Setiap Muslim patut bersyukur akan hadirnya bulan Ramadan. Dalam setahun Allah menyediakan satu bulan istimewa baginya untuk beristirahat dari segala hiruk-pikuk dunia. Satu bulan untuk berkonsentrasi mendekatkan diri kepada-Nya, mengisi hari-hari Ramadan dengan berpuasa dan beramal ibadah yang Allah janjikan pahalanya berlipat-lipat ganda.
Dengan itu, Ramadan mestinya berlangsung dalam suasana yang hening, khusyuk, dan syahdu. Namun karena Ramadan juga merupakan momen yang bersifat seremonial dalam Islam, kaum Muslim sebagai kumpulan manusia yang berinteraksi dengan dunianya menjalani Ramadan justru dalam suasana riuh dan bising.
Apa yang saya maksud “bising” di sini boleh dipahami seperti apa yang artis Zaskia Mecca keluhkan baru-baru ini. Ia menilai cara membangunkan orang untuk bersahur dengan berteriak-teriak lewat pengeras suara mesjid sangat mengganggu.
Keluhan istri seorang sutradara film terkemuka itu lantas mendapat reaksi balasan oleh warga di sekitar rumahnya dan warga di jagad maya. Beruntungnya, Kementerian Agama nampaknya membela sang artis dengan menekankan adanya Surat Edaran Dirjen Bimas Islam yang mengatur penggunaan pengeras suara mesjid. Di sana dikatakan pengeras suara mesjid hendaknya tidak digunakan di luar tujuan tertentu, di antaranya untuk mengumandangkan azan.
Zaskia Mecca juga beruntung karena ia hanya mengeluhkan cara membangunkan sahur dan karena ia seorang Muslimah. Dua tahun lalu, Meliana, seorang wanita Tionghoa di Sumatera Utara mendapat vonis 18 bulan penjara setelah pada 2016 ia mengeluhkan pengeras suara mesjid dekat rumahnya. Keluhannya itu dianggap sebagai bentuk penistaan terhadap agama.
Namun kebisingan dalam tulisan ini bukanlah sekedar pengeras suara mesjid, tradisi membangunkan sahur, atau bahkan petasan, kembang api, dan orang-orang yang bermain gaple di gardu siskamling selepas tarawih sampai waktunya sahur. Ramainya aktivitas perdagangan, produksi dan konsumsi menjelang, selama dan selepas Ramadan juga tergolong sebagai kebisingan.
Kebisingan Modern
Sejak awal bulan puasa, televisi, koran dan media-media daring bising dengan program-program acara, hiburan-hiburan, artikel-artikel dan berita-berita bernuansa Ramadan. Semua itu tentu bertujuan untuk menarik iklan-iklan dari berbagai produsen produk, dari minuman segar hingga obat sakit maag.
Mereka yang memproduksi dan menjual produk-produk itu juga memanfaatkan momen Ramadan ini sebagai kesempatan untuk menawarkan barang dan jasa mereka. Tentu saja gaya dan teknik penawaran yang diketengahkan dibuat seinovatif dan semenarik mungkin, merecoki alam bawah sadar kita dengan diskon-diskon, paket-paket Ramadan, dan lain sebagainya.
Mungkin para pemilik modal itu menangkap potensi pasar karena aktivitas masyarakat selama Ramadan tidak normal seperti biasanya. Sekolah-sekolah yang meliburkan kegiatan belajar-mengajarnya, kantor-kantor yang mengurangi jam kerja karena orang harus berpuasa, membuat kesempatan untuk menawarkan produk barang dan jasa semakin terbuka.
Pembacaan terhadap potensi pasar itu bergayung-sambut dengan karakter masyarakat kita yang, entah bagaimana ia bermula, memang memiliki tingkat konsumsi yang terbilang tinggi. Ketidaknormalan aktivitas masyarakat di bulan puasa, lebih-lebih menjelang hari raya, justru semakin melejitkan konsumerisme itu. Kebisingan ini merupakan fenomena yang berbanding terbalik dengan esensi puasa yang pada dasarnya ibadah yang melatih kita menahan diri dari nafsu dan hasrat duniawi.
