Feminisme Gus Dur: Dari Pemikiran sampai Tindakan

Selain pamornya yang mentereng sebagai Bapak Pluralisme Indonesia, kiprah Abdurrahman Wahid di ranah kesetaraan gender juga tidak kalah berarti. Semangat kemanusiaan tokoh yang akrab disapa Gus Dur ini sungguh besar dalam memutus belenggu ketidakadilan yang sejak lama menyentuh aras relasi laki-laki dan perempuan, terutama di Indonesia. Ia tak hanya berpemikiran feminis, tapi juga memanifestasikan pemikirannya itu dalam kehidupan. Feminisme Gus Dur inilah yang penting disorot kembali untuk diteladani. Karena ia menggagas pemikiran kesetaraan gender sekaligus mempraktikkannya.

Tiga Asas feminisme Gus Dur

Dalam Revitalisasi Spirit Pemikiran Etika Gus Dur anggitan Faizatun Hasanah disebutkan tiga hal yang kemudian menjadi asas pemikiran Feminisme Gus Dur. Tiga asas tersebut ialah pertama, bahwa manusia –perempuan dan laki-laki- adalah tokoh mandataris untuk menjadi penanggung jawab bumi. Kedua, manusia menempati posisi tertinggi dibanding makhluk Tuhan yang lain. Ketiga, manusia diberi kemampuan intelektual untuk menumpas masalah kemanusiaan. Tiga asas ini juga disebut dengan prinsip humanisme Gus Dur.

Tiga asas itu bila dipersempit lagi tampaknya berporos pada satu hal, yakni peran manusia sebagai khalifatul ard (khalifah di bumi). Sebagaimana yang ia sampaikan dalam Pergulatan Agama, Negara, dan Kebudayaan, bahwa manusia sebagai khalifatul ard berarti ia harus menjalankan fungsinya sebagai penanggung jawab, pengatur, dan penjaga kesejahteraan penduduk bumi, yang itu artinya ia diberi mandat untuk menjalankan tugas sosialnya. Sehingga, tidak boleh melibatkan rasa egois atau mementingkan diri sendiri.

Gus Dur menjadikan Nabi Saw sebagai teladan dalam menjalankan tugas sosial ini. Berdasarkan apa yang tersebut dalam Al-Quran, bahwa Nabi adalah sosok penebar kasih sayang pada semesta (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107). Kasih sayang itu diejawantahkan oleh Nabi dalam kehidupan yang sejahtera, setara, dan humanis. Demikianlah manusia seharusnya. Menjalankan tugas sosial mesti dengan prinsip humanis, setara, dan sejahtera.

Berlandaskan tiga asas itu, perlindungan terhadap harkat martabat seluruh manusia harus ditegakkan, serta pengembangan potensi dioptimalkan. Maka, seseorang bisa lebih bebas untuk menggali potensi yang ada dalam dirinya tanpa dihantui rasa cemas terhadap ancaman atau stigma orang lain hanya karena perbedaan kelamin. Di sisi lain, seseorang dapat menjaga kehormatannya dari segala perilaku yang menyimpang.

Dalam sumber lain, feminisme Gus Dur berdiri atas dua pondasi. Pertama, nasionalisme, yakni sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kedua, teologis, yakni lima pilar maqashidus syariah yang digagas Al-Ghazali, yang secara berurutan meliputi; hifdzud din (penjagaan agama), hifdzun nafs (penjagaan nyawa), hifdzul ‘aql (penjagaan akal), hifdzul mal (penjagaan harta), dan hifdzun nasl (penjagaan keturunan). Lima pilar ini kemudian yang Gus Dur sebut sebagai prinsip Universalisme Islam. Dua pondasi ini semakin memperkuat gagasan Gus Dur tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki.

Mendukung Monogami

Semangat Gus Dur dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender tampak saat ia mendukung monogami. Kecenderungannya pada prinsip monogami cukup kentara. Mengutip Mujamil Qomar dalam NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, Gus Dur menunjukkan perhatian secara serius terhadap kondisi perempuan saat itu yang tertekan karena tertimpa berbagai diskriminasi, stigmatisasi, dan subordinasi.

Kondisi tersebut tentu saja juga mencakup ranah domestik, karena asumsi bahwa perempuan sebagai second sex (manusia kelas dua) terlanjur jadi common sense di hampir seluruh lini masyarakat. Hal inilah yang kemudian membuat perempuan tertindas martabatnya. Dan demi meretas ketertindasan itu, Gus Dur dengan tegas menyerukan penghapusan poligami.

Perempuan Bisa jadi Presiden

Legalitas perempuan menjadi presiden yang sempat menuai kontroversi juga tak luput dari sorotan Gus Dur. Sekali lagi, Gus Dur dalam hal ini konsisten dengan prinsip humanismenya yang telah dijelaskan di muka. Ia membedakan dakwah Nabi sebagai bagian dari masyarakat Arab dan budayanya dengan Nabi sebagai rasul dengan misi profetiknya dalam memaknai QS. An-Nisa [4]: 34.  Menyitir Faizatun Hasanah dalam Awareness on Islamic Feminism: Learning From Gus Dur and Husein Muhammad, Gus Dur menafsirkan bahwa ayat ini sangat kontekstual. Mengapa di dalamnya tertera laki-laki menjadi penopang perempuan? Karena saat ayat turun, kondisi laki-laki lebih memungkinkan sebagai penjamin keselamatan perempuan.

