Saya bukanlah orang yang pada awalnya berseteru dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan, pertama kali mengenal namanya yang asli, Abdurrahman ad-Dakhil, Abdurrahman Sang Pendobrak -dari buku biografi dan dokumentasi K.H. Wahid Hasyim, karya seorang cendekiawan sekaligus ulama, H. Abubakar Aceh- saya sudah menaruh perhatian dan harapan terhadap putra berdarah biru pesantren itu. Ketika itu saya berharap, orang muda itu kelak menjadi pemimpin Islam yang besar. Dalam jangka waktu yang cukup lama, saya tidak pernah berjumpa dengan orang muda itu, sampai pada suatu hari namanya saya kenal melalui tulisannya di halaman 3 Harian Kompas tentang peta kesusasteraan Arab modern, dunia sastra yang saya ingin mengenal lebih banyak, sebagai seorang peminat sastra.
Saya baru berkenalan secara pribadi dengan Gus Dur, melalui Abdullah Sarwani, ketika saya menjadi Wakil Direktur LP3ES proyek pengembangan pesantren. Ketika itu Gus Dur masih tinggal di Pondok Tebuireng sebagai Sekretaris Pondok dan saya memintanya untuk mengusulkan daftar nama para kiai yang bisa diundang untuk ikut serta dalam musyawarah besar pesantren di Hotel Tugu, Puncak. Dari forum itulah saya berkenalan dengan para kiai besar, misalnya Kiai Ilyas Ruchyat, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Maimun Zubair, atau kiai penggemar keroncong, Kiai Najih Ahmad dari Pesantren Maskumambang.
Dari forum itulah lahir proyek-proyek pengembangan pesantren yang di era 70-an rawan dicurigai, baik dari kalangan pesantren maupun pemerintah. Ketika itu NU yang berbasis pesantren adalah sebuah kekuatan oposisi dalam Pemilu 1971, terutama karena tokohnya Pak Ud atau Yusuf Hasyim, paman Gus Dur, berasal dari dunia pesantren dan menjadi tokoh PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Program ini dicurigai bukan saja oleh pihak pesantren sebagai proyek kooptasi Orde Baru, begitu pun pemerintah mencurigainya sebagai alat PPP dalam melakukan oposisi, karena ternyata PPP dalam Pemilu 1971 memperoleh dukungan yang cukup kuat dari umat Islam dan keluar sebagai pemenang kedua dalam Pemilu sesudah Golkar.
Padahal, saya menempatkan diri sebagai agen pembaru mengikuti Cak Nur yang mencanangkan pembaruan pemikiran keagamaan dalam Islam pada tahun 1970, walaupun dalam program pesantren saya mengutamakan pembaruan sosial dan bukan keagamaan. Dalam kaitan ini, Gus Dur dan Pak Ud menjembatani saya dengan dunia pesantren.
Gur Dur maupun Pak Ud tampaknya percaya pada saya karena secara konkret saya turut mendidik kader-kader pesantren dalam pengembangan masyarakat. Metode yang saya pilih adalah membiarkan pesantren dikembangkan oleh orang-orang pesantren sendiri, saya tidak peduli bahwa mereka itu adalah kader-kader NU. Saya sebagai orang Muhammadiyah justru secara sengaja membina kader-kader NU agar NU menjadi organisasi kemasyarakatan yang kuat dalam melakukan modernisasi dunia pesantren yang dikenal tradisional dan konservatif itu. Salah satu cara yang saya tempuh adalah membangun perpustakaan dan pusat informasi dengan mendidik para pustakawan. Pengembangannya dikoordinasi oleh Perpustakaan Wahid Hasyim. Perpustakaan ini didirikan di lingkungan Pesantren Tebuireng. Sementara, nama Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur, saya usulkan sebagai nama perpustakaan karena ia adalah simbol ulama intelektual di kalangan pesantren. Di samping itu, ia pernah memimpin Pesantren Tebuireng itu sendiri.
Namun, pada suatu ketika timbul masalah antara saya dan Gus Dur. Pada saat itu ia dikabarkan melakukan konspirasi mendongkel Pak Ud sebagai pemimpin pesantren dan ia sendiri berambisi untuk menggantikan kedudukan pamannya itu dengan bantuan ibunya, Bu Wahid, kakak ipar Pak Ud yang sangat disegani, politisi perempuan anggota DPRGR yang fasih berbahasa Belanda. Sampai-sampai saya mendapat kabar, Pak Ud yang terkenal tokoh politik yang tegar itu menangis karena kena marah kakak iparnya. Tetapi celakanya, Pak Ud menuduh saya ikut membantu Gus Dur mendongkelnya, karena itu saya ditegur oleh Direktur LP3ES Tawangalun. Tentu saja saya membantah tuduhan itu walaupun saya memang bersahabat dan mendukung usaha-usaha Gus Dur mengembangkan pesantren. Tetapi untuk membuktikan kebenaran bantahan itu saya diminta untuk menarik Gus Dur ke Jakarta sehingga tidak mengganggu kestabilan kepemimpinan pesantren.
Saya pada waktu itu menyadari bahwa jika Pak Ud kehilangan kedudukan sebagai pemimpin pesantren, maka peran dan pengaruh politiknya di PPP akan goyah, tanpa basis. Saya sendiri mendudukkan diri saya dalam posisi yang netral politik, karena itulah saya juga tidak dicurigai oleh pemerintah. Sebaliknya, saya dipercaya sebagai mediator antara pemerintah dan pesantren. Saya pernah diundang oleh Pangkomkamtib Laksamana Sudomo ke rumahnya untuk mendiskusikan hal ini. Pak Domo waktu itu dikenal sebagai tokoh yang ditakuti banyak orang, sehingga saya terkejut hampir tidak percaya ketika mendapat telepon langsung darinya.
Dengan persetujuan Direktrur LP3ES, saya kemudian merekrut Gus Dur sebagai staf LP3ES menjadi penasihat dalam program pengembangan pesantren. Dalam persepsi Mas Tawang berdasarkan informasi dari pamannya sendiri, Gus Dur ini adalah seorang politisi yang ambisius dan lihai. Ketika menjadi Direktur LP3ES saya membina hubungan internasional di kalangan LSM internasional Asia Tenggara dan Asia Selatan. Saya banyak menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dengan para aktivis LSM yang kebanyakan adalah tokoh-tokoh kiri, seperti Randy David, Jomo K. Sundaram, Martin Khor, Surichai, Suthi Prasechat, atau Sayed Husain Ali. Saya tentu tidak lupa melibatkan Gus Dur dalam pertemuan-pertemuan. Ternyata Gus Dur tidak canggung bergaul dengan orang-orang Marxis secara personal maupun intelektual. Karena itulah maka Gus Dur, selain Adi Sasono dan Arief Budiman dari Indonesia, berada dalam lingkaran kiri internasional.
Saya melihat Gus Dur cepat beradaptasi bergaul dengan orang-orang kiri yang menjadi lingkungan intelektual saya. Padahal Gus Dur adalah tokoh Muslim. Karena itu Gus Dur di mata saya bukanlah seteru secara intelektual. Ketika kami, Sritua Arief, Tawangalun, Adi Sasono, dan saya sendiri, mendirikan Lembaga Studi Pembangunan (LSP), dengan dukungan Bang Ali Sadikin, maka saya juga merekrut Gus Dur menjadi salah seorang staf, antara lain mengasuh jurnal ilmiah Wawasan bersama-sama dengan Nirwono yang berpikiran kiri. Di jurnal itu Gus Dur menulis profil Prof. Widjojo Nitisasatro, Ketua Bappenas saat itu. Dari tulisan itu terlihat Gus Dur memahami masalah-masalah pembangunan. Ia bukan hanya menuliskan profil tokoh, tetapi juga profil pemikirannya. Dalam bekerja, Gus Dur memanfaatkan sumber daya LSP untuk menerbitkan sebuah buku kumpulan karangannya mengenai pesantren, yang dokumen penerbitannya perlu dicari dalam rangka penelitian arkeologi pemikiran Gus Dur.
