Peran almarhum Dr (Hc). KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai juru damai atau penengah konflik antara Israel dan Palestina ternyata memiliki latar belakang historis yang cukup panjang.
Pada tahun 1994 Gus Dur dan beberapa orang temannya diundang oleh Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Dalam buku berjudul Damai bersama Gus Dur, Djohan Effendi menulis bahwa ketika berkunjung ke Israel Gus Dur menyempatkan diri bertemu dengan sejumlah warga negara Israel baik dari kalangan orang-orang Yahudi maupun dari kalangan orang-orang Arab Muslim dan Kristen. Gus Dur juga merasakan adanya hasrat damai yang kuat dari warga Israel, bahkan mereka mengatakan kepada almarhum Gus Dur: “Hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang bisa merasakan apa mana kata damai”.
Setelah mendengar curahan hati rakyat Israel inilah KH. Abdurrahman Wahid menjadi tersentuh dan tergerak nuraninya untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina secara jujur dan adil dengan mengedepankan win-win solution. Dalam artikel berjudul “RI Dilamar Jadi Mediator Konflik Palestina – Israel”, Derek Manangka menulis bahwa Indonesia dan Israel telah membuka komunikasi informal jauh sebelum Gus Dur berkunjung ke Israel, yakni melalui kunjungan tidak resmi Perdana Menteri (PM) Yitzhak Rabin ke kediaman pribadi Presiden RI kedua, H. Muhammad Soeharto, di jalan Cendana, Jakarta, pada bulan Oktober 1992. Kunjungan ini bertujuan meminta jasa baik Indonesia sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok (GNB) untuk menjembatani konflik Palestina – Israel.
Menurut Derek, pertemuan tersebut menjadi sangat sensitif dan kontroversial bagi rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, apalagi RI juga tidak pernah mengakui eksistensi negara Israel dan tidak pula memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sehingga tidak mungkin terjadi pertemuan tete a tete (pertemuan dua kepala pemerintahan) antara kedua negara. Tiga hari pasca-pertemuan antara PM Rabin dengan Presiden Soeharto, Gus Dur pun menanggapi pertemuan kontroversial tersebut dengan memberikan komentar yang meskipun datar namun tetap kritis. “Tidak ada demonstrasi. Di kampung-kampung, masjid-masjid, semuanya tenang-tenang saja. Memang ada yang marah-marah tetapi kita lihatlah bagaimana reaksi masyarakat selanjutnya,” ujar Gus Dur kepada jurnalis stasiun televisi British Broadcasting Channel (BBC) di Indonesia (Wawancara, 18-10-1993).
Gus Dur juga berpendapat bahwa Yitzhak Rabin perlu bertemu dengan Suharto karena dua hal utama. Pertama adalah posisi Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non-Blok, dan kedua, terkait erat dengan persoalan internal negara-negara Islam. Hingga saat ini masih banyak negara-negara Islam yang tidak menyetujui perjanjian damai antara Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, dari Israel dengan Presiden Palestina, Yasser Arafat. Adapun mengenai isu hubungan diplomatik dengan Israel, Gus Dur menyatakan: “Indonesia dalam berhubungan dengan Israel hendaknya jangan membuat teman baru dengan meninggalkan teman lama. Masih banyak negara Islam yang memusuhi Israel. Selain itu hubungan diplomatik bukan satu-satunya cara bagi Indonesia untuk berhubungan dengan Israel”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di tahun 1992 almarhum Gus Dur setuju dengan suatu hubungan interaktif antara RI dan Israel namun tidak dalam bentuk hubungan diplomatik antara kedua negara, melainkan dalam bentuk hubungan dagang, hubungan militer, atau jenis hubungan lainnya. Saat itu almarhum Gus Dur juga memperingatkan pemerintah RI agar jangan sampai hubungan interaktif dengan Israel mengorbankan persahabatan RI dengan negara-negara Islam lainnya, karena masih banyak yang memusuhi dan tidak mengakui kedaulatan Israel. Meskipun demikian Gus Dur juga setuju dengan keinginan pemerintah RI untuk turut aktif berperan serta dalam mewujudkan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina.
