Sebuah kota ada dan tumbuh karena warganya. Bersama masyarakat yang hidup di dalamnya, kota tersebut lantas membentuk narasi sejarah dan identitasnya yang khas. Maka apa jadinya jika sebuah kota malah berjarak dari warga yang menghuni ruang-ruang di dalamnya?
Barangkali fenomena itu yang dewasa ini tengah menjangkiti seluruh kota di Indonesia, atau bahkan di seluruh dunia. Kota-kota makin membesar dan berkembang pesat. Namun bukan para warga kota itu sendiri yang menumbuhkan kotanya secara organik.
Ekonomi kota bisa maju karena sokongan dana tanpa batas dari tuan-tuan pemodal yang sejatinya tak memiliki ikatan batin apapun dengan kota tersebut. Kota bersolek, tampil grandiose, dan mengundang decak kagum jutaan tamu yang datang berkunjung dari jauh. Ironisnya, di saat bersamaan, kota-kota tersebut justru mulai mendulang resistensi dari warganya sendiri.
Pada akhirnya, kota-kota Indonesia (bahkan dunia) merupakan entitas kota yang berbeda identitas dan mestinya berlainan budaya. Akan tetapi kini wajah mereka menjadi kian seragam satu sama lain.
Di titik inilah kita pantas bertanya gelisah. Siapa yang sebenar-benarnya memiliki hak atas kota?
Kota (Mestinya Bukan) Milik Investor
Tiap hari semakin sering saja kita mendengar Pemkot A merasa senang karena ada investor yang mau ikut berkontribusi memajukan Kota A. Sementara Pemkab B mengaku tengah giat menggenjot pembangunan infrastruktur demi membuat Kabupaten B menjadi daerah ramah investasi. Entah itu di Jakarta, di Bali, ataupun di Jogja, situasinya sama saja. Pemerintah menggelar karpet merah untuk para investor berkantong super tebal.
Maka sudah jelas bagi kita bahwa kota-kota kita hari ini memang tengah dibangun oleh dan untuk para investor. Mereka yang berhak mendefinisikan keindahan, kerapian, dan kemajuan sebuah kota.
Celakanya seorang pemilik modal bukanlah suporter klub sepakbola yang loyal sampai mati terhadap kota tercintanya. Pemilik modal berbeda. Mereka tidak mesti menanamkan investasinya hanya di satu kota saja. Mereka bebas menclok sana, menclok sini. Mereka siap singgah di kota mana saja yang bersikap ramah terhadap uang mereka.
Pemerintah setempat pun kerap tidak punya daya mengendalikan pembangunan. Pemerintah lebih sering hanya berfungsi menjadi penjilat untuk memancing gelontoran duit lebih banyak dari sang pemodal.
Demi pembangunan berbasis investasi ini pula, masyarakat kerap tergusur dari kampung-kampung yang mereka huni selama puluhan tahun. Sawah-sawah dikeringkan dan malih rupa menjadi komplek perumahan atau apartemen. Laut bisa diurug demi membikin kawasan industri skala raksasa atau resort mewah berlevel internasional. Papan iklan bebas dibentang lebar-lebar sampai menutupi akses pandang ruang kita menikmati langit luas atau siluet gunung di kejauhan.
Sehingga tak heran jika wajah kota di manapun kini menjadi tipikal, monoton, dan sangat artifisial. Desain coffeeshop di Bali dengan di Jogja nyaris tak ada bedanya. Konsep mall di Jakarta dengan di Bandung nisbi terlihat sama saja. Kota-kota kita kini menjadi entitas yang kian seragam dan begitu membosankan.
Mengembalikan Kota Kepada Siapa?
Maka baiknya kita bisa bersepakat ulang untuk memandang setiap jengkal tanah di kota sebagai ruang hidup. Kota bukanlah ruang investasi belaka. Martabat kota tidak bisa dijatuhkan dengan melihat kota sebatas potensi ekonomi semata.
