Dwifungsi ABRI: Prinsip dan Cara

Dwifungsi ABRI telah memberikan bekas yang sangat mendalam bagi kehidupan kita sebagai bangsa. Apa yang dituduhkan pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—(Sekarang TNI- red) di Aceh, umpamanya, adalah gambaran dari dalamnya bekas kesejarahan yang dimainkan oleh ABRI. Belum lagi sekian banyak peristiwa lain yang terjadi dalam sejarah Indonesia semenjak 32 tahun terakhir.

Salah satu di antaranya adalah kenyataan bahwa masalah Dwifungsi ABRI itu sendiri tidak didekati secara proporsional dan benar. Contoh dari pendekatan tidak proporsional terhadap kenyataan Dwifungsi ABRI itu, antara lain begitu banyaknya pidato dan makalah mengenai Dwifungsi ABRI yang tidak mencantumkan pembedaan antara hal itu sebagai konsep dan kenyataan. Seolah-olah kenyataan sejarah berjalan sesuai dengan konsep, padahal ada kesenjangan antara keduanya.

Dalam konsepnya Dwifungsi adalah baik, namun dalam kenyataannya pemerintah selalu menjajakan Dwifungsi sebagai konsep, dan masyarakat senantiasa mempertanyakan: apa gerangan yang membuat konsep itu menjadi buruk ketika diterjemahkan dalam kenyataan?

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah tulisan Romo YB Mangunwijaya dalam Media Indonesia Edisi 6 Oktober 1998. Melalui tulisan itu, Romo kita ini menunjukkan kepada kenyataan dalam sejarah kita, yaitu antara kekuasaan dan Dwifungsi sejak dulu senantiasa ada kolusi. Walaupun yang dicontohkan adalah kenyataan dalam sejarah Mataram, tetapi prinsip yang dikemukakan adalah apa yang terjadi sekarang. Pengaburan antara konsep yang menunjukkan adanya ketakutan orang membicarakan masalah ini secara utuh.

Kalau para praktisi pemerintahan dan pemimpin militer memaksudkan konsep dengan istilah Dwifungsi, dan para cendekiawan memaksudkan kenyataan dalam istilah yang sama, herankah kita kalau lalu terjadi dialog semu dan perbedaan maksud? Inilah yang dimaksudkan penulis sebagai kerancuan. Kerancuan seperti itu seharusnya dihindari dalam membahas masalah sepenting Dwifungsi ini, karena semakin banyak kita berbicara akan semakin besar kerancuan yang timbul. Dengan kata lain, kalau berbicara hal sepenting itu disamakan dulu persepsinya antara berbagai pihak yang terlibat.

Salah satu sisi yang harus diketahui adalah persepsi pihak militer sendiri tentang Dwifungsi. Di satu pihak, para bintara, tamtama, dan perwira pertama, melihat Dwifungsi ABRI sebagai alat untuk mencampuri urusan semua pihak tanpa terbendung lagi. Orang sipil seolah-olah tidak mempunyai hak sama sekali untuk menentukan segala sesuatu tanpa izin ABRI, seperti pemilihan lurah dan sebagainya. Bahkan demikian jauh masuknya ABRI dalam urusan-urusan yang bukan tanggungan mereka, sehingga urusan POMG (Persatuan Orangtua Murid dan Guru) mereka masuki juga, dengan alasan ada orangtua murid dari lingkungan tentara.

Jelas bagi golongan ini bahwa ABRI adalah pemegang supremasi kehidupan yang harus ditunduki dan ditaati sejauh mungkin. Dalam pandangan ini, hak ABRI untuk mengurusi semua bidang jelas sekali terpampang. Akibatnya patahnya inisiatif di bawah karena orang merasa tidak ada gunanya lagi mencari alternatif. Semua toh akan dikalahkan alternatif dari militer. Ini adalah pandangan yang paling ekstrim, namun inilah yang banyak dirasakan oleh berbagai kalangan di negeri kita. Hanya ada sedikit bidang yang tidak dapat dirambah oleh kalangan militer, seperti ceramah di masjid atau pengajian-pengajian umum. Pandangan kedua mengenai peranan ABRI dilihat pada kenyataan karena sipil tidak mampu melakukan hal yang benar, karena pertentangan di antara mereka. Menurut pandangan ini, hal tersebut akan membuat persoalan menjadi terkatung-katung tanpa ada keputusan. Tanpa ada yang mengambil keputusan atas suatu masalah, karena pertikaian yang terus menerus terjadi di kalangan sipil, maka kaum militer yang telah dibekali ketrampilan dan pandangan yang cukup perlu tampil untuk mengambil keputusan.