Sebagai penasihat saya selaku Direktur LP3ES, Gus Dur selalu melakukan perjalanan dari pesantren ke pesantren lainnya, menemui para kiai, ustad muda, dan para santri. Di sinilah terbangun kekuatan Gus Dur dalam memperoleh simpati dan dukungan, karena ketokohannya pada waktu muda. Pengembaraan silaturahmi yang dilakukannya tidak tertandingi oleh siapa pun di antara para kiai pesantren.
Dalam seminar internasional Indonesia-Timur Tengah yang saya organisasikan bersama Adi Sasono, saya juga memberi kesempatan pada Gus Dur untuk tampil sebagai pembicara bersama-sama dengan Pak Natsir mewakili Indonesia. Ia berbicara dengan bahasa Arab yang fasih, sedangkan Pak Natsir sendiri berbicara dalam bahasa Inggris, padahal Pak Natsir dikenal sebagai tokoh ulama. Inilah kelebihan ulama NU dalam penguasaannya terhadap bahasa Arab literer, terlebih Gus Dur adalah seorang pemerhati sastra Arab modern. Perhatiannya terhadap sastra ini ikut menunjang penghargaan saya terhadapnya, karena pemerhati sastra Arab Islam ketika itu hanyalah Ali Audah yang telah menerjemahkan berbagai karya sastra Arab Islam kontemporer.
Ketika masih duduk sebagai staf LP3ES itulah lahir rencana Gus Dur untuk menggantikan kedudukan K.H. Idham Khalid selaku Ketua PBNU. Saya sendiri tidak begitu memperhatikan ambisi dan kemampuan Gus Dur. Yang melihat potensi Gus Dur sebagai pemimpin NU yang baru adalah Aswab Mahasin, yang demikian mengagumi dan mengenal Gus Dur. Sebagai seorang yang punya pengetahuan mendalam mengenai agama, Aswab Mahasin mengetahui potensi Gus Dur sebagai pemikir Islam. Dialah yang banyak bercerita kepada saya mengenai rencana-rencana politik Gus Dur. Termasuk gagasannya mengenai “kembali kepada khittah” sebagai kendaraan ideologinya untuk mencapai jenjang kepemimpinannya di PBNU. Salah satu kecerdikan Gus Dur sebagai politikus adalah membawa Prof. Nakamura dari Jepang ke dunia NU. Padahal, Nakamura adalah ahli soal Muhammadiyah dan menulis disertasi yang terkenal mengenai organisasi ini yang ditulisnya di rumah K.H. Abdul Kahar Muzakkir, seorang tokoh Muhammadiyah dari Kota Gede pencetus gagasan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Saya sangat bersimpati dan mendukung gagasan kembali kepada khittah yang menempatkan NU sebagai organisasi sosial-keagamaan. Sebaliknya, saya tidak bersimpati kepada NU sebagai organisasi dan partai politik. Saya menginginkan agar NU menjadi kekuatan civil society. Karena itulah saya terlibat dalam pembinaan pesantren sebagai agen perubahan sosial. Namun demikian, saya merasakan bahwa justru ketika sudah kembali kepada khittah itulah warna politik NU makin kentara, karena dibawakan oleh Gus Dur sebagai politikus. Melihat minatnya di bidang politik, saya terus-terang kurang yakin tentang ketepatan Gus Dur sebagai Ketua PBNU. Ia lebih mencerminkan keintelektualan dan politik daripada keulamaan. Karena itu, ketika NU berada di bawah Gus Dur, NU berkembang menjadi kekuatan politik informal. Sementara itu saya lebih mendukung Gus Dur sebagai budayawan dan cendekiawan.
Selain itu, saya banyak melibatkan kawan-kawan Indonesia dalam forum dialog INCI (International Non-government Group on Indonesia), sebagai tantangan dan tandingan IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang merupakan organ penyaluran utang Indonesia kepada lembaga keuangan dalam konferensi-konferensi internasional di Eropa Barat. Di situ Gus Dur berkenalan dengan dua kelompok yang agak berseberangan, di satu pihak NOVIB sebagai organ Partai Buruh Belanda dan Friedrich Naumann Stiftung dari Jerman yang berhaluan liberal organ Partai Liberal Jerman. Dalam forum itulah kami berjuang melawan kemiskinan dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, hak-hak ekonomi dan hak-hak sipil. Sebagai Direktur LP3ES saya memegang posisi koordinator di antara LSM-LSM Indonesia maupun Asia Tenggara dan Asia Selatan. Dari forum-forum itulah maka Gus Dur mengembangkan peranannya sebagai intelektual organik, meminjam istilah Gramsci.