Hubungan dagang antara Indonesia dan Israel yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid sepenuhnya bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia serta sebagai media bagi RI untuk terlibat penuh dan ikut serta secara aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina. Dalam percakapan antara Gus Dur dengan Presiden Soka Gakkai Internasional, Daisaku Ikeda, mantan presiden RI keempat itu mengungkapkan beberapa alasan utama yang menjadi latar belakang kebijakannya agar Indonesia membuka hubungan perdagangan dengan Israel.
“Saya selalu berpikir, selama ini negara kami telah lama berhubungan dengan Uni Soviet dan Cina yang tidak mengizinkan warga negaranya memeluk agama. Saya menganggap perlu diusahakan mencari kunci pembinaan hubungan dengan negara mana pun, tanpa memandang bagaimana latar belakang masa lampau, maupun seberapa jauh kesulitan masalah yang ada di antara negara tersebut dengan negara kami,” ujar Gus Dur kepada Daisaku Ikeda sebagaimana tertulis dalam buku KH Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda, Dialog peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa Gus Dur ingin agar Indonesia melakukan hubungan interaktif dan berkomunikasi secara aktif kepada seluruh negara yang ada di dunia ini tanpa kecuali, baik dalam bentuk hubungan diplomatik, hubungan dagang, hubungan militer maupun jenis hubungan-hubungan antarnegara lainnya.
Apalagi Israel bukanlah negara ateis seperti halnya Cina, Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan Uni Soviet melainkan negara demokrasi yang secara formal berbentuk sekuler tetapi sangat dipengaruhi oleh peradaban agama Yahudi, sehingga dari sudut pandang ini tidaklah bertentangan dengan Pancasila. “Bahkan selama ini saya telah berulang kali mengadakan kunjungan ke Israel, walaupun saya mengetahui adanya berbagai penentangan dan kritikan,” ujar Gus Dur kepada Daisaku Ikeda. Almarhum Gus Dur memang dikenal publik termasuk pihak yang pernah beberapa kali berkunjung ke Israel guna mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina serta membina hubungan kultural, religius, budaya dan akademis dengan Israel demi seutuhnya kepentingan bangsa Indonesia.
Peran aktif almarhum Gus Dur dalam mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel terlihat jelas dari keikutsertaan almarhum Gus Dur sebagai anggota dan pendiri Yayasan Shimon Peres (Shimon Peres Foundation). Menurut Juru Bicara Kepresidenan di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar, Yayasan Shimon Peres didirikan untuk menciptakan perdamaian di dunia, inilah sebab mengapa Gus Dur bersedia menjadi salah satu pendiri Yayasan Shimon Peres jauh sebelum menjadi Presiden RI. “Keberadaan Presiden Wahid di yayasan tersebut justru karena beliau konsisten untuk memperjuangkan perdamaian. Gus Dur mengenal orangnya dan tulisan Shimon Peres. Justru dari orang-orang semacam itu diharapkan lahir bibit-bibit perdamaian,” ujar Wimar Witoelar kepada media sebagaimana ditulis oleh Koran Kompas pada 16 Oktober 2010.
Wimar Witoelar juga menyatakan bahwa dalam masalah Palestina Indonesia bersikap mendukung perjuangan rakyat Palestina. “Saat ini mengatasi konflik memang perlu tetapi lebih perlu lagi adalah meletakkan dasar-dasar perdamaian untuk masa depan di Palestina dan Israel. Soal Yayasan Shimon Peres tidak perlu dibesar-besarkan karena hal ini tidak ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah Israel atau Zionisme,” ungkap Wimar Witoelar. Dengan demikian keterlibatan aktif Gus Dur sebagai pendiri dan anggota Yayasan Shimon Peres merupakan bagian dari ikhtiar almarhum untuk mewujudkan perdamaian abadi antara Palestina dan Israel. Hal ini karena sejak awal didirikannya Yayasan Shimon Peres bertujuan untuk menciptakan perdamaian dunia dan tidak terkait dengan kebijakan pemerintah Israel atau pun zionisme.
Ketika bertemu dengan Presiden Palestina, Yasser Arafat, dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi ke Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid selaku Kepala Negara menegaskan bahwa Indonesia terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu hak untuk mencapai perdamaian di Palestina, terserah pada orang-orang Palestina sendiri. “Yang dalam hal ini tentu diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan atau konferensi OKI, PBB, dan lain-lain,” ujar Presiden Wahid saat jumpa pers bersama Yasser Arafat. Kepala Negara juga menyatakan: “Bukan saya mendukung, tetapi hal itu akan ditentukan oleh keputusan negara-negara organisasi Konferensi Islam (OKI) dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” ketika ditanya oleh wartawan mengenai apakah Presiden Wahid mendukung kemerdekaan negara Palestina, sebagaimana ditulis oleh “Koran Kompas” pada 17 Agustus 2000.
