Baru-baru ini, dunia tafsir Indonesia ramai membicarakan pendekatan baru. Aneka diskusi hangat dan majelis webinar digelar untuk memenuhi animo masyarakat mufassirin dan awam. Adalah pendekatan maqashidi yang, di Indonesia, diinisiasi oleh Kiai Abdul Mustaqim, pengasuh Pesantren Mahasiswa LSQ (Lingkar Studi al-Qur’an) ar-Rohmah Yogyakarta.
Dalam jagat tafsir, pendekatan maqashidi sebenarnya sudah terlebih dulu diperkenalkan oleh, umpamanya, Thahir Ibn ‘Asyur dalam karyanya, Al-Tahrir. Namun untuk Indonesia geliatnya mengemuka sejak akhir 2019 lalu, saat pengukuhan gelar guru besarnya, Kiai Mustaqim menyampaikan secara komprehensif nalar pendekatan tafsir maqashidi, secara ontologis dan epistemologis. Tak hanya itu, beliau juga secara apik mengaplikasikannya dalam sebuah kitab berjudul Al-Tafsir al-Maqashidi: al-Qadlaya al-Mu‘ashirah fi Dlau’ al-Qur’an wa al-Sunnah al-Nabawiyyah.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, tafsir maqashidi menjadi menarik karena sebelumnya masyarakat telah lebih dulu mengenal pendekatan yang sama dalam frame yang berbeda. Term maqashidi yang menjadi nisbat pendekatan ini sangat dekat dengan istilah maqashid al-syari‘ah dalam disiplin fikih, yang dalam kultur masyarakat Indonesia telah mengakar sejak lama. Kemudian dalam perjalanannya, maqashid ini terus mengalami pembaruan model yang lantas diadopsi dan diadaptasi dalam sebuah aktivitas berpikir.
Tulisan Kiai Mustaqim ini mengingatkan saya akan sebuah ide yang dulu sempat dimunculkan oleh KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sebuah ide yang beliau sebut dengan pribumisasi Islam. Beliau perkenalkan dan beliau elaborasi secara mendalam melalui dua buah tulisan berjudul Salahkah Jika Dipribumisasikan? dan Pribumisasi Islam. Kedua tulisan ini diterbitkan ulang secara daring melalui laman resmi NU Online, masing-masing tertanggal 11 dan 19 Juli 2015.
Menurut hemat saya, dua pemikiran yang disampaikan oleh Kiai Mustaqim dan Gus Dur ini memiliki beberapa kemiripan dan pada ruang tertentu bahkan memiliki jami‘ (unsur penyatuan) bagi keduanya untuk saling mengisi ruang kosong yang dimiliki masing-masing keduanya.
Pribumisasi Islam muncul sebagai kritik atas kegagalan dalam membedakan ruang gerak masalah-masalah agama dan budaya yang saling tumpang tindih. Kegagalan ini bermula dari kesalahan dalam memahami dasar pergerakan keduanya. Jika agama mendasarkan gerakannya pada nash-nash wahyu yang cenderung normatif dan permanen, maka budaya merupakan hasil akal budi manusia yang selalu berkembang sesuai fithrah perkembangan manusia itu sendiri.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri jika agama dan budaya memiliki bidang dan ruang arsir yang sama. Hal ini dikarenakan banyak dari aspek agama yang terejawantahkan melalui celah dimensi budaya. Itulah sebabnya, dalam memahami setiap nash wahyu mengharuskan adanya pemahaman terhadap dimensi-dimensi kontekstual yang sering kali memiliki muatan kebudayaan.
Pemahaman nash wahyu melalui dimensi kontekstual juga penting dalam rangka menuntun pada weltanschauung (pandangan dunia) Islam; nilai-nilai yang menjadi dasar ajaran Islam. Pandangan ini berdiri di atas tiga nilai dasar: keadilan, persamaan, dan demokrasi (syura). Nilai keadilan sendiri memuat nilai-nilai lain yang dalam disiplin ushul fiqh dikenal dengan al-kulliyyat al-khams atau lima jaminan dasar; jaminan keselamatan fisik, jaminan keselamatan keyakinan agama, jaminan kesucian keluarga, jaminan keselematan hak milik dan jaminan atas keselamatan profesi.
Sementara itu, tafsir maqashidi muncul dalam ruang yang kurang lebih sama. Sebuah ruang di mana terdapat kerancuan dalam memahami medan cakupan agama dan budaya. Kerancuan ini juga disebabkan oleh kesalahan dalam memahami nash-nash agama, baik Al-Qur’an maupun hadis. Nash yang ada cenderung ditelan mentah-mentah tanpa memperhatikan aspek lain yang melingkupi dan mendasari kemunculannya. Padahal sebuah teks tidak mungkin muncul dalam sebuah ruang hampa budaya. Ia selalu diliputi budaya-budaya tertentu yang boleh jadi memiliki peran terhadap pembentukan teks. Maka penting mengetahui sejarah kebudayaan yang ada ketika sebuah teks muncul, masalah apa yang mendasari kemunculannya, apa yang hendak direspons serta di mana posisinya terhadap budaya yang ada.
Selain itu tentunya tafsir maqashidi juga mempunyai distingsi tersendiri yang mendasari kemunculannya. Di mana ia dimaksudkan sebagai kontrol sekaligus counter atas pemahaman nash lain yang lebih mendewakan unsur kontekstual ketimbang nash itu sendiri. Hal ini karena nash agama di masa kini telah bertransformasi menjadi medan kontestasi (baca: konflik) antara paham yang mengedepankan nash (ya‘buduna al-nash) dan paham yang kelewat mengabaikannya (yu‘atthiluna al-nash). Sehingga tafsir maqashidi diposisikan sebagai sebuah sintesa kreatif yang menjembatani keduanya; mempertimbangkan konteks setiap nash, setelah usai dari memahami segala aspek yang berkaitan dengan nash.
Al-kulliyyat al-khams,yang menjadi nilai dasar dalam pribumisasi Islam, juga menjadi prinsip metodologi yang harus diperhatikan dalam tafsir maqashidi. Perluasan wilayah jaminan dasar juga dilakukan seiring dengan berkembangnya kebutuhan dasar umat manusia. Jika dalam pribumisasi Islam hanya mengenal lima jaminan dasar, maka dalam tafsir maqashidi diperluas dengan melakukan penambahan aspek lingkungan (hifdz al-bi’ah) dan aspek bela negara (hifdz al-dualah). Medan jangkauannya juga tidak hanya berhenti pada aspek jaminan yang bersifat proteksi (perlindungan) saja, melainkan ditingkatkan pada aspek produksi (menghasilkan).
Jika demikian kemiripannya, lantas apa jami‘ antara keduanya?
Selain mistisisme atau tasawuf, boleh jadi fikih merupakan kajian yang paling lekat dengan masyarakat Indonesia. Pengetahuan tentangnya juga dimungkinkan telah berlangsung lama sejak Islam masuk di Nusantara. Hal itu karena fikih memiliki persinggungan secara langsung terhadap segala aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Fikih sangat berkepentingan memberikan keputusan berkaitan dengan hukum keislaman, entah itu aspek peribadatan individual atau interaksi sosial kemasyarakatan.
Sehingga dalam perkembangannya, fikih tidak hanya menjadi konsumsi elit tertentu seperti santri dan atau kiai, melainkan seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang awam dalam masalah agama. Bahkan jika mengamati dinamika yang ada, telah terjadi semacam relasi mutualisme yang berlangsung secara simultan di antara keduanya. Masyarakat dengan segala problematikanya membutuhkan pemahaman dan penjelasan elit santri dan kiai. Sebagaimana jagat kajian fikih santri dan kiai akan selalu ramai dan diramaikan oleh berbagai problematika masyarakat.
Namun demikian perlu disadari bahwa fikih yang berkembang di masyarakat, termasuk di beberapa elit santri dan kiai, merupakan sebuah produk matang yang sudah ‘jadi’, tidak disertai dengan bangunan perangkat metodologis penggalian hukum yang memadai. Sehingga, fikih yang ada cenderung rapuh dan mudah terombang-ambing. Bangunan hukum ini yang kini coba digugat oleh sebagian kalangan. Mereka mempertanyakan asal muasal bagaimana sebuah hukum ditelurkan melalui dalil-dalil otoritatif agama, Al-Qur’an dan hadis. Maka, di sinilah signifikansi peran tafsir maqashidi. Ia memberikan pondasi galian hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an. Menggabungkan aspek teks dan konteks setiap ayat yang ada, dengan pendekatan maqashidi yang menjadi asas penetapan setiap hukum oleh Allah dalam kitabnya.
Jika kedua pemikiran ini digabungkan ke dalam satu wadah yang utuh, maka setiap putusan hukum yang digali akan memiliki pondasi yang kuat. Pasalnya selain berpijak pada nash pewahyuan, nash yang ada juga dipahami melalui konstruksi metodologi yang valid dan kredibel serta memiliki kesamaan pemahaman dari aspek maqashid yang menjadi concern pribumisasi Islam.
_______
Tulisan ini merupakan 1 dari 10 esai terpilih Lomba Menulis Esai #HarlahGusDur bertema “Kita Butuh Islam Ramah, Bukan Islam Marah”, hasil kerja sama gusdurian.net, islami.co, dan nu.or.id.