Saya mulai berseberangan dengan Gus Dur ketika ia mulai memainkan peranannya sebagai politisi. Di sini saya melihat Gus Dur dalam kepribadian ganda. Di satu pihak ia meletakkan posisinya sebagai budayawan dan cendekiawan organik, tetapi di lain pihak ia memerankan diri sebagai shrewd politician. Perseteruan itu mulai serius ketika ia menantang dan mengkritik pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang saya adalah salah seorang pendirinya yang paling awal bersama 4 orang mahasiswa fakultas teknik Universitas Brawijaya dan Bang Imad (Immaduddin Abdurrahim).
Saya sangat tersinggung ketika ia menuduh ICMI sebagai organisasi sektarian, padahal saya merasakan justru, secara politis, Gus Dur-lah yang sangat sektarian NU. Ia menyusup ke mana-mana dan menempatkan orang-orang NU dalam berbagai organisasi dan pemerintahan dengan kegiatan-kegiatannya sangat berorientasi kepada kepentingan NU. Sementara itu dalam persepsi saya ICMI justru melakukan integrasi, yaitu antara santri dan abangan, orang pemerintah dan masyarakat, ulama dan cendekiawan, dan antara umaro dan ulama. Oleh Pak Habibie saya ditugaskan untuk membina kerukunan dan kerja sama antara organisasi keagamaan. Karena itulah saya secara rutin memimpin diskusi-diskusi tokoh lintas agama dengan meminjam ruang diskusi BKKBN. ICMI juga berusaha mengarusutamakan gerakan Islam dalam pembangunan dan kebangsaan. Pak Habibie sendiri adalah seorang nasionalis pengagum berat Bung Karno.
Perseteruan saya dengan Gus Dur memuncak ketika ia bersama-sama dengan Amien Rais dan Akbar Tandjung berkonspirasi menjatuhkan Pak Habibie dari kursi kepresidenan. Waktu itu saya mendapat informasi bahwa Gus Dur selalu menteror Pak Habibie dan menuduh ICMI sebagai organisasi monster yang sektarian dan anti Kristen. Sementara itu saya sejak SMP sudah banyak bergaul dengan orang-orang Katolik dan Kristen melalui perkumpulan peminat sastra muda. Secara kepribadian saya adalah seorang pluralis. Waktu sekolah di AS, saya ikut giat dalam organisasi kegerejaan Presbiterian dan punya banyak kawan di lingkungan Mormon.
Sejak mahasiswa saya sudah aktif di PP Muhammadiyah di Yogyakarta bersama Syafii Ma’arif. Namun demikian saya bergaul akrab dengan orang-orang Ahmadiyah dan banyak membaca literatur Ahmadiyah. Agaknya yang mempertemukan kembali saya dan Gus Dur adalah sikap terhadap Ahmadiyah. Ternyata Gus Dur juga menjadi pembela Ahmadiyah ketika komunitas ini dianiaya. Saya kemudian juga membela umat Kristen dari penganiayaan orang-orang Islam. Saya sendiri sama sekali tidak ragu dalam membela umat Kristen yang rumah ibadahnya banyak diserang. Gus Dur ternyata juga sudah lama membela umat Kristen dan kelompok minoritas. Dari situlah saya mulai merenung kembali jejak langkah Gus Dur yang tampak di mata saya tidak konsisten dan bagi banyak orang membingungkan.