Ini belum termasuk kebisingan di jagad maya. Para pengguna media sosial beramai-ramai menandai identitasnya dalam atmosfer #Ramadan. Unggahan seperti kutipan-kutipan religi, foto-foto ketika melakukan ibadah atau mengikuti kegiatan keagamaan, berbuka puasa bersama, hingga debat kusir seputar persoalan agama merupakan bahasa setiap pengguna media sosial untuk menegaskan identitasnya.
Demikianlah, betapa Ramadan bukan hanya bulan yang setiap Muslim percaya akan kemuliaannya, melainkan juga momen yang bising akan berbagai ekspresi merayakan kehadirannya. Karena hidup di tengah budaya modern, masyarakat Muslim merayakan Ramadan dengan kebisingan yang modern pula.
Gus Dur dan Kebisingan
Berbicara tentang kebisingan, kita boleh jadi teringat dengan tulisan lama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berjudul “Islam Kaset dan Kebisingannya” (1982). Di sana Gus Dur mengkritisi fenomena penggunaan teknologi modern berupa kaset yang disetel keras-keras pada malam-malam buta untuk membangunkan orang-orang yang terlelap guna melaksanakan salat Subuh.
Kita juga mungkin ingat pula akan humor Gus Dur tentang “toa mesjid”, pengeras suara yang digunakan kaum Muslim kala beribadah di mesjid dan surau. Tatkala seorang Pendeta Katolik, pemuka Hindu dan seorang Kyai berdebat soal siapa yang paling dekat dengan Tuhan, sang Kyai berkomentar: “boro-boro dekat, memanggil Tuhan saja harus pakai toa!”
Apa yang telah Gus Dur tulis atau tuturkan ini tentu saja dapat kita maknai lebih jauh melampaui tulisan di atas kertas dan humor. Sejauh yang dapat saya pahami, melalui kedua sistem bahasa tersebut, Gus Dur sepertinya mencoba memotret kegamangan kaum Muslim dalam berislam: antara doktrin dan aplikasi, antara substansi dan bentuk, antara tradisi dan modernisasi.
Di satu sisi, kaum Muslim – seperti semua masyarakat di muka bumi – tak dapat mengelak dari modernisasi. Ia datang bak udara yang menyelusup ke dalam ruangan tertutup lewat celah sekecil apa pun.
Di sisi lain, kaum Muslim harus berupaya mempertahankan nilai-nilai substansial yang terkandung dalam doktrin agamanya di tengah gempuran udara modernisasi itu. Jadi, adagium al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah kadang tak semudah kedengarannya.
Dalam kasus “Islam kaset” dan “toa mesjid”, Gus Dur memperingatkan nilai-nilai substansial itu bisa saja terkikis oleh perilaku hidup modern. Ini tentu saja bukan berarti Gus Dur menolak modernisasi, tapi ia sepertinya ingin mengingatkan agar substansi beragama tetap dilestarikan. Boleh saja beribadah melibatkan teknologi modern, tapi bahwa ibadah adalah sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya, dalam keheningan, kekhusyukan dan kesadaran personal nan syahdu, jangan sampai hilang – syukur-syukur bila budaya modern itu tidak dianggap sakral.
Pola pandang ini kiranya dapat kita terapkan dalam memandang Ramadan dan kebisingannya. Dalam al-Quran, hadis-hadis Nabi, serta ujaran-ujaran para ulama, kita dapat memahami bulan al-Quran ini adalah bulan ibadah. Karena itu, ia selayaknya berlangsung dalam suasana hening, khusyuk dan syahdu. Layaknya masa pandemi, Ramadan adalah momen mengisolasi diri, menjaga jarak dari kesibukan dan hasrat duniawi yang penuh dengan virus perusak jiwa.
Memang sudah jadi budaya kaum Muslim modern untuk memeriahkan Ramadan dengan segala kebisingan modern, dan budaya tentu tak dapat dipisahkan dari agama. Meski demikian, berkaca dari perhatian Gus Dur pada kasus-kasus kecil di atas, budaya modern jangan sampai melalaikan kita dari nilai-nilai substansial Ramadan, yaitu kesempatan meraih rahmat Allah, ampunan-Nya dan pembebasan dari api neraka.