansi. Pemahaman mendasar tentang hakikat agama harus dijadikan tolok ukur dalam berdakwah maupun berperilaku di tengah masyarakat. Mengurangi prinsip eksklusif dalam beragama yang dirasa menimbulkan konflik antar atau intra-agama. Jangan sampai di zaman modern ini, agama yang kehadirannya untuk mengatasi konflik, malah menciptkan konflik baru di tengah masyarakat.