Serangan bom bunuh diri di Makassar dan aksi teror di Mabes Polri pada Maret 2021 menyisakan diskusi krusial di ruang publik tentang meningkatnya tren strategi aksi keluarga, juga tentang kemunculan perempuan sebagai pelaku aksi teror.
Demikian pula strategi aksi teror yang dilakukan para lone wolves, pelaku aksi tunggal sebagaimana dilakukan ZA di Mabes Polri. Aksi tunggal ini membuat aksi terorisme lebih sulit diprediksi karena tidak ada jejak persiapan aksi yang dapat menjadi penanda. Jejak konsolidasi jaringan teroris pun menjadi sulit terpetakan.
Pembicaraan yang paling ramai tentu saja terpusat pada soal usia pelaku aksi terorisme. Apabila aksi-aksi sebelumnya lebih didominasi kelompok usia 30-an tahun ke atas, pelaku kedua aksi teror pada Maret itu berkisar di usia 20-an tahun, dari generasi milenial.
Keterlibatan aksi anak dan anak muda telah muncul sejak kasus aksi bom bunuh diri keluarga Dita Oepriyanto di Surabaya, yang melibatkan dua remaja dan dua anak. Namun, besar kemungkinan keterlibatan ini lebih dipengaruhi relasi kuasa orangtua kepada anak-anak tersebut ketimbang pada motivasi keyakinan ideologis. Ini terkuak dalam liputan Amy Chew di media Channel News Asia yang melaporkan saksi mata mengamati si anak remaja tampak galau berbincang dengan ayahnya di pagi hari naas itu.
Ini berbeda dengan aksi pasangan suami istri Y dan L di Makassar serta ZA di Jakarta yang dilakukan dengan kesadaran penuh. Dari surat wasiat yang ditinggalkan, baik Y maupun ZA menyatakan dengan jelas bahwa aksi teror ini dilakukan karena keyakinan kuat untuk berjihad demi mendapatkan hak masuk surga. Mereka memaknai jihad ini sebagai kontribusi mereka untuk merusak kekuatan ”pemerintahan thaghut” dan mencederai ”musuh agama”.
Keyakinan yang demikian kuat dalam diri para pelaku ini menunjukkan proses indoktrinasi yang dalam. Patut diduga proses ini berlangsung intensif dalam jangka waktu cukup lama, sejak awal masa dewasanya atau bahkan sejak akhir masa remaja. Masa-masa dengan profil yang ranum untuk kebutuhan aksi berbahaya semacam bom bunuh diri dan peperangan.
Dalam masa ini, individu baru saja selesai mengeksplorasi diri. Ia berada dalam momen memantapkan jati diri yang dipilihnya. Pandangan idealistis pun masih menyala-nyala, optimisme akan masa depan menjadi bahan bakar yang memampukan mereka untuk menantang dunia. Dunia yang diidealkan pun masih bersifat hitam putih, tanpa spektrum di antaranya.
Inilah yang menyebabkan sejarah perubahan-perubahan sistemik yang didorong oleh kaum muda. Bung Karno memotret semangat kaum muda ini dalam ucapan terkenal, ”Beri aku 10 pemuda, akan kuguncang dunia!”
Dengan sistem nilai yang tepat, guncangan yang dilakukan para pemuda menjadi daya dorong perubahan sistem yang baik, seperti Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Gerakan Reformasi 1998. Di negara-negara lain ada Revolusi Tahrir dan Arab Spring.
Namun, dengan sistem nilai yang salah, seperti ideologi teror, guncangan yang dihasilkan oleh para pemuda ini justru menciptakan kerusakan mendalam dan berjangka panjang, utamanya dalam rasa aman dan rasa percaya antarkelompok sebagai sebuah bangsa.
Secara khusus, generasi milenial memang mengalami tantangan dalam hal internalisasi nilai. Generasi ini adalah generasi yang tumbuh di masa transisi peradaban, dari pengasuhan yang bebas pengaruh teknologi informasi menjadi pengasuhan yang bersenyawa dengan pengaruh teknologi informasi.
Ini menyebabkan generasi milenial rentan menjadi target indoktrinasi ideologi ekstremisme dan perekrutan kader ekstremisme dengan kekerasan.
Orangtua generasi milenial berasal dari generasi baby boomers dan generasi X, yang dibesarkan dengan cara pra-internet ketika relasi dibangun di atas interaksi langsung. Orangtua biasanya tahu dengan siapa anaknya bergaul. Bagi generasi X, sumber nilai berasal dari orangtua, guru, dan lingkungan pergaulan nyata.
Di saat ia mulai menjadi orangtua, generasi X menghadapi tantangan besar berupa hadirnya teknologi informasi. Generasi X, yang tidak memahami seluk-beluk teknologi informasi, gagap menyiasati pengaruh hal itu pada diri anak-anaknya. Banyak orangtua menjadi gamang. Anak-anak tak lagi bergaul dengan wajah-wajah yang dikenali nyata oleh orangtuanya sebab wajah-wajah itu hanya hadir di layar kaca.
Walhasil, anak-anak dari generasi milenial dibentuk kuat oleh (algoritma) informasi yang didapatnya melalui dunia maya. Mereka membangun pertemanan dan identitas kelompok melalui jejaring maya. Seth Godin menyebutnya sebagai new tribes. Suku di abad teknologi informasi, disangga oleh kesamaan minat (dan nilai) yang nirbatas fisik. Pengaruh orangtua dan guru serta lingkungan sekitarnya menjadi berkurang jauh, bersaing dengan apa yang didapatkan anak dari dunia maya yang lebih nyata bagi mereka.
Tidak dapat dimungkiri, kelompok seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) piawai mengapitalisasi teknologi informasi ini. Mereka hadir dengan kecanggihan pendekatan dan narasi di dunia maya. Maka, orangtua ZA pun terguncang ketika, tanpa mereka sadari, anaknya terperangkap dalam doktrin terorisme dan akhirnya memilih jalan perangnya.
Pelajaran berharga dari aksi teror Maret 2021 ini adalah betapa pentingnya bagi orangtua dan guru untuk segera memperkuat dan mempersenjatai diri dengan keterampilan pengasuhan anak yang selaras dengan kebutuhan abad informasi.
Inilah portal pertama untuk menjaga generasi mendatang dari cengkeraman ideologi ekstremisme dengan kekerasan.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 11 April 2021)
Sumber: kompas.id