Karena itulah timbul suatu asumsi tanpa ada tentara segala masalah tidak akan ada keputusan dan menjadi terkatung-katung. Untuk itu dibutuhkan Dwifungsi ABRI sebagai cara untuk mengambil keputusan, bahkan dalam soal-soal paling kecil sekalipun.

Ada beberapa hal yang dapat dipakai untuk mematahkan argumentasi ini. Bahwa kaum sipil tidaklah sedemikian saja terlibat dalam pembahasan berkepanjangan dan tidak membiarkan masalah menjadi berlarut-larut jelas tampak di negeri-negeri yang belum maju. Kalau dalam pandangan ini persatuan kaum militer dan sipil, seperti teknokrat, dianggap diperlukan maka jelas bahwa peranan kaum militer dengan tidak membawa nama korps mereka, jelas dapat dilakukan. Di Israel umpamanya, menteri sipil tidak pernah minta restu pada menteri yang berasal dari kalangan militer. Kehadiran kaum militer dalam pemerintahan bukanlah hal yang mutlak harus dijadikan persyaratan.

Dalam pandangan ini, kehadiran kaum militer memang diperlukan sepanjang dibutuhkan. Maksudnya, kehadiran kaum militer dalam pemerintahan memang diperlukan dan sama sekali tidak tersangkut-paut dengan kebutuhan apa pun. Yitzak Rabin yang notabene adalah mantan jenderal dilihat sebagai pahlawan, tetapi Menahem Begin yang tidak pernah menjadi tentara juga memperoleh predikat yang sama. Apa yang terjadi menunjukkan bahwa baik sipil maupun militer sama-sama memiliki peluang untuk menjadi pahlawan, dan pada dasarnya sama-sama mempunyai hal untuk memerintah.

Dilihat dari sudut pandang ini, konsep-konsep seperti Dwifungsi ABRI jelas tidak memiliki bobot apa-apa. Ketua Partai Buruh Israel sekarang, Jenderal Ben Hud, menunjukkan bahwa dia pernah bekerja di kalangan militer. Tetapi tidak berarti bahwa ia dengan mudah menjadi anggota parlemen. Ia harus berjuang keras mencapainya tanpa melalui pertolongan korpsnya. Melalui proses pemilihan anggota DPR secara wajar, lewat persaingan sengit memperebutkan suara ia berhasil menjadi anggota parlemen. Dengan menjadi anggota parlemen, ia lalu mengorganisasikan kekuatannya sehingga dapat merebut kedudukan sebagai Ketua Partai Buruh.

Jelaslah dalam pandangan kedua mengenai peranan militer ini dapat ditemukan anggapan bahwa jabatan kenegaraan dalam profesi nonmiliter dapat direbut oleh siapa pun, asal dilakukan dengan cara dan prosedur yang sehat. Ini menunjukkan peranan militer dalam kehidupan bernegara menjadi sesuatu yang timbangannya sama dengan yang non militer. Orang tidak takut bersaing dengan anggota militer untuk memperebutkan suatu jabatan. Tidak seperti di negeri ini, di mana selama beberapa tahun Orde Baru, suatu daerah selalu memiliki kepala daerah mantan orang militer. Dalam keadaan demikian, orang-orang dari jabatan sipil merasa tidak ada gunanya bersaing lagi. Secara faktual ada dominasi golongan militer dalam pemerintahan, seperti terlihat dalam banyak kejadian di negeri kita akhir-akhir ini.