Pernyataan resmi Presiden Wahid bahwa “Bukan saya mendukung, tetapi hal itu (kemerdekaan Palestina) akan ditentukan oleh keputusan negara-negara OKI dan resolusi PBB,” jelas menunjukkan bahwa yang memiliki legitimasi secara legal-formal untuk menentukan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina bukanlah dirinya pribadi selaku Kepala Negara RI. Pemilik sah legitimasi tersebut adalah negara-negara anggota OKI melalui hasil keputusan OKI dan negara-negara anggota Majelis Umum PBB melalui keputusan resolusi PBB, dimana RI merupakan salah satu anggota aktif OKI dan juga PBB.
Dengan demikian Presiden Wahid, secara tersirat, bermaksud menerangkan bahwa RI sebagai negara anggota OKI dan PBB akan turut aktif mendukung apa pun keputusan bangsa Palestina terhadap proses perdamaian di Palestina, yang diwujudkan melalui keputusan-keputusan OKI maupun resolusi-resolusi PBB. Jadi bukan dirinya pribadi sebagai kepala negara yang akan mendukung kemerdekaan Palestina, melainkan negara RI yang akan selalu mendukung apa pun keputusan-keputusan OKI dan resolusi-resolusi PBB terhadap kemerdekaan Palestina.
Terkait dengan hal ini Menteri Luar Negeri RI, Prof. Alwi Abdurrahman Shihab, Ph.D menjelaskan bahwa rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel semata-mata untuk kepentingan bangsa untuk pemulihan ekonomi. “Pemulihan ekonomi harus kita capai dengan segala cara. Tetapi bukan dengan menjual prinsip-prinsip kita,” kata Alwi dalam pertemuan dengan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pusat. Beliau juga menyadari bahwa persoalan hubungan dengan Israel itu sangat sensitif. “Tetapi kita harus mulai. Kita harus pragmatis. Kita harus rasional. Pengusaha yang pragmatis dan rasional itulah yang akan maju,” tegas Alwi sebagaimana dikutip oleh Koran Tempo dalam artikel berjudul “Alwi Shihab: Tidak Surut Meski Diprotes”.
Terkait isu hubungan diplomatik dengan Israel, Alwi Shihab menyatakan bahwa rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel sama sekali tidak mengurangi prinsip-prinsip dasar Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina. Dan hubungan itu, menurut Alwi, hanya sebatas hubungan dagang saja, tidak sampai hubungan diplomatik. “Karena kita masih menganggap Israel belum memberikan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada Palestina,” tegas Alwi Shihab.
Dari pemaparan tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai kebijakan politik luar negeri RI sebagai berikut:
Pertama, pemerintah RI tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik dengan Pemerintah Israel selama Pemerintah Israel masih belum mengembalikan hak-hak Bangsa Palestina yang dirampas secara paksa oleh Pemerintah Israel.
Kedua, pemerintah RI akan bekerja keras dan berjuang secara maksimal untuk melakukan pemulihan ekonomi negara, dengan segala cara (secara rasional dan pragmatis) tanpa mengorbankan atau pun menjual prinsip-prinsip yang selama ini dipegang teguh oleh pemerintah RI sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Ketiga, pemerintah RI akan membuka hubungan dagang dengan Israel sebagai salah satu cara untuk memulihkan ekonomi Indonesia tanpa pernah sedikit pun mengurangi prinsip-prinsip dasar Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina.
Keempat, pemerintah RI akan berusaha sungguh-sungguh untuk ikut serta secara aktif dalam upaya-upaya mewujudkan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, termasuk menjadi penengah yang baik dan diakui kapabilitas dan kredibilitasnya oleh kedua belah pihak, baik oleh Palestina maupun Israel. Adanya hubungan dagang dengan Israel akan digunakan sebagai celah atau pintu masuk bagi pemerintah RI untuk mewujudkan rencana perdamaian tersebut.
Sumber: nu.or.id