Banyak orang berkomentar bahwa kami adalah anak-anak yang beruntung, punya ayah seorang Gus Dur. Komentar ini benar sekali, namun tidak selalu dengan penjelasan yang tepat. Kami beruntung, bukan karena kemuliaan atau penghormatan yang mengikuti Gus Dur, tetapi karena pengalaman hidup sebagai anak seorang Gus Dur yang luar biasa dan penuh dinamika.
Bukan Ayah Biasa
Tentu saja semua orang bisa menilai bahwa Gus Dur bukanlah ayah biasa. Bagi kami, tak hanya sebagai seorang ayah, beliau juga sumber inspirasi, benchmark prestasi, dan pemicu pertumbuhan pribadi ulung. Tanpa banyak nasihat dan kata-kata, bahkan tanpa banyak waktu pribadi bersama kami, beliau memproses kami menjadi orang-orang dewasa sebaik-baiknya yang kami bisa.
Saat saya kelas 2 SMP, sekitar usia 14 tahun, Gus Dur menyampaikan bahwa kami tak bisa berharap beliau menjadi ayah selayaknya ayah teman-teman saya. Beliau katakan bahwa keluarga adalah prioritas keempat dalam hidupnya, setelah Islam, Indonesia, dan NU. Tentu saja, sebagai anak yang baru saja masuk masa remaja dan sedang mengalami proses penguasaan hidup, saya pribadi sangat kecewa saat menerima pernyataan itu, seakan-akan kami tidak cukup penting dalam hidupnya.
Tetapi pada saat yang sama, saya belajar banyak hal. Saya belajar bahwa hidup seseorang ditentukan oleh misinya. Ada harga-harga yang harus dibayar oleh seseorang atas misi yang dipilihnya itu. Saya belajar bahwa harga misi kehidupan tersebut juga akan merembes dan ikut dibayar oleh orang-orang di sekitar kita.
Dan yang terpenting, saat itu saya belajar implementasi dari hadis Rasulullah SAW: Khairunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. (HR. Bukhari dan Muslim).
Nilai-Nilai Hidup
Percakapan-percakapan kami tak banyak, tetapi memberikan pijakan untuk hidup saya selanjutnya secara signifikan.
Suatu saat di masa opresi aktivis oleh rezim Orde Baru, kami berkendara sekeluarga. Berhenti di persimpangan jalan Salemba dalam hujan, seorang anak kecil mengelap kaca mobil. Yenny, yang saat itu masih SMP dan selalu berperspektif politis, berkomentar, “Pak, itu kan melanggar UUD ’45. Anak terlantar harusnya dipelihara oleh Negara. Saya mau menulis ah di media, mau protes.”
Bapak menjawab, “Yenny, kamu masih kecil. Suaramu belum tentu didengar. Yang ada nanti kamu masuk black-list, dan sulit berkembang di Indonesia. Kalau kamu memang ingin menolong mereka-mereka itu, ikuti cara Mama. Terus mencari ilmu, gunakan untuk kemaslahatan orang banyak.”
Momen ini, walau sederhana dan saya hanya pendengar, menjadi tipping-point untuk saya secara personal. Kehidupan saya kemudian, sadar maupun tidak, selalu mengarah kepada aktivitas-aktivitas sosial kemasyarakatan, tidak bisa lagi hanya berpikir tentang kesuksesan pribadi seperti yang masa ini selalu digembar-gemborkan oleh para pembicara motivasi. Dan terpenting, saya belajar bahwa tujuan selalu harus diterjemahkan ke dalam strategi, tidak sekadar melakukan apa yang benar tanpa perhitungan cost-benefit atas tindakan tersebut. Melakukan protes, walau benar, bisa jadi saat itu tak memberi manfaat, bahkan berdampak tak baik.
Islam dan Indonesia
Dari keluarga Bapak, dengan darah KH. Bisri Syansuri dan KH. Hasyim Asy’ari mengalir kental di dalamnya, kami belajar bahwa Islam selalu menyatu dengan lokalitas di mana ia berada. Agaknya ini dijiwai pemahaman bagaimana Rasulullah s.a.w. tetap membawa berbagai praktik budaya pada zaman sebelum kerasulan, kemudian diberi frame baru yang seusai dengan prinsip ketauhidan Islam yang dibawa beliau.
Ibu saya menyebut orangtuanya sebagai Abi dan Umi. Justru Bapak dan adik-adiknya menyebut orangtuanya sebagai Ibu dan Bapak, sebagaimana layaknya orang Jawa menyebut orangtuanya. Kakek-nenek dan leluhur pun kami sebut Mbah atau Eyang. Keluarga-keluarga Kiai yang sangat dimuliakan ini tidak pernah terjebak dalam dikotomi lokal versus Islam. Sangat kuat dalam praktik keseharian keluarga besar para Kiai ini, Islam sebagai pedoman hidup dalam bertindak dan berperilaku, bukan melulu atribut-atribut. Bagi mereka, kita adalah orang Indonesia dan kita adalah orang Islam. Seperti selalu Bapak ucapkan, “sebagai Muslim, bila bicara Indonesia ya harus bicara Islam, bila bicara Islam ya harus bicara Indonesia.”
Banyak orang menilai Gus Dur terlalu ‘berpihak’ pada Indonesia. Banyak yang tak menyadari, bahwa sikap ini merupakan aktualisasi dari warisan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim, KH. Bisri Syansyuri, serta KH. Wahab Chasbullah. Garis kebijakan Nahdlatul ’Ulama, utamanya di masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, itulah yang menjadi sumber rujukan utama Gus Dur. Seperti terungkap dalam Dialog Peradaban Gus Dur dengan Daisaku Ikeda (pendiri Soka Gakkai), Gus Dur melihat dirinya sebagai murid dan penerus perjuangan kakek dan ayahnya.