Paham ketiga mengenai hal ini dapat ditemukan di kalangan negeri maju. Kaum militer dalam pandangan ini haruslah menempuh proses pensipilan apabila ingin menjadi pemegang jabatan. Mantan Presiden John F. Kennedy dan Richard Nixon adalah tokoh yang tadinya aktif di militer, tetapi dengan sengaja menanggalkan karier militer tanpa mempedulikan lagi profesi mereka terdahulu.

Kemampuan militer mereka tidak memiliki arti apa-apa dalam karier mereka. Jenderal bintang lima Dwight Eisenhower dan Jenderal bintang empat George Marshall justru dikenal sebagai orang sipil. Orang memilih mereka sebagai presiden karena gagasan-gagasan mereka mengenai pemerintahan bukan karena mereka orang-orang militer. Demikian juga kasus Collin Powel, jenderal yang beberapa tahun lalu masih memimpin bala tentara Amerika. Karena popularitasnya sebagai pemimpin dalam mengatur manajemen dengan baik, ia sekarang dihargai orang dan segera harus menentukan apakah bersedia menjadi presiden di negeri itu atau tidak.

Memikirkan kesejahteraan

Kunci dari jenis kepemimpinan ini adalah mampu atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin di bidang sipil. Walaupun berasal dari kalangan militer, ia harus segera menunjukkan kualitas memimpin di segala bidang dengan baik. Bahkan jauh di atas bidang militer. Yang terpenting adalah kepemimpinannya, bukan militer atau tidaknya dia.

Yang menjadi masalah adalah keadaan seperti di negara kita sekarang ini. Dilihat dari kepemimpinannya yang sudah otomatis menerima pendidikan tinggi melalui akademi militer, jelas bahwa ABRI telah berhasil menempatkan diri pada tipe kepemimpinan kedua. Dalam pandangan pimpinan ABRI, kepemimpinan sipil dan ABRI memiliki bobot yang sama, sedangkan mereka selalu dihadapkan pada tuntutan mengakhiri Dwifungsi ABRI.

Dalam hal ini, orang dapat saja salah kaprah, mempersamakan fungsi memikirkan konsep-konsep pembangunan (development models) kita dan keikutsertaan dalam operasi praktis pemerintahan sehari-hari. Mereka yang sekarang menuntut penghentian Dwifungsi ABRI bermaksud menghentikan operasi praktis pemerintahan sehari-hari, melalui jabatan dirjen, gubernur, bupati, dan sebagainya. Namun karena ketidaktelitian mereka justru fungsi turut serta dalam menentukan konsep-konsep pembangunan ikut digugat juga. Padahal dalam hal ini seluruh unsur bangsa kita harus turut serta, baik sipil maupun militer.

Dengan demikian, Dwifungsi ABRI haruslah dibatasi pada peranannya dalam membahas hal-hal yang sifatnya konsepsional. Namun, dalam hal praktis operasional pemerintahan sehari-hari peranan militer belum dapat dihentikan hari ini. Masih diperlukan waktu tahunan sebelum hal itu dapat diselesaikan dengan baik. Sebaliknya, fungsi turut menentukan haluan pembangunan harus tetap dijaga dalam keadaan apa pun.

Untuk menunggu matangnya waktu menghentikan fungsi operasional pemerintahannya, sebaiknya harus dilakukan hal utama. Pertama, harus ditingkatkan kesejahteraan para pensiunan kita sehingga memungkinkan mereka mencapai taraf hidup yang layak. Kedua, mematangkan konsep masa persiapan pensiun (MPP) sedemikian rupa hingga merupakan tempat untuk mematangkan diri bagi calon pensiunan, guna mencapai jabatan-jabatan baru dalam masyarakat sipil sekeluar mereka dari dinas ketentaraan. Katakanlah semacam ROTC (Reserve Officers Training Course) di Amerika Serikat yang menghasilkan orang-orang seperti Richard Nixon dan Bill Clinton.

(Artikel ini dimuat pertama kali di Harian Kompas, 13 Oktober 1998)

Sumber: polarhome.com

Presiden Republik Indonesia ke-4.