Jika tidak ada virus Covid-19, barangkali Cahyono sudah bisa membelikan sepatu buat anaknya ketika masuk sekolah. Tapi, bagaimana bisa membeli sepatu baru, untuk makan sehari-hari saja ia harus memutar otak lebih keras lagi. Sejak 6 bulan lalu, bakso tusuk yang biasa ia jajakan di depan salah satu sekolah di Jakarta Timur tutup. Sekolah diliburkan, pandemi membuat segala rencananya kisut. Tidak ada lagi anak-anak yang berjejalan, merajuk dan berebutan jajanan dalam gerobak warna biru muda yang selama dua tahun terakhir membuatnya berani menyewa rumah petakan ukuran 3×8, sebuah tempat tinggal yang bagi Cahyono sudah cukup layak untuk keluarga kecilnya.
“Memang kondisinya lagi sulit, Mas. Ditambah lagi Corona,” tuturnya. “Untung 25 ribu per hari saja sekarang sudah alhamdulillah,” imbuhnya seraya memasukkan 10 biji bakso tusuk ke dalam plastik kecil berwarna terang setelah dibumbui saos dan sedikit sambal.
Saya duduk di samping gerobak motor miliknya. Ia bercerita, sebelum pandemi, paling tidak ia masih bisa mengantongi 100 ribu hingga 125 ribu per hari, tapi sejak bulan Maret segalanya terjun bebas. Ia pun kebingungan dan sempat pulang kampung.
“Ternyata, masih banyak orang baik di sekitar kita ya. Saya juga dapat bingkisan. Yang paling bagus itu itu dari Pak Gus Dur,” tambahnya.
Cahyono menyebut ‘Pak Gus Dur’ sembari tersenyum. Kami tertawa. Hari itu, saya menyaksikan dari dekat perjuangan seorang bapak yang dengan tulus tetap bekerja di tengah virus yang bisa kapan saja menyerangnya. Harapannya cukup sederhana: ia bisa bertahan dan virus segera pergi agar ia bisa bekerja seperti biasanya. Dan ia tidak sendiri.
Ada jutaan orang lain di negeri ini yang mengalami keadaan nyaris serupa; modyar dalam pendapatan, rentan dalam kesehatan. Dua perkara itu adalah tanda hanya sepersekian jengkal saja dari jurang bernama kematian. Tapi, sekali lagi, untung saja masih ada orang-orang baik.
Berjarak 771,8 Kilometer dari tempat kami bercakap-cakap, tepatnya di kota Surabaya, Jawa Timur, Yuska Harimurti (45) sedang memilah-milah kira-kira siapa yang cocok diberi bantuan. Badannya gempal, perawakannya menggemaskan, rambutnya tipis dan tertutup oleh peci hitam yang seolah selalu lekat di kepalanya, tubuhnya terbalut rompi berwarna coklat dengan bertuliskan GUSDURian.
Yuska adalah seorang muslim dan aktif di Jaringan GUSDURian. Lembaga ini adalah organisasi yang menaungi komunitas-komunitas dan individu yang terinspirasi dari almarhum Presiden Keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan melakukan banyak sekali kerja-kerja kemanusiaan dengan menggunakan prinsip-prinsip yang diajarkan Gus Dur seperti keadilan, kesetaraan, dan lain-lain. Yuska adalah salah satu koordinator di Komunitas GUSDURian di Jawa Timur, atau yang biasa dikenal dengan Gerakan GUSDURian Suroboyo (Gerdu Suroboyo).
Di komunitas ini pula, Yuska bersama teman-temannya di Gerdu Suroboyo biasa berkolaborasi dengan komunitas lintas iman, suku, dan organisasi-organisasi di kota pahlawan itu guna menebarkan toleransi dan menolak segala hal provokasi yang kerap memakai agama sebagai bahan bakarnya.
Ia juga saat ini diberi amanah utuk memimpin Gerakan kemanusiaan GUSDURIAN Peduli di Surabaya dan menjadikannya sebagai salah satu posko #SalingJaga Ketika Covid-19 yang paling aktif menyebarkan kebaikan dan bantuan kepada mereka yang terdampak secara langsung pandemi ini.