Sekarang ini timbul jawaban, pemikiran Gus Dur itu visioner melampaui zamannya, sehingga tidak mudah dipahami. Saya sendiri berusaha mencari jawaban mengenai tiga hal. Pertama, mengapa Gus Dur menuduh kelompok lain sektarian, sementara ia sendiri sangat menonjolkan identitasnya sebagai orang NU? Kedua, mengapa ia begitu kuat membangun NU sebagai kekuatan politik, dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sementara itu menggiring NU kembali kepada khittah-nya sebagai organisasi sosial keagamaan dalam kerangka civil society? Ketiga, mengapa mencitrakan dirinya sebagai budayawan dan cendekiawan, tetapi dalam realitas ia memainkan peranannya sebagai insan politik dan begitu berambisi menjadi presiden RI?
Pertama, Gus Dur memang sangat menonjolkan identitas NU dalam arena pergaulan kemasyarakatan dankeagamaan, tetapi ia memperhatikan dart menghargai identitas kelompok lain dari agama lain. Bayangkan jika Gus Dur hanya menonjolkan pluralisrne dan multikulturalisme, maka ia akan terkena tuduhan yang berdasarkan fatwa MUI, bahwa pluralisrne itu merupakan sikap yang memandang semua agama itu sama, dan karena itu agama akan kehilangan identitasnya. Tetapi, ia pun tampak tidak suka dengan penonjolan identitas keislaman, karena akan rawan terhadap tuduhan fanatisme dan sektarianisme. Sehingga, ia iebih mernilih menonjolkan ke-NU-an sebagai salah satu saja dari simbol keislaman dalam konteks kebudayaan dan kemajemukan. Ikhtiar tersebut ia lakukan supaya tidak dituduh mengklaim monopoli keislaman. Karena itu, di lain pihak ia juga mengajak hargai kelompok lain, baik di lingkungan Islam maupun di luar Islam.
Gus Dur juga membesarkan NU dengan pengaruh kuat, karena dengan itu ia akan memperoleh dukungan dari kalangannya sendiri. Dengan kuatnya NU, maka ia bisa menjadi kekuatan pendobrak, melakukan terobosan terobosan dan mengambil sikap yang bisa kontroversi misalnya ketika ia atas nama NU meminta maaf atas Peristiwa pembunuhan besar-besaran terhadap warga PKI dan mereka yang dituduh PKI, di mana warga NU punya peranan besar.
Kedua, Gus Dur memang pelopor kembali kepada khittah dalam Muktamar NU Situbondo 1984. Langkah ini memang diperlukan agar NU tetap bisa menjaga jati dirinya dan tidak terombang-ambing oleh godaan politik, sehingga NU tetap akan menjadi orginasi sosial-keagamaan di arena civil society. Namun dalam perjalanan sejarahnya, NU juga merupakan komunitas yang memiliki aspirasi politik. Agar aspirasi ini tidak mengganggu NU-di masa lalu banyak kiai yang meninggalkan pesantren karena aktif di bidang politik-maka oleh Gus Dur disalurkannya melalui suatu wadah partai politik. Selain itu, ia juga ingin menunjukkan bahwa PKB merupakan partai terbuka dan bukan penganut ideologi Islamisme yang mencita-citakan Negara Islam dan ingin memberlakukan hukum agama sebagai hukum positif.
Ketiga, Gus Dur memang menginginkan kekuasaan politik. Sebab dengan kekuasaan politik ia bisa berbuat banyak, misalnya mengambil keputusan untuk mengakui Kong Hu Cu sebagai agama dan menjamin hak dan kebebasan mereka menjalankan ajarannya. Jika mereka tidak diakui sebagai agama, misalnya sebagai aliran kepercayaan atau filsafat, maka orang-orang Tionghoa bisa meninggalkan agama leluhurnya dan terpaksa masuk agama lain. Dengan kekuasaan politik yang dia punyai, Gus Dur dapat menjalankan politik multikulturalisme. Jika ia memegang kekuasaan, maka kejadian yang menimpa Ahmadiyah, komunitas Eden, atau penutupan rumah-rumah ibadah umat Kristen tidak akan terjadi. Dengan kekuasaannya ia juga bisa mendobrak TNI melakukan reformasi internal. Ia bahkan berani mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen walaupun tindakan ini menjadi sebab kejatuhannya karena dianggap melanggar konstitusi, tetapi ia menuduh balik bahwa justru penjatuhannya itu justru yang melanggar konstitusi.
