Sikap Jaringan GUSDURian terhadap Proses Seleksi Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami bermacam goncangan dalam dua tahun belakangan. Revisi UU KPK melahirkan beragam perubahan secara signifikan dalam tubuh lembaga antirasuah tersebut. Salah satunya adalah status kepegawaian yang kini dialihkan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Untuk menjadi ASN pegawai KPK harus mengikuti beragam proses seperti tes wawasan kebangsaan (TWK). Dari 1.351 pegawai KPK yang mengikuti tes 75 orang dinyatakan gagal.

Akan tetapi ada persoalan yang sangat serius dalam proses tes tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan banyak yang tidak terkait dengan komitmen pemberantasan korupsi. Misalnya pertanyaan kapan nikah, kesediaan dipoligami, melepas jilbab, hingga doa qunut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sarat dengan diskriminasi, pelecehan terhadap perempuan, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Dalam penjelasannya, KPK menyebut bahwa seluruh proses ditangani oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN). BKN pun mengklaim pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah melalui screening dari Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), dan Dinas Psikologi Angkatan Darat, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Jika hal tersebut benar maka ada problem mendasar dalam proses rekruitmen abdi negara kita karena pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan inkompetensi serta cacat moral dan etika.

Sebagian besar pegawai KPK memang dinyatakan lolos, namun hal itu tetap menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat. Apalagi dalam daftar yang gagal terdapat beberapa pegawai KPK yang berintegritas dan mengungkap berbagai kasus besar.

Menanggapi hal tersebut Jaringan GUSDURian menyatakan sikap sebagai berikut:

Pertama, mengecam adanya sejumlah pertanyaan dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) yang bermuatan diskriminasi, pelecehan terhadap perempuan, dan pelanggaran terhadap HAM. Komitmen berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tidak boleh diukur melalui serangkaian pertanyaan yang diskriminatif, rasis, dan melanggar Hak Asasi Manusia.

Kedua, meminta Presiden RI Joko Widodo untuk melakukan evaluasi total dan tidak menggunakan hasil penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan yang cacat moral tersebut untuk menyeleksi pegawai KPK.

Ketiga, meminta kepada pemerintah agar tidak menjadikan tes wawasan kebangsaan sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang yang mempunyai komitmen dan integritas dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah harus bersikap transparan agar tidak menimbulkan kecurigaan adanya penyingkiran terhadap orang-orang yang berintegritas dalam tubuh KPK.

Keempat, meminta Presiden dan DPR RI untuk mengembalikan independensi KPK karena UU KPK hasil revisi menimbulkan pelemahan yang sangat nyata di tubuh KPK. Sejak berdiri, KPK terbukti mampu menjadi lembaga yang berintegritas dalam memberantas korupsi. Pelemahan terhadap KPK menjadi indikasi berkurangnya komitmen pemberantasan korupsi yang membahayakan masa depan bangsa dan negara.

Kelima, mengajak seluruh masyarakat untuk terus mengawal upaya pemberantasan korupsi dan mengawal independensi KPK dari upaya pelemahan berupa narasi dan stigma negatif yang memecah belah bangsa.

KPK didirikan dengan proses yang panjang karena dimulai di era BJ Habibie, dibangun pondasi oleh KH. Abdurrahman Wahid, dan diresmikan di era Megawati Soekarno Putri. Sudah seharusnya pemberantasan korupsi menjadi agenda utama negara karena korupsi sangat menghancurkan sendi-sendi kehidupan.

Yogyakarta, 11 Mei 2021

Alissa Wahid
Koordinator Jaringan GUSDURian