Teladan dari ayahnya, KH. Wahid Hasyim, membuat Gus Dur sangat kuat menghidupi prinsip al-muhafadhatu ala al-qadim as-sholih wa akhdzu bi al-jadid al-ashlah, mempertahankan yang baik dari (tradisi) yang lama, dan mengambil yang lebih baik dari yang baru (modernisasi). Prinsip inilah yang membuat Gus Dur menjadi pembaharu dan sangat progresif menghadapi perkembangan zaman, tanpa pernah kehilangan akar pada tradisi.
Walau hanya sampai usia 12 tahun Gus Dur hidup bersama ayahnya, KH. Wahid Hasyim telah meletakkan dasar-dasar nilai yang demikian kuat dalam kehidupan Gus Dur. Khidmatnya kepada umat, upaya untuk terus-menerus memperbaiki sistem, dan sikap progresif terhadap modernitas; menjadi teladan Gus Dur dalam memimpin. Tasarruf al-imam ala al-ra’iyah manuthun bi al-mashlahah, kebijakan yang diambil seorang pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan ummat yang dipimpinnya, demikian ajaran KH. Wahid yang dipegang Gus Dur saat menjadi pemimpin. Karenanya ia kemudian menjadi pemimpin yang disukai mereka yang dilemahkan (oleh sistem), sekaligus menjadi musuh mereka yang menggunakan kepemimpinan untuk kepentingan kekuasaan.
Gus Dur juga mewarisi sikap ksatria para leluhurnya. Bahkan orang-orang yang menentangnya pun tak bisa memungkiri bahwa Gus Dur tulus dalam perjuangannya, tidak pernah mengambil untuk kepentingan pribadinya. Ketika mengemban amanah menjadi Presiden Republik Indonesia, saya pernah bertanya mengapa Beliau mau menerima beban itu sementara medannya begitu berat dan begitu banyak fitnah dan ancaman menimpa kami. Jawaban beliau sekali lagi memberikan pelajaran besar untuk saya: “Ini masa transisi yang sulit buat bangsa ini, Nak. Terlalu berat tekanannya, kasihan yang harus menghadapi. Nggak apa-apa, Bapak saja, karena (mental) Bapak kuat.”
KH. Wahid jugalah yang meneladankan sikap terbuka kepada siapa pun, baik kepada mereka yang satu golongan maupun tidak, bahkan juga terhadap mereka yang tak seide. Kisah menarik tentang hubungan dan dialog KH. Wahid dengan Tan Malaka, misalnya; menjadi satu sudut-pandang yang mewarnai kehidupan Gus Dur sampai akhir hayatnya, dan menjadikan beliau sebagai tokoh yang sangat diterima berbagai kalangan.
Saat Gus Dur wafat, kita melihat bagaimana berbagai kalangan menyatakan kehilangan atas kepulangannya. Bahkan, Gus Dur membuat tradisi ziarah yang dulunya khas para Nahdliyin menjadi tradisi baru di kalangan kaum modern bahkan kaum non-Nahdliyin. Artis, duta besar dan pemimpin negara-negara lain pun sekarang mudah dijumpai di makam beliau. Itulah kesaksian atas kemanfaatan hidup Gus Dur bagi umat, sesuatu yang menjadi cita-cita perjuangannya sejak muda.
Warisan Nilai Gus Dur
Bahkan setelah wafatnya, Gus Dur terus memunculkan ruang untuk kami belajar dan mengembangkan diri. Sekarang, keluarga Ciganjur sebagai anak-anak biologis-ideologis Gus Dur disibukkan dengan upaya merawat warisan perjuangan beliau bersama para anak-anak ideologis Gus Dur lainnya dari seluruh penjuru dunia. Murid-murid Gus Dur inilah salah satu warisan tak ternilai yang ditinggalkan Gus Dur.
Tak mungkin untuk menyamai Gus Dur, secara pribadi. Bahkan, Gus Dur pun tak akan menghendaki hal tersebut. Yang perlu kita lakukan adalah mengambil nilai-nilai yang telah diteladankannya, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial-masyarakat, sesuai dengan ruang kita masing-masing. Sinergi karya para murid-murid Gus Dur inilah yang kita harapkan mampu tetap mewarnai perjuangan kebangsaan di Indonesia, sebagaimana diwarisi Gus Dur dari para pemimpin pendahulunya.
Seperti kata Kang Tohari dalam sebuah diskusi, Gus Dur menumbuhkan perjuangannya dari akar Ketauhidan. Karena itu Gus Dur berangkat dari misi mulia menegakkan Islam Rahmatan Lil’Alamin. Dari Gus Dur kita belajar untuk memperjuangkan Keadilan, Kesetaraan, dan Persaudaraan sebagai wujud dari nilai Kemanusiaan. Perjuangan ini mensyaratkan prinsip-laku Kesederhanaan yang membuat kita mandiri dari godaan kuasa dan materi, Pembebasan dari segala jenis penindasan, serta Sikap Ksatria yang akan menjaga integritas, keberanian, dan kesabaran kita. Dengan tetap menghidupkan Kearifan Lokal, niscaya kita akan selalu menemukan jalan untuk kemaslahatan bangsa Indonesia.
Maka kalau sebagai anak-anak Gus Dur dianggap sebagai orang yang beruntung, barangkali warisan nilai dan perjuangan inilah salah satu keberuntungan kami.
(Ditulis untuk JUQ, Februari 2012)
Sumber: alissawahid.wordpress.com