Sebenarnya saya sudah tidak lagi berseteru dengan Gus Dur sejak ia membela Ahmadiyah dan umat Kristen yang teraniaya. Saya juga mengakui sisi positif kepemimpinan Gus Dur dengan menyaksikan perkembangan NU dan lahirnya generasi muda NU progresif seperti Ulil Abshar-Abdalla, A Moqsith Ghazali, Zuhairi Misrawi, M. Guntur Romli, kiai muda Maman Imanulhaq Faqieh, dan lainnya yang tampil berani dengan mengusung simbol liberalisme, pluralisme, dan sekularisme. Mereka itu saya pandang sebagai Gus Dur-Gus Dur muda yang mewarisi dan meneruskan perjuangan Gus Dur.
Saya mengakui Gus Dur sebagai seorang pembaru pemikiran dalam Islam, selain Cak Nur. Dan saya sudah merumuskan 10 poin pemikiran Gus Dur mengenai Islam dan kebangsaan sebagai dasar alasan saya menganggapnya sebagai orang yang memiliki konsep mengenai pemikiran Islam dan kenegaraan serta kemasyarakatan. Saya menyatakan perubahan sikap saya itu ketika saya diminta untuk memberi sambutan dalam acara Ulang Tahun Gus Dur di Ciganjur. Saya juga menyatakan bahwa saya memahami mengapa sebagian generasi muda NU menganggap Gus Dur sebagai seorang wali.
Namun saya memiliki kriteria tersendiri mengenai siapa di antara pemimpin Muslim yang dapat disebut wali. Pertama, orang banyak merasakan bahwa kehadirannya membawa rahmat atau kasih sayang kepada sesama manusia dan makhluk Tuhan. Kedua, orang lain bisa melihai bahwa dirinya adalah wali, orang yang dikasihi Tuhan. Sedangkan kasih Tuhan itu tampak pada kasih orang banyak kepada orang itu. Ketiga, terdapat kesepakatan umat Islam maupun penganut agama lain yang mengakui bahwa ia adalah seorang pemimpin atau guru bangsa. Penilaian itu tentu berbeda dari satu orang ke orang lain. Tetapi tanda seorang wali adalah bila pengakuan itu diperolehnya dari hampir semua orang.
Mengenai anggapan bahwa Gus Dur adalah seorang wali, saya mendapat informasi bahwa Gus Dur sangat marah mendengar orang menganggap dirinya sebagai seorang wali, sejajar dengan Walisongo. Ia tidak menyetujui sikap kultus terhadap seseorang, sekalipun kepada orang besar atau dirinya sendiri. Walau bagaimanapun juga, tetap saja ada yang menganggap Gus Dur sebagai wali, misalnya orang dekat Gus Dur sendiri, Gus Nuril, seorang kiai sekaligus pendekar pluralis yang sedang mengembangkan pesantren antaragama.
Ketika Gus Dur meninggal, pemerintah memutuskan hari berkabung dengan mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari. Selama tujuh hari itu pula berbagai pesantren menyelanggarakan tahlilan dengan pengunjung puluhan ribu orang. Selama tujuh hari tidak habis-habisnya pemberitaan mengenai dan keistimewaan Gus Dur sebagai pendekar hak-hak asasi manusia, dan pluralisme.
Mungkin di masa mendatang akan lahir tradisi haul Gus Dur setiap tahun di akhir tahun, dengan pengajian akbar memperingati Gus Dur yang dihadiri oleh anggota masyarakat dan para pemimpin dari semua kalangan yang berbeda agama dan kepercayaan. Ini akan menunjukkan kecintaan umat dan rakyat kepada Gus Dur yang merupakan tanda-tanda kasih Tuhan kepada Gus Dur. Di sini bisa terbukti sendiri bahwa Gus Dur adalah seorang wali Tuhan, seorang yang sangat dikasihi Tuhan. Semua orang akan memanggil dia “ya habibi” Vox Populi Vox Dei, suara rakyat suara Tuhan.
Jakarta, 15 Januari 2010
*Artikel ini pertama kali dimuat dalam buku Damai Bersama Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010)