Agama adalah kekuatan untuk Berbagi
Yuska pun mengisahkan bagaimana Gerakan kemanusiaan GUSDURian Peduli mendapatkan sambutan yang luar biasa ketika pertama kali mengumumkan akan membuat gerakan kemanusiaan mereka yang terdampak Covid-19. Katanya, ada banyak sekali orang ingin berbagi, tapi terkadang tidak tahu caranya. Ada juga yang sudah tahu caranya, tapi takut tidak bisa menyalurkan bantuannya dengan tepat. Namun, ada yang lebih nahas lagi, mereka yang hendak memberi bantuan jadi takut karena agamanya berbeda. Apakah agama justru menjadi penghalang ketika ingin berbuat kebaikan?
Hal itulah yang membuat Yuska terkadang tidak habis pikir. Padahal, harusnya, agama adalah inspirasi untuk berbuat kebaikan. Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan kehidupan banyak orang dan agama bisa jadi inspirasi untuk saling bersama #SalingJaga dan membantu saudara-saudara kita yang kesusahan. Menurut Yuska, kerja-kerja lintas iman, agama, dan suku justru membuat gerakan kemanusiaan jadi kuat.
“Kerja-kerja gerakan lintas Iman lewat gerakan kemanusian GUSDURian Peduli Sangat siginifikan di kota kami. Ketika awal dikabari, respons dan kepedulian teman-teman ini luar biasa. Mulai dari peminjaman tempat, pesan kepedulian di medsos. Tak lama, 1-2 hari setelah itu, bantuan datang,” tuturnya berbinar mengingat teman-temannya.
Kelompok lintas iman ini, katanya, percaya kepada dirinya, komunitasnya dan mereka melakukan kerja-kerja kemanusiaan ini meskipun berbeda secara agama/kepercayaan. Terkadang, hal ini membuat terenyuh.
Kebaikan dan kolaborasi antar iman ini datang dengan cepat. Tercatat, pada awal-awal pandemi, bulan Maret 2020, Gerakan Lintas Iman GUSDURian Peduli di Jawa Timur sudah mendistribusikan 7.320 paket sembako dan dibagikan ke banyak sekali mereka yang terdampak, mulai dari pedagang asongan hingga ojek online. Kini, sudah ratusan ribu paket yang sudah terkirimkan dan terus bertambah.
“Trust (kepercayaan) yang membuat teman-teman lintas iman begitu percaya pada gerakan kemanusiaan. Apalagi, di GUSDURian peduli tidak hanya satu agama/suku saja. Di posko pun sama, ada teman-teman Tionghoa, Katolik, Kristen, bahkan kadang dari beda-beda gereja. Dari Konghucu, Buddha juga ikut,” imbuhnya.
Yuska mengabari saya untuk berbincang dengan salah seorang sahabatnya bernama Richard Susanto. Richard adalah relawan dan kerap bersama Yuska ‘mblakrak’ keliling dan kolaborasi dengan lintas iman di Jawa Timur. Salah satunya ketika memberikan bantuan ke pesantren di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
“Saya lagi bagi-bagi nasi bungkus, Mas,” jawabnya via pesan singkat.
Richard (50) adalah seorang Tionghoa dan aktif di Perhimpunan Tionghoa Indonesia (INTI) cabang Surabaya. Perawakannya tinggi, badannya sedikit kurus dan berkacamata. Meski dihalangi kacamata, tampak sekali ia sosok yang jernih, sorot matanya teduh ketika melihat segala sesuatu, apalagi ia kerap menerbitkan senyum. Saya curiga, jangan-jangan, ia adalah sosok artis Andi Lau van Surabaya yang saya lihat di film-film mandarin yang saya nonton-nonton beberapa tahun lalu? Buru-buru saya menghilangkan imajinasi itu karena 16 jam usai Richard membalas pesan saya yang singkat itu, akhirnya kami saling bertukar pesan.
“Sejak awal kami punya komitmen bekerja sama dengan Kelompok Gusdurian ini (meskipun berbeda kepercayaan dengan kami-red). Kami melihat bahwa teman-teman ini menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan,” katanya.
Nilai kemanusiaan yang dikatakan Richard membuat kita bertanya, apakah agama bisa jadi inspirasi untuk saling berkolaborasi dalam kebaikan? Apalagi, tampaknya, Covid-19 seperti jaring erat yang membuat masyarakat seperti sukar untuk keluar dari jerat kemiskinan ini. Sedang kan vaksin, Anda tahu, masih begitu jauh untuk direngkuh.
Kolaborasi ini, seperti kata Richard, adalah sesuatu yang sangat bagus dan mampu membuat gerakan kemanusiaan jadi besar. Bahkan, jika ada yang gerakan serupa seperti GUSDURian peduli dan melibatkan lintas iman, organisasi, suku bahkan agama, ia tidak segan untuk ikut di dalamnya. “Pasti saya akan bergabung dan akan mengajak komunitas/kelompok-kelompok lain nya,” tutupnya.
Saat ini sendiri, sebagai contoh, lewat gerakan gerakan #SalingJaga GUSDURian Peduli yang kolaborasi dengan Gerakan Islam Cinta sudah menghimpun donasi dari publik dengan jumlah yang cukup besar. Tercatat di platform kitabisa.com gerakan yang didukung oleh lintas iman, suku, agama, dan profesi ini telah berhasil menghimpun dana Rp 5.828.182.426 (Lima Milyar delapan ratus juta dua ratus delapan juta serratus delapan pulah dua ribu rupiah) yang berhasil dikumpulkan dari sebanyak 37494 donatur secara daring sejak Maret.
Angka donasi itu memang terus naik, dukungan senantiasa mengalir dan sepertinya tampak kian membesar. Tapi jika dibandingkan dengan angka kemiskinan yang kian merangsek, pengangguran yang terus bertambah dan korban berjatuhan akibat virus yang seolah enggan berhenti ini, jumlah itu tentu saja masih belum memadai. Butuh lebih banyak lagi, lagi dan lagi.
“Pengangguran karena Covid-19 saja sudah mencapai 2,56 juta orang,” tutur Suharso Monoarfa, kepala Bappenas, akhir tahun 2020 kemarin.
Meski begitu, gerakan ini tidak akan berhenti dan terus menghimpun diri, menggandeng mereka-mereka yang peduli, apa pun agama, suku maupun pilihan politiknya. Saat ini saja, sudah ada ribuan relawan yang tergabung, 67 posko GUSDURian peduli juga tersebar di pelbagai kota di seluruh Indonesia, termasuk di luar negeri, dan sudah ribuan paket donasi diberikan untuk mereka yang terdampak pandemi secara langsung.
Kebaikan itu Menular
Yuska kerap menitikan air mata ketika melihat kebaikan teman-temannya ini untuk menolong orang, sekalipun kepada mereka yang berbeda. Ia kerap mencontohkan, di Jawa Timur ketika akan mendistribuskan bantuan donasi, mobil-mobil yang dipakai berasal dari teman-teman Tionghoa. Untuk tempat, tak jarang juga dari Kristen, Buddha, dan lain-lain. Begitu pula sebaliknya.
Semuanya seolah jadi satu, bekerja bersama untuk #SalingJaga tanpa ada saling curiga. Semua atas satu kata: kemanusiaan.
“Mereka ini, para teman-teman lintas Iman ini, percaya kepada kami. Padahal kami muslim. Apa tidak ada prasangka? Tidak. Penghormatan mereka kepada Gus Dur juga dahsyat,” papar Yuska.
Ingatan Yuska terbentang kepada sosok Gus Dur. Jika tidak karena beliau, mungkin ia tidak akan tahu bagaimana kebaikan manusia dan agama-agama ternyata bisa menjadi inspirasi di dalamnya. Perkenalannya dengan lintas iman selama ini, pergumulan Yuska dengan GUSDURian Peduli dengan pelbagai donasi ini, telah mengingatkannya akan petuah lawas sosok yang dikaguminya itu.
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu,” kata Gus Dur.
Bagi Yuska, Richard, dan semua relawan dalam gerakan kemanusiaan lintas iman di GUSDURian peduli ini, kebaikan itu justru dari lahir agama, meskipun agama itu kerap berbeda dari kita. Kebaikan ini senantiasa menular dan agama bisa dijadikan inspirasi untuk terus berbuat kebaikan.
*Artikel ini hasil kerjasama Islami.co dan PUSAD Paramadina.
Sumber: islami.co