Social Media

Membaca Toleransi dengan Pendekatan Struktur Gus Dur

Membincangkan agama memang tidak akan ada habisnya, setiap orang memiliki pengetahuan atau kapasitas pada kepercayaan dan keyakinan yang ia percayai. Mereka akan bertanggung jawab atas apa yang ia yakini dalam bentuk ritual keagamaannya, serta bagaimana implementasi dari nilai tersebut.

Tentu saja kita tidak berhak menghakimi keyakinan seseorang, benar atau salah itu merupakan sebuah tanggung jawab individu dalam praktik atas ritualnya. Sebagai sesama manusia yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, jelas yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan, menegur dan mencoba meyakinkan atas tindakan yang keliru.

Islam mengajarkan apa yang disebut sebagai semangat toleransi yang secara keumuman dimaknai sebagai menjunjung tinggi perbedaan, mengharga dan menghormati atas sebuah perbedaan.

Memahami Toleransi

Toleransi sendiri merupakan anti tesis dari kekakuan beragama, dalam arti lain konservatisme. Pemikiran ini cenderung menjurus ke kolot dan kaku, bahkan sampai pada level ekstrem akan menjurus pada sektarianisme, sebuah pandangan yang meyakini bahwa kelompok mereka sendirilah yang paling benar.

Seringkali kita diajak untuk menyelami apa yang dinamakan sebagai toleransi, secara harfiah memang toleransi atau toleration berakar pada toleran atau tolerate yang didefinisikan memperbolehkan, mengizinkan, menerima sebuah subjek, ide, atau seseorang baik yang disukai maupun yang tidak disukai.

Zagorin (2003) dalam “How the Idea of Religious Toleration Came to the West,” secara spesifik toleransi dalam beragama juga dapat diartikan sebagai tindakan tidak lebih dari kesabaran, dan izin yang diberikan oleh penganut agama mayoritas agar agama lain tetap ada, meskipun yang terakhir dipandang dengan ketidaksetujuan sebagai suatu hal yang inferior, keliru atau berbahaya.

Kondisi di atas tidak lepas dari konteks sosiologis, di mana agama sangat berkaitan dengan relasi kuasa dan konstruksi suatu sistem kuasa. Tetapi pandangan Zagorin hanya pada spektrum luas, jika ditarik pada level pemahaman khusus maka pemaknaan toleransi akan bermakna lain.

Mari kita sejenak membincangkan sedikit term toleransi dalam sudut pandang islam. Menurut pandangan KH. Mustafa Ali Ya’qub dalam bukunya yang berjudul “Toleransi Antar Umat Beragama” (Mustafa, 2008:11-13) bahwa Islam secara ide dan praktik penghormatan serta menjaga keberagaman, sebagaimana terekam dalam surat Al-Mumtahannah ayat ke 8-9.

Tafsir dari ayat tersebut memiliki muatan yang kuat untuk menjaga dan menghormati orang selain islam, tidak memerangi apalagi sampai membunuh, bentuk muamalah seorang muslim kepada non-muslim sebagai wujud memerangi kedzaliman baik di dalam diri maupun di lingkungan sekitar. Dipertegas dengan sabda Rasulullah sebagai berikut:

Siapa yang membunuh (non-Muslim) yang terikat perjanjian dengan umat islam, maka ia tidak akan mencium keharuman surga. Sesungguhnya keharuman surga bisa dicium dari jarak empat puluh tahun perjalanan (di dunia).” (HR. Ahmad, al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Nasa’I, Ibn Majah)

Dari hadist di atas kita dapat memahami bagaimana Nabi Muhammad SAW mengajarkan apa itu cinta kasih dan menyayangi manusia meski mereka bukan golongan kita. Karena sejak awal islam hadir sebagai pembaharu yang mengajak manusia agar memanusiakan manusia dan lingkungan sekitarnya tak terkecuali.

Tentang pandangan toleransi sendiri dipertegas lebih dalam pada tafsir surat Al-Hujarat ayat 13, secara spesifik membicarakan penciptaan manusia yang berbeda-beda, baik jenis kelamin, suku bangsa hingga warna kulit (Mustafa, 2008:28)

Pada pandangan tersebut memuat sebuah pendekatan tentang Nadhariyah al Musawah atau persamaan hak bagi setiap manusia, lebih jauhnya bahwa setiap individu memiliki hak dasar atau sering kita sebut sebagai hak asasi, di mana Allah menciptakan umatnya beserta hak lahiriah yang ada sejak dalam alam rahim, yakni hak hidup.

Selanjutnya ada pendekatan Mu’akhah atau pendekatan berdasar persaudaraan, meski kita berbeda-beda tetapi masih satu wujud yakni manusia secara lebih dalam lagi sesama ciptaan dari Allah, maka secara praktik harus saling mengasihi dan membantu satu sama lain (Mustafa, 2008:31-43).

Dari sini semoga kita paham dengan apa yang dimaksud dengan toleransi secara dasar menurut Islam berdasarkan tafsir dari KH. Mustafa Ali Ya’qub.

Relasi Kuasa dan Intoleransi

Problem lebih jauh dalam semangat beragama kita sering kali terjebak pada hal-hal formalistik, sebagaimana catatan dari KH Abdurrahman Wahid dalam buku “Prisma Pemikiran Gus Dur” (2010:163-164).

Pada awalnya secara sistem agama sangat ditentukan ketersambungan antara ajaran dan struktur yang ternyata saling memperkuat. Islam yang diandaikan sebagai pembebasan pada akhirnya terjebak pada hal tersebut, sehingga aspek pembebasan tersumbat.

Gus Dur sendiri melihat tersebut menjadikan agama terjebak pada intitusionalisme, secara perubahan sosial penguatan antara ajaran dan struktur membentuk sebuah institusi yang pada praktiknya malah kontra dengan pembebasan itu sendiri.

Pembebasan di sini menurut Gus Dur adalah setiap orang mampu berkembang berdasarkan pola yang diinginkan. Dari sinilah kita dapat memaknai bahwa formalisme agama sangat erat dengan relasi kuasa, sehingga secara garis besar berimplikasi pada pemaksaan sebuah paradigma dalam beragama.

Pada konteks tersebutlah padangan Zagorin (2003) dapat diterima, memang benar toleransi akan hanya sekedar bagaimana mayoritas memberikan keleluasaan pada minoritas untuk beragama, tetapi pada satu sisi juga menegaskan relasi kuasa dari mayoritas.

Tetapi semua hal tersebut dapat dibendung jika memang benar-benar kita memaknai toleransi berangkat dari Allah, ajaran Nabi dan pemaknaan secara mendalam tentang hakikat hidup manusia dan mengapa manusia diciptakan.

Konteks kekakuan-kekakuan dalam beragama sehingga memunculkan intoleransi memang dapat berangkat dari berbagai aspek, salah satunya adalah kekuasaan yang sifatnya oligarkis.

Karena paling tidak intoleransi seringkali hadir di negara yang kekuasaannya hanya ditangan segelintir orang yang memformalkan agama demi kepentingan kekuasaan, sehingga menghambat pembebasan dalam hal ini dapat dimaknai sebagai pereduksian demokrasi, hingga taraf ekstrem berwujud degradasi.

Artikel ini sebelumnya tayang di Arrahim.Id

Mahasiswa magister Sosiologi Pedesaan dan Penyuluhan Pembangunan Pertanian Universitas Brawijaya.