Jaman Orba ada yang namanya Litsus dan Bersih Lingkungan. Di situ orang diuji apakah cocok dengan ideologi rejim atau tidak. Bukan hanya yang dipandang Komunis yang didepak. Tapi juga mereka yang “ekstrem kanan” (Islam) dan “ekstrem tengah” (liberal).
Jadi, Listsus dan Bersih Lingkungan itu untuk membersihkan dari ekstrim kiri, kanan, dan tengah.
Lalu di mana Orba berdiri? Ya pada dirinya sendiri. Mengabdi pada penguasa tunggal, yang berhak menafsir apa saja yang menurutnya benar. Tidak ubahnya seperti “L’état, c’est moi … ” yang diucapkan Kaisar Perancis maha absolut jaman dulu.
Di masa Orba Baru Baru (Orbaba) ini ada yang namanya TWK (Tes Wawasan Kebangsaan). Tes macam ini dikenakan pada pegawai-pegawai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Saya kira, tes macam ini tidak akan berhenti pada KPK. Dia akan ke mana-mana. Sudah banyak suara dari para pendukung rejim yang rajin menyerukan untuk dilakukan “pembersihan dari kadrun” lembaga-lembaga negara dan (mungkin) nantinya juga lembaga-lembaga swasta.
Banyak orang mengatakan bahwa ini adalah bagian strategi melemahkan KPK. Pertama, jadikan pegawai-pegawai KPK sebagai ASN. Kedua, untuk menjadi ASN saringlah mereka — enyahkan mereka yang kira-kira berbeda dari kepentingan rejim.
Dan memang itulah yang terjadi. Kasus yang paling banyak dibahas akhir-akhir ini adalah kasus Novel Baswedan. Kasus dia adalah kasus ‘high profile.’
Namun tahukah Anda banyak juga orang lain yang terimbas? Mantan asisten putri Gus Dur yang aktif mengembangkan Jaringan GUSDURian ini, misalnya.
Tidak seperti Orba, penguasa-penguasa Orbaba ini tidak memperlihatkan pemakaian kekerasan secara telanjang. Semua telah dipersiapkan dengan baik. Para pembela-pembela sipil (bahkan seorang yang menggunakan kredensial sebagai akademisi membikin “Civil Society Watch“!) dipersiapkan untuk membentuk narasi “Kadrun di KPK.”
Sementara, kita tahu bahwa penyidik KPK non-Kadrun (maafkan saya pakai istilah yang sangat saya tidak suka), tertangkap tangan memakan suap. Penyidik itu, Ajun Komisiaris Polisi (AKP) Stepanus Robin Patujju diduga menerima suap dari Walikota Tanjungbalai, M. Syahrial.
KPK yang pernah kita kenal sudah mati. Kalau pun ada, dia adalah lembaga jinak, yang masih melakukan kerja-kerja anti-korupsi untuk melakukan pelaburan atau ‘pemutihan’ (white-washing) hanya untuk menunