Memahami Beberapa Gagasan Kontroversial Gus Dur

Kehadiran Gus Dur dalam kehidupan nasional bangsa kita sangatlah fenomenal. Berbagai gagasan dan pikiran yang dilontarkan Gus Dur ke ruang publik seringkali mengagetkan melawan pikiran kebanyakan orang. Tentu saja ada orang-orang yang sepemikiran dengan Gus Dur, tetapi mereka tidak seberani dia untuk mengemukakannya secara terbuka. Dalam perspektif ini Gus Dur mempunyai tempat tersendiri.

Sikap Gus Dur itu terutama dilatarbelakangi oleh kepercayaan diri yang sangat kuat dan keyakinan akan kebenaran pendapatnya. Latar belakang inilah, saya rasa, yang membuat Gus Dur menjadi sosok pribadi yang tangguh, tidak pernah ragu-ragu melontarkan pendapatnya yang untuk beberapa hal berlawanan dengan pendapat kebanyakan orang. Dia dianggap sebagai tokoh yang sangat kontroversial. Segala macam kritik bahkan kecaman tajam ditanggapinya dengan enteng. “Begitu saja kok repot” merupakan ungkapan yang memberikan gambaran bagaimana sikapnya yang begitu santai menghadapi reaksi orang tidak setuju dengan pendapatnya. Catatan di bawah ini ingin mengingat kembali beberapa gagasan kontroversial yang pernah yang pernah dilontarkan Gus Dur sambil mencoba memahami alasan yang melatarbelakanginya. Ada empat masalah yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini: studi kritis terhadap kepustakaan klasik, sapaan salam yang tidak harus diucapkan dalam bahasa Arab, revisi TAP MPRS tentang larangan terhadap penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme dan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel.

Pertama, kontroversi tentang “Bahtsul-Kitab”. Tidak lama setelah Gus Dur terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU Gus Dur meminta Masdar F. Mas’udi untuk menyelenggrakan forum Bahtsul-Kitab untuk mendiskusikan kepustakaan yang dipergunakan di pesantren di kantor PBNU. Gus Dur ingin mengembangkan metode kritis dalam membaca bahan-bahan bacaan yang belum berkembang dalam lingkungan pesantren. Pengajaran kitab-kitab keagamaan di pesantren adalah bagaimana para santri dengan bimbingan para kiai mampu membaca dan memahami isi kitab-kitab keagamaan tertentu dan kemudian memperoleh “ijazah” atau pengakuan bahwa dia boleh mengajarkan kitab tersebut kepada orang lain. Melalui sistem ijazah terbentuk mata rantai silsilah yang menghubungkan seorang santri dengan penulis sebuah kitab yang dia pelajari. Sikap kritis terhadap sebuah kitab bisa dianggap sebagai sikap “su’ul-adab” atau tidak etis terhadap sang penulis. Pola itulah yang membentuk tradisi pengajaran dlam lingkungan pesantren.

Sebagai seorang intelektual yang terbentuk oleh kekayaan bacaan Gus Dur yang pernah mengalami pendidikan di pesantren ingin mengubah tradisi pengajaran dengan mengembangkan sikap kritis agar para santri tidak hanya menjadi lebih terbuka. Forum “Bahtsul-Kitab” diselenggarakan adalah untuk mengembangkan studi kritis itu. Tak ayal lagi, forum ini menimbulkan reaksi dari kalangan beberapa kias senior yang khawatir “sakralitas” kitab-kitab yang selama ini dipelajari di pesantren tanpa pertanyaan akan terganggu. Menghadapi reaksi ini Gus Dur menghentikan kegiatan tersebut. Namun, kemudian dilanjutkan oleh Masdar dengan kegiatan lain di P3M dalam bentuk halaqah, istilah lain untuk kegiatan seminar di lingkungan pesantren. Justru melalui kegiatan halaqah ini kebangkitan intelektual di kalangan kiai-kiai muda makin menyebar. Gus Dur menjadi benteng kebangkitan kiai-kiai muda dari berbagai reaksi yang memandang negatif mereka.

Kedua, kontroversi tentang sapaan salam. Masih pada permulaan jabatannya sebagai Ketua Tanfiziah PBNU Majalah Amanah melakukan wawancara dengan Gus Dur, dan antara lain menyinggung ucapan salam. Saat itu ucapan salam dianggap penting sehingga para pejabat merasa tidak afdhal kalau tidak membuka pembicaraannya dengan ucapan “assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Pejabat yang tidak mengucapkan salam tersebut dianggap tidak senang dengan Islam. Akan tetapi, di pihak lain mereka yang terdengar kurang fasih mengucapkan salam seringkali mendapat cemoohan dari pendengarnya. Karena itu bagi Gus Dur, mengapa para pejabat harus repot dengan memaksa diri berfasih-fasih mengucapkan lafal bahasa Arab dan menggantinya saja dengan ungkapan biasa seperti selamat pagi dan sebagainya. Toh di Timur Tengah sapaan “sabahul-khair, masa’us-surur” misalnya biasa diucapkan orang bahkan, misalnya, oleh dosen-dosen senior di al-Azhar. Pendapat Gus Dur itu kemudian diplintir oleh pengecamnya dengan menuduh Gus Dur ingin mengganti ucapan salam untuk mengakhiri sembahyang bukan lagi “assalamu ‘alaikum” tetapi dengan ucapan selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan sebagainya. Dengan pendapat itu sebenarnya Gus Dur ingin memberi tahu bahwa ucapan salam di akhir sembahyang dan sapaan salam dalam pergaulan bersama adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama memang menyangkut aspek ibadah murni sedangkan yang kedua terkait dengan masalah unsur adat atau budaya lokal perlu dipertimbangkan. Gagasan Gus Dur tentang “pribumisasi Islam” tentu saja terkait dengan wacana ini.

Ketiga, kontroversi tentang revisi TAP MPRS No. XXV tahun 1996. Lontaran Gus Dur tentang perlunya merevisi TAP MPRS No. XXV tahun 1996 tentang penyebaran ajaran komunisme dan marxisme-leninisme di awal masa kepresidenannya tentu saja menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan. Agaknya gagasan ini tidaklah datang tiba-tiba. Hati Gus Dur terganggu dengan peristiwa pembunuhan yang terjadi sebagai ekor persitiwa 30 September 1965. Karena itu, ia sempat menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada keluarga korban peristiwa tersebut. Ia juga sering mendengar curhat mereka yang memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil hanya karena mereka kaitan hubungan daerah dengan anggota PKI. Persyaratan untuk memperoleh keterangan “bebas G30S/PKI” berbagai kasus telah membawa akibat keterpinggiran sebagian warga negara secara sosial, ekonomi, dan politik. Hak-hak sipil mereka dicederai. Sebagai pejuang HAM Gus Dur menganggap perlakuan yang sangat diskriminatif terhadap warga negara, siapa pun dia, tidak bisa dibiarkan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kehadiran TAP MPRS tersebut, dan karena itu dia perlu dicabut.

Keempat, kontroversi tentang hubungan diplomatik dengan Israel. Kalau tidak salah ingat, dalam sebuah acara di Bali selang beberapa hari setelah dilantik sebagai Presiden, Gus Dur melontar gagasan tentang hubungan diplomatik dengan Israel. Segera setelah lontaran gagasan tersebut timbul reaksi yang menentangnya. Sebagian orang yang cukup lama tinggal di Timur Tengah, Gus Dur menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. Ia juga memahami benar kondisi politik Timur Tengah. Masalah Palestina sudah terjadi sejak lama, terjadi pengungsian besar-besaran rakyat Palestina ke berbagai negara, juga telah terjadi beberapa kali peperangan antara Mesir, Suriah dan Yordania dengan Israel. Akan tetapi, makin hari makin kelihatan bahwa negara-negara Arab sendiri tidak satu pendapat. Bahkan beberapa negara seperti Mesir dan Yordania mengambil sikap yang lebih rasional dan pragmatis dan mengadakan perdamaian dan hubungan diplomatik dengan Israel. Beberapa negara lain mengadakan hubungan perdagangan. Bahkan Palestina sendiri juga telah menandatangani perdamaian dengan Israel.

Pada tahun 1994, Gus Dur dan beberapa temannya diundang oleh Presiden Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan Perjanjian Damai antara Israel dan Yordania, dan sempat bertemu dengan berbagai kalangan warga negara Israel yang baik orang-orang Yahudi maupun orang-orang Arab, Muslim, Kristen, dan ia merasakan hasrat damai dari mereka. Mereka mengatakan kepada Gus Dur hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang bisa merasakan apa makna kata damai. Juga kalangan resmi, mereka pun menginginkan perdamaian. Sampai-sampai Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin sempat mengunjungi Jakarta dan menemui Presiden Soeharto meminta peranan Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar untuk membantu proses perdamaian Israel dan Palestina. Persoalannya, kalau Indonesia ingin berperan dalam membantu proses perdamaian antara Palestina dan Israel, tidaklah mungkin tanpa mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua belah pihak bertikai. Dari latar belakang inilah gagasan Gus Dur tentang hubungan dengan Israel.

Tentu masih ada beberapa gagasan kontroversial yang pernah dikemukakan Gus Dur, akan tetapi keempat hal di atas dan latar belakangnya, saya rasa, semestinya perlu dipahami sehingga kita bisa memberikan penilaian yang wajar. Yang jelas gagasan-gagasan Gus Dur bagaimanapun kontroversialnya bukanlah tanpa dasar penalaran.

Akhir Desember 2009 Gus Dur meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Tokoh fenomenal telah tiada. Dan kepergiannya ini meninggalkan kekosongan yang luar biasa dalam perasaan kita. Rasa kehilangan yang terungkap dalam berbagai tanggapan diharapkan tidak berhenti hanya sebagai kesedihan, akan tetapi juga akan melahirkan tekad untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Gus Dur. Mudah-mudahan!

(Artikel ini adalah kata pengantar di buku Damai Bersama Gus Dur)

Cendekiawan muslim. Menteri Sekretariat Negara Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Abdurrahman Wahid.