Begitu pula, dari sisi psikologis, perempuan cenderung lemah pada waktu itu. Sehingga, laki-lakilah yang mampu sebagai penopang perempuan. Bila dihadapkan dengan setting sosial saat ini, tentu pemaknaan ayat tersebut akan berbeda. Karena, perempuan telah jauh berdaya daripada waktu ayat itu turun, sehingga sepanjang perempuan mumpuni, ia juga berkesempatan untuk menjadi pemimpin.

Distingsi peran Nabi sebagai bagian dari masyarakat Arab dan sebagai pembawa misi profetik terlihat dari pemaknaan Gus Dus atas QS An-Nisa [4]: 34 secara kontekstual itu. Ia dengan cermat meraba maksud ayat tersebut dari sisi psikologis dan antropologisnya. Maka kemudian, ia mendukung legalitas perempuan menjadi pemimpin, sekalipun setingkat presiden.

Islam bagi Gus Dur tidak membeda-bedakan perempuan dan laki-laki kecuali dari segi biologisnya. Dalam tataran stuktur sosial apa pun itu, laki-laki dan perempuan sejajar, sehingga dua-duanya memiliki kuasa yang sama untuk menggali potensi masing-masing, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Praktisi Kesetaraan Gender

Selain sebagai pemikir, Gus Dur juga menjadi praktisi kesetaraan gender. Tercatat sejak ia mengetuai Konferensi Tanfidziyyah NU di Situbondo 1984 silam, Gus Dur mendorong Muslimat untuk mengepakkan sayapnya di luar persoalan perempuan. Ia menghimbau agar Muslimat lebih fokus pada isu sosial dan menjalin kerjasama dengan organisasi lain. Gus Dur juga membuat berbagai kebijakan sosial demi mengupayakan pengarustutamaan gender. Antara lain, Kebijakan PUG dalam inpres nomor 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender. Ia pula yang mengenalkan istilah gender dalam GBHN 1999-2004. Selain itu, ia mengganti Kementerian Urusan Wanita dengan Kementerian Pemberdayaan Wanita, yang tentu saja menekankan misi pembangunan nuansa kesetaraan gender dalam masyarakat.

Tak hanya itu, upaya Gus Dur dalam mengarusutamakan gender (gender mainstreaming) juga ia terapkan di keluarganya sendiri. Ia mengajarkan pentingnya kesetaraan reproduksi kepada keluarganya. Ia mendukung program KB, karena menurutnya, hadis Nabi yang berarti ‘ia senang umat Islam memperbanyak keturunan’, harus dimaknai secara kontekstual. Karena waktu itu, demi membangun tatanan sosial yang mapan, kualitas dalam regenerasi menjadi prioritas. Sehingga yang terpenting ialah bagaimana merawat dan mendidik anak dengan baik sehingga kesehatan, kecerdasan, dan kesejahteraannya dapat terjamin.

Ia juga mendidik keempat putrinya dengan pengajaran yang demokratis dan bertanggung jawab. Terbukti saat Gus Dur mengganti popok sewaktu anaknya masih bayi, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain seperti menyapu dan mengepel. Tindakan Gus Dur ini menunjukkan bahwa ia dengan konsisten menerapkan kesetaraan dan keadilan gender dengan tidak membebankan pekerjaan rumah pada istrinya. Yang penting dan harus diteladani dari prinsip Gus Dur dalam menjalankan kehidupan rumah tangganya ialah relasi kerjasama. Sehingga hubungan rumah tangga tak lagi sarat kesenjangan.

Penerapan kesetaraan gender yang dilakukan oleh Gus Dur pada keluarganya sendiri, membuat putri-putrinya berhasil meneruskan kiprahnya dalam berbagai peran. Sebut saja, Alissa Wahid, putri pertama Gus Dur, yang lincah menyuarakan toleransi beragama.

Bahkan, istrinya pun, Sinta Nuriyah Wahid, juga berhasil meneruskan jejak langkah Gus Dur dengan berbagai dedikasinya yang telah ia torehkan terhadap masyarakat luas, utamanya perihal pluralisme dan kesetaraan gender.

Demikianlah feminisme ala Gus Dur. Ia merupakan salah satu pionir pemikirian sekaligus praktisi kesetaraan gender di Indonesia. Dengan asasnya yang kuat, serta implementasinya pada berbagai kebijakan sosial, sudah terlampau cukup untuk jadi pegangan bagi kita dalam bersikap humanis pada lawan jenis. Karena, mengutip Perempuan dan Pluralisme-nya Bu Sinta, rekonstruksi budaya patriarki hanya bisa dilakukan bila manusia mau ikut andil untuk menyuarakan spirit kesetaraan gender, baik melalui pemikiran maupun tindakan. Wallahu a’lam.

Sumber: arrahim.id

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.