Artinya taipan Singapura ataupun Malaysia bukanlah pemilik sah Jakarta. Sama halnya tanah di Jogja juga bukan aset yang dapat dibeli dan dikuasai seenaknya oleh pemodal kelas kakap asal Jakarta atau Surabaya. Dengan demikian kota sebagai ruang hidup bisa kita kembalikan sebagai hak milik kolektif seluruh warga yang menghidupinya.
Pertanyaan lanjutannya: Siapa saja orang-orang yang bisa kita sebut sebagai “warga”?
Dalam situasi mutakhir, pendefinisian tentang warga ini (harus kita akui) memang menjadi sedikit pelik. Baik secara sosiologis maupun politis.
Di level sesama warga kota saja, kita mulai mendengar lagi munculnya dikotomi pribumi versus non-pribumi. Ada kota yang menampilkan sentimen itu tampil sedemikian serius dengan cara pembatasan frontal akses kepemilikan tanah dan bangunan bagi warga etnis Tionghoa.
Ada pula kota yang memaklumkan istilah “warga asli” dan “warga pendatang” guna membedakan orang yang sudah turun-temurun menetap disana dengan para perantau yang baru datang ke kota tersebut. Entah untuk menempuh pendidikan (pelajar/mahasiswa) atau mencari nafkah (pemegang surat boro). Sebuah upaya untuk menegaskan aturan tak tertulis: Warga pendatang jangan coba-coba mengendalikan kota ini melebihi warga asli.
Sedangkan kelompok moralis di banyak kota selalu mencoba dengan segala cara agar orang-orang yang dianggap tidak bermoral disingkirkan dari kota mereka. Maka kita kerap melihat tindak eksklusi (dan kadang disertai persekusi) warga kota terhadap kelompok LGBTQ, waria, PSK, pelaku maksiat, dan pecandu narkoba.
Sedangkan pejabat pemerintah dan tokoh politik kerap memandang “warga” sebagai pihak yang bodoh, kurang terampil, hidupnya melarat, dan perlu disejahterakan. Artinya pemerintah memang akan berbuat sesuatu untuk menyejahterakan warga dengan syarat mereka mau menurut apa kata pemerintah dan tidak banyak melawan. “Warga” dalam definisi pemerintah jarang punya hak bicara dan tidak bebas mengutarakan pendapatnya sendiri. Singkatnya, warga adalah obyek kebijakan.
Padahal sesungguhnya pengertian “warga” tidak perlu didefinisikan dengan ndakik-ndakik. “Warga” adalah istilah yang inklusif. Tentu saja semua orang berhak merasa dan mengaku sebagai warga kota tanpa perlu menegasikan kelompok lain yang kebetulan berbeda identitas dengannya.
Kalau meminjam perkataan mantan Walikota Jogja, Herry Zudianto, “Yang disebut orang Jogja adalah siapapun dia, dari suku mana pun, agama apa pun, adalah orang Jogja jika mereka mencintai Jogja dan berkarya nyata untuk Jogja.” Intinya setiap orang bebas mengaku sebagai warga Jogja asalkan mereka merasa dirinya adalah “wong Jogja”.
Sehingga jelas menjadi warga kota bukanlah perkara administratif alamat KTP atau mengadu kepicikan dengan memperdebatkan kepribumian/silsilah leluhur belaka. Kota adalah milik siapapun yang memiliki ikatan batin dengan sebuah kota dan mau mencintai kota tersebut. Membincangkan siapa warga kota pada akhirnya akan berbicara soal “rasa”. Sebab sebuah kota memang tidak pernah (dan tidak bisa) memilih penghuninya.
Suatu kota adalah milik orang-orang yang ikut terpukul ketika mengetahui kotanya ambyar karena salah kelola. Kota merupakan kepunyaan orang-orang yang mau terlibat berpartisipasi dalam membangun kotanya dengan pikiran terbuka sebab menyadari bahwa dirinya bukanlah satu-satunya orang yang menghuni kota tercinta.
Orang-orang ini yang layak disebut warga. Merekalah pemegang hak terbesar atas kota.