Soal kedekatan Gus Dur dengan masyarakat Papua sudah banyak cerita. Bahkan, senior saya Ahmad Suaedy, sudah menyusunnya menjadi karya ilmiah dalam bentuk disertasi dan mengantarkannya menyandang gelar akademik sebagai seorang doktor. Beberapa orang Papua yang datang ke kantor PBNU dan mengadukan nasibnya di depan kursi yang dulu dipakai Gus Dur juga pernah saya saksikan.
Namun, di minggu kedua bulan ini (6-9 Desember) dalam kunjungan ke Manokwari Papua Barat, saya punya pengalaman cukup menarik. Di sela kunjungan ke Papua Barat itu, saya dan tim Kedeputian V KSP diundang ke Dewan Adat Papua Wilayah III Deboray yang membawahi wilayah adat dari Manokwari, Sorong, hingga Raja Ampat.
Dari situ, yang membuat saya lebih takjub adalah, Ketua Dewan Adatnya merupakan seorang figur anak muda cerdas, Paul Mayor namanya. Usianya baru 28 tahun lulusan sebuah perguruan tinggi di Bandung. Di sana, kami dan rombongan disambut dengan upacara adat.
Dalam dialog yang dimulai jam 21.00-24.00 WIT itu, saya lebih banyak mendengar berbagai keluhan soal Papua dan Indonesia. Soal Otsus, identitas Orang Asli Papua (OAP), dan sebagainya. Seorang ibu mengadukan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tidak bisa digunakan juga kami dengarkan. Pada saat itu, seluruh keluh kesah ditumpahkan.
Di depan tempat saya duduk, ada orang tua yang sejak saya masuk ruangan lebih banyak diam. Namun, Paul Mayor, Ketua Dewan Adat, selalu menyebut namanya Wempi Kambo sebagai saksi sejarah, usianya 78 tahun.
Menjelang akhir pertemuan, beliau diberi kesempatan bicara. Saya tidak menduga, ternyata Bapak ini cara bicaranya sangat tertata. Ingatannya masih tajam. Setelah cerita berbagai persoalan, Pak Wempi Kambo bilang: “Saya tidak butuh pembangunan. Bangsa Papua lebih ingin dihargai kemanusiaannya, jangan terus dibantai. Hargai harkat dan martabat kami……” dan seterusnya.
Dalam kesempatan memberi tanggapan, saya bilang: “Kami datang ke sini bukan semata karena saya bekerja di KSP, tapi kami datang sebagai sesama manusia. Dalam melihat Papua, saya mengikuti Gus Dur. Saya ini ABG (Anak Buah Gus Dur) yang ingin mengangkat harkat dan martabat bangsa Papua karena kemanusiaanya. Gus Dur hanya memberi dua hal kepada rakyat Papua untuk mengangkat harkat dan martabatnya, yaitu mengganti Irian Jaya menjadi Papua dan memperbolehkan bendera Bintang Kejora dikibarkan tapi harus tetap di bawah bendera Merah Putih”, kata saya.
Selain itu, Gus Dur juga membantu Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000 yang menjadi momentum penting bagi rakyat Papua.
Mendengar ucapan saya itu, Pak Wempi Kembo langsung berdiri dan bilang, “Setelah acara saya mau bicara dengan….” sambil tangannya menunjuk ke saya. Saya tentu deg-degan, ada apa gerangan Pak Wempi mau bicara khusus dengan saya.
Setelah acara selesai dan ditutup, saya bergegas menghampiri Pak Wempi Kambo. Tangan saya langsung dia pegang begitu erat sambil berkata, “Saya bersyukur bisa ketemu dengan anak buah Gus Dur….”. Dia langsung cerita berbagai macam hal termasuk perjumpaannya dengan Gus Dur. Soal nama Papua, soal bendera Bintang Kejora, dan soal Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000 yang dia ceritakan dengan fasih sambil berkaca-kaca. “Kami bangsa Papua sangat hormat kepada Gus Dur”, mengkahiri pembicarannya sambil melepas tangan saya.
Saya pun bilang, “Apakah Bapak mau saya rekam untuk cerita soal Gus Dur?” Dan, beliau pun tidak keberatan.
Tanggal 9 pagi waktu setempat, sebelum berangkat menuju ke bandara, tim kami meninjau sebuah TPS Pilkada di dekat kantor Dewan Adat Papua. Saya mampir sebentar ke Kantor Dewan Adat. Ternyata Pak Wempi Kambo ada di situ. Sambil berpamitan untuk pulang ke Jakarta, beliau masih bilang, “Kami Bangsa Papua sangat hormat pada Gus Dur. Saya bahagia bisa ketemu anak buah Gus Dur”, pungkasnya.
Tentu pengalaman saya tersebut menambah deretan cerita soal Gus Dur yang jejaknya untuk menggalang perdamaian dan mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua begitu nyata. Gus Dur selalu di hati rakyat Papua.
Sumber: arrahim.id