Dalam Udar Rasa berjudul ”Menghakimi” (Kompas, 31/1/2021), saya mengangkat teori Profesor Otto Scharmer tentang tiga suara yang mewarnai bagaimana kita mencerna dan merespons segala hal yang terjadi di sekitar kita: voice of judgement (suara menghakimi), voice of cynicism (suara sinis), dan voice of fear (suara rasa takut). Walaupun sifatnya personal, ternyata tiga suara ini sangat memengaruhi situasi kemasyarakatan kita, seperti dalam kasus ujaran rasis terhadap Natalius Pigai dan kasus jilbab di kota Padang.
Tulisan tersebut direspons dan dikutip oleh cukup banyak orang, barangkali karena penggerak Presencing Institute di MIT Sloan School of Management ini membantu kita memahami fenomena sosial saat ini. Permintaan pun mengalir untuk membahas lebih dalam tentang resep jitu profesor Otto menghadapi ketiga suara yang menyesatkan tersebut.
Sang profesor yang memiliki ribuan murid di seluruh dunia itu menyatakan ada tiga jawaban atas tiga suara ini: open mind (membuka pikiran), open heart (membuka hati), dan open will (membuka tekad).
Catatan saya, ketiga sikap membuka diri ini adalah prinsip instrumental. Oleh karena itu, perlu dilandaskan pada prinsip yang esensial, seperti nilai keadilan, kemanusiaan, respek, kesetaraan, dan seterusnya. Tanpa prinsip-prinsip fundamental tersebut, sikap membuka diri bisa terjebak dalam kompromi belaka.
Semisal, dalam video lansiran Kompas.com, para pelajar putri beragama selain Islam di kasus Padang menyatakan mereka tidak mempersoalkan harus berjilbab di sekolah karena sudah terbiasa dan menghormati kelompok mayoritas. Sekilas, bisa disimpulkan bahwa tidak ada masalah yang berarti karena toh pihak-pihak yang terlibat tidak mempersoalkan. Namun, bila dikembalikan kepada prinsip keadilan bagi setiap warga negara, praktik seperti ini tentu tidak dapat dilanjutkan.
Dengan prinsip fundamental yang kuat, ketiga sikap membuka diri akan mengurai berbagai persoalan yang bersumber dari tiga Suara yang memperdayakan di atas.
Membuka pikiran
Suara sang hakim biasanya terjadi karena kita sibuk dengan pikiran kita sendiri sehingga kita cenderung terperangkap klaim kebenaran. Sikap open mind membuat kita siap menunda kesimpulan sebelum memperluas wawasan. Sikap ini ditandai dengan upaya untuk mengunduh lebih banyak informasi dan data, mencoba memahami persoalan dengan lengkap secara rasional, lalu menggunakannya untuk menarik kesimpulan.
Sebagai contoh, orang Tionghoa di Indonesia seringkali dihakimi hanya jago dalam perdagangan. Seandainya kita mau membuka pikiran dengan membaca sejarah, maka kita akan mendapati bahwa selama lebih dari 30 tahun kaum Tionghoa terdiskriminasi sehingga tidak dapat memasuki ruang-ruang aktualisasi lain selain berdagang dan mengajar di institusi pendidikan tertentu. Jangankan menjadi tentara, menjadi pegawai negeri sipil pun hampir tidak mungkin.
Membuka hati
Jebakan kedua, suara sinis, terjadi saat kita dikuasai sentimen negatif terhadap pilihan dan pandangan kelompok atau orang yang berbeda. Ini terjadi karena kita tidak mampu menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Sikap open heart membuat kita lebih berhati-hati, mencoba menyelami sudut pandang liyan, sehingga kita mampu bersikap empatik dan menghormati pilihan yang berbeda. Sekali lagi, ini perlu dilandasi prinsip nilai yang tepat untuk membedakan open heart dengan sikap permisif.
Banyak orang (dan secara spesifik: birokrat) yang terjebak dalam suara sinis terkait masyarakat Papua. Suara kritis dari Papua ditanggapi dengan pandangan bahwa negara sudah memberikan alokasi dana yang luar biasa besar, karena itu warga Papua tidak layak bersikap kritis.
Sikap open heart membuat kita lebih berhati-hati, mencoba menyelami sudut pandang liyan.
Dengan membuka hati, kita akan bisa berempati terhadap perjuangan panjang atas keadilan sosial yang belum juga terwujud baik di sana. Menyumbang perekonomian (produk domestik bruto) sangat besar, tetapi kesejahteraan penduduk Provinsi Papua dan Papua Barat masih termasuk yang terendah di negeri ini.
Membuka tekad
Jebakan ketiga, suara takut, terjadi ketika kita tak mampu membuka ruang hidup bersama, karena kita terlalu takut akan kegagalan atau kekalahan oleh liyan. Suara takut sangat sering muncul dalam pernyataan yang menunjukkan perasaan tidak aman (insecure). Contoh klasiknya adalah penolakan terhadap kehadiran rumah ibadah kelompok minoritas agama di lingkungan sekitar karena takut akan dilakukan blablabla-isasi.
Suara takut dapat diatasi dengan open will, membuka niatan atau tekad untuk berangkat dengan prinsip nilai luhur dalam mengelola perbedaan dan tegangan sehingga dapat mencapai titik temu dan melangkah maju.
Dalam contoh rumah ibadah, sikap open will akan membantu semua pihak untuk menerima kehadiran saudara sebangsa dengan segenap haknya. Alih-alih merasa terancam, masyarakat dapat membuka peluang untuk membangun prinsip hidup bersama yang lebih tepat tanpa menegasikan kebutuhan setiap pihak.
Suara takut seringkali didahului dua suara sebelumnya. Sikap membuka tekad untuk mengalahkan rasa takut mensyaratkan kita untuk siap membuka pikiran dan hati.
Konsep tiga suara dan tiga sikap membuka diri tampak sederhana, tetapi nyatanya tidak mudah diaplikasikan. Ketiga suara membawa kita kepada berbagai persoalan yang rumit dalam kehidupan berbangsa.
Di sisi lain, membudayakan ketiga sikap membuka diri juga perlu kerja keras karena tidak semudah membalik telapak tangan. Masalahnya, bila kita tak kunjung mengubah diri, harga yang kita bayar akan semakin besar.
Jangan-jangan, inilah Revolusi Mental yang sungguh kita perlukan sebagai bangsa.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 22 Februari 2021)
Sumber: kompas.id