Ironi Ramadan, Cabut Penutupan Masjid Ahmadiyah!

Di tengah kekhusyuan menjalani puasa di bulan Ramadan yang penuh rahmah, maghfirah, barokah, dan pembebasan dari api neraka, tiba-tiba kita dikejutkan oleh tindakan Pemerintah Kabupaten Garut yang tidak mencerminkan hikmah-hikmah bulan Ramadan yang mulia. Pemerintah Garut dengan kesewenang-wenangannya menghentikan pembangunan masjid milik Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kampung Nyalindung, Ngamplang, Cilawu, Garut, pada Kamis 6 Mei 2021. Penghentian pembangunan masjid untuk tidak digunakan berarti menutup masjid.

Bagi saya, tindakan ini sungguh sangat ironis, aneh, dan di luar nalar keagamaan.

Pertama, yang ditutup adalah masjid. Bukankah masjid adalah baitullah (rumah Allah), tempat ibadah, tempat shalat, tempat i’tikaf, dan tempat yang suci dan dimuliakan oleh umat Islam? Bukankah dengan menutup masjid berarti menutup baitullah (rumah Allah) dan melarang orang untuk shalat dan beribadah di situ?

Kedua, ditutup pada bulan Ramadan. Bukankah bulan Ramadan adalah bulan di mana orang harus menahan hawa nafsu dan tidak mengganggu orang lain? Bukankah Ramadan adalah bulan yang penuh rahmah (kasih sayang), maghfirah (penuh ampunan), dan barokah (memberikan kebaikan) kepada orang lain? Mengapa bulan Allah (syahrullah) ini diciderai dengan tindakan kemungkaran dan kedhaliman?

Ketiga, dilakukan oleh Pemerintah Garut. Bukankah tugas Pemerintah adalah memberikan perlindungan, pengayoman, keamanan, dan keselamatan warganya? Bukankah penutupan masjid bertentangan dengan tugas utama Pemerintah dalam melindungi warga negara? Bukankah tindakan ini melawan hukum dan konstitusi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh Pemerintah Garut?

Keempat, masjid milik Jamaat Ahmadiyah. Bukankah Ahmadiyah adalah kelompok minoritas yang seharusnya dilindungi, dihargai keyakinannya meski berbeda, dan dijamin kebebasannya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya itu? Bukankah konstitusi UUD 1945 menjamin semua itu?

Oleh karena itu, bagi saya, Pemerintah Garut setidaknya telah melakukan empat kesalahan besar. Pertama, melanggar konstitusi UUD 1945 yang melindungi semua warga negara dan menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan. Kedua, melanggar hak asasi manusia, yakni hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Ketiga, menciderai praktik keberagamaan, yakni merusak kesucian bulan Ramadan dan kemuliaan baitullah. Keempat, melawan kemanusiaan Jamaat Ahmadiyah yang merdeka, bebas, dan berdaulat.

Mempersoalkan Ahmadiyah sebagai “bukan Islam” sama saja dengan tidak mengakui 15.055 lebih masjid, 510 lebih sekolah, 30 lebih rumah sakit yang tersebar di 206 negara di dunia (benua Amerika, Australia, Eropa, Asia, dan Afrika) dan terjemahan al-Qur’an ke dalam 70 bahasa di dunia. Semua itu dilakukan oleh Jamaat Ahmadiyah yang tersebar di seluruh dunia.

Atas dasar itu, kami meminta Pemerintah Garut untuk mencabut penutupan masjid Jamaat Ahmadiyah dan mengembalikannya agar dapat digunakan kembali untuk sholat dan ibadah lainnya, apalagi menjelang hari raya Idul Fitri, di mana umat Islam memperoleh kemenangan setelah berjihad akbar.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk memuliakan Islam dan umat Islam, menghormati hak asasi manusia, menghargai Pancasila dan konstitusi UUD 1945, dan mengingatkan Pemerintah untuk melindungi warga negaranya, bukan sebaliknya.

Cirebon, 10 Mei 2021

Salah satu pendiri Yayasan Fahmina. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lapesdam PBNU) dan Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu, Ciwaringin Cirebon.