Apakah ketika terjadi bencana banjir awal tahun ini di Jakarta alam menyeleksi siapa yang menjadi korban? Atau ketika pandemi yang masih melanda, korban yang meninggal ditentukan berdasarkan agama?
Tidak. Tidak peduli Islam, Kristen, Hindu, Buddha bahkan Konghucu, karena bencana akibat kerusakan yang kita buat sendiri itu bisa berdampak lintas agama dan kepercayaan. Ini adalah masalah umat manusia bersama, bahkan paradigma climate change sebagai istilah perubahan iklim telah berubah menjadi climate crisis. Kita sedang dalam krisis iklim dan lingkungan, sedangkan manusia masih bebal untuk sadar dan mau berubah. Mari kita lihat data dan fakta konservasi internasional pada tahun 2018: konsentrasi karbon dioksida di atmosfer kita merupakan yang tertinggi dalam tiga juta tahun terakhir.
Masih kurang sadar? 11% emisi dari keseluruhan gas rumah kaca disebabkan oleh defortasi, atau sebanding dengan emisi dari keseluruhan mobil dan truk di planet ini. Ini adalah realitas yang harus kita hadapi. Sebab tanggung jawab menjaga bumi harus melibatkan banyak aktor, sektor, dan semua lini masyarakat, juga tentunya agama sebagai pondasi berpikir dan bertindak. Allah tidak mungkin secara sia-sia menjadikan manusia khalifah di bumi tanpa tujuan. Kita harus berkontemplasi, belajar untuk mendengar dan membaca banyak peringatan dari ilmuwan dan tokoh-tokoh pemimpin, bahwa kerusakan lingkungan semakin nyata bukan hanya angka.
Gus Dur merupakan sosok dari perwakilan pemimpin agama (Islam) yang mempunyai andil terkait keberlangsungan lingkungan hidup. Ia menerima gelar penghormatan sebagai tokoh pejuang lingkungan hidup dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup). Pemikirannya adalah aktualisasi keislaman. Namun ketika melihat realitas masifnya kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia, yang notabene mayoritas masyarakatnya muslim, keberadaan Islam yang ramah terhadap semesta menjadi dipertanyakan: apakah kerusakan bagian dari ajaran?
Antroposentrisme Umat
Jika kita menelusuri permasalahan lingkungan secara mendasar, hal ini berkaitan dengan pola pikir manusia yang sok modern dan salah kaprah. Manusia merasa paling superior dibanding makhluk ciptaan lainnya. Kita, manusia, sering kali menghalalkan pelbagai cara agar segala kebutuhan terpenuhi dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Akibatnya banyak sekali. Pencemaran limbah, menumpuknya polusi, dan penurunan luas hutan, semuanya mengancam kesejahteraan ekologis global. Cara pandang antroposentrisme ini semakin lama semakin meracuni kehidupan di bumi. Lalu di mana kedudukan Islam rahmatan lil`alamin dalam setiap kebijakan lingkungan?
Pemerintah saat ini dihadapkan pada persoalan kebakaran hutan, krisis air bersih, dan punahnya satwa yang belum ada penyelesaiannya. Padahal jauh sebelum masalah ini membesar, pada masa sebelumnya Gus Dur telah mengeluarkan kebijakan moratorium penebangan hutan. Pemikirannya jauh lebih visioner pada masa itu, mengingat saat era Orde Baru transparansi dalam proyek-proyek pembangunan yang mengorbankan hutan dipertanyakan. Mengutip Mongabay.co.id, Gus Dur telah mengambil langkah seribu dengan melakukan moratorium tebang hutan (10-20 tahun) seiringan dengan proses revisi regulasi agar landasan hukumnya kuat dengan restorasi yang dibutuhkan alam. Sesungguhnya ini adalah bentuk pengamalan amar ma’ruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan melarang keburukan). Artinya, Islam dan kerusakan adalah dua arah yang berseberangan.
Gus Dur menyadari bahwa moratorium ini adalah bentuk welas asih, karena pada 1998 deforestasi mencapai 2 juta hektar per tahun. Bayangkan apabila hal ini tidak bisa dikendalikan dalam bentuk kebijakan, maka bukan hanya hutan sebagai sumber oksigen saja yang dibabat tapi kehidupan dan kemanusiaan terkikis habis. Di satu sisi, moratorium adalah langkah ambisius karena tidak bisa dipungkiri bahwa ekonomi kapitalisme mempunyai kepentingan dalam proyek yang mengandalkan hutan sebagai bahan baku utama. Namun kebijakan ini memandang bahwa keuntungan ekonomi saat ini tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memulihkan alam, terutama hutan yang menjadi daya dukung kehidupan di bumi.
Konsep antroposentrisme yang menggerogoti relasi umat dengan alam merupakan antitesis dari konsep Islam rahmatan lil ‘alamin. Bagaimana bisa mengklaim Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam jika kita menyakiti ciptaan Allah lainnya untuk keserakahan diri kita? Hal-hal yang dipaksakan untuk diterapkan akan menjadi bencana. Kita bisa berkaca pada bencana nuklir Chernobyl tahun 1986. Waktu itu isu pembangunan listrik tenaga nuklir juga sedang mengemuka di Jepara. Sampai di masa kepemimpinan SBY, ketika itu Gus Dur dengan tegas mengatakan “Saya mendukung para ulama dari Jepara untuk mengharamkan PLTN karena di dalam Al-Qur’an sesuatu yang memberi dampak mudhorot itu hukumnya haram” (Detik.com 08 September 2007).
Gus Dur juga mendengarkan ilmuwan dan para saintis bahwa pulau Jawa adalah daerah rawan bencana dan gempa bumi. Jika itu tetap dilakukan, dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi lingkungan dan laut jika terjadi kebocoran. Meski pembangunan PLTN berdasarkan alasan untuk keberlanjutan energi pada masa yang akan datang, tetapi manajemen resikonya sangat rendah, terlebih untuk wilayah pulau Jawa. Belum lagi adanya penolakan besar-besaran dari warga. Ini merupakan sinyal bahwa peran Gus Dur sebagai ulama dan tokoh bangsa mempengaruhi keputusan umat dan melihat permasalahan ini dengan pendekatan keramahan ajaran Islam bukan dengan kekerasan.
Terkait dengan pelestarian laut, kita harus mengakui bahwa Gus Dur adalah peletak kepemimpinan pertama dalam hal melembagakan urusan kelautan dan perikanan dalam naungan sebuah kementerian yang selama ini terpinggirkan. Meski konsep ”Indonesia maritime fulcrum” secara tajam digagas oleh presiden Joko Widodo, Gus Dur adalah guru bangsa yang membentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ia jeli melihat kekayaan laut Indonesia. Sebab jika tidak diatur dan ada regulasi jelas, ini akan menjadi peluang cukong-cukong menindas nelayan dan perusak laut dibiarkan, sementara pikiran kebanyakan orang saat itu masih terpusat bahwa Indonesia adalah negara agraris dan mengingkari bahwa kita juga negara kepulauan.
Quo Vadis?
Dalam era tatanan global terkait dengan krisis lingkungan dan relasinya dengan Islam yang perlu digugat bukan ajaran Islamnya, tapi keislaman kita karena pemimpin adalah cerminan masyarakat dan masyarakat adalah cerminan pemimpin. Kerusakan yang kita ciptakan melukai Islam rahmatan lil ‘alamin. Ini adalah kritik dan realitas yang harus kita hadapi. Pasalnya urusan agama bukan hanya mengawang-awang tinggi tentang hidup di akhirat. Tokoh agama berperan penting dalam menyuarakan keislaman dalam relasinya dengan lingkungan. Kita adalah khalifah di bumi. Islam hadir dalam segala lini untuk melindungi kita, tentu dengan menjadi Islam yang ramah bukan Islam yang marah.
Kontribusi pemikiran dan kebijakan serta dukungan Gus Dur dalam melindungi hutan, penolakan PLTN, dan membentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan langkah maju cerminan pemimpin yang merawat Islam rahmatan lil ‘alamin. Kita hanya perlu gerakan massal untuk meneladaninya.
________
Tulisan ini merupakan 1 dari 10 esai terpilih Lomba Menulis Esai #HarlahGusDur bertema “Kita Butuh Islam Ramah, Bukan Islam Marah”, hasil kerja sama gusdurian.net, islami.co, dan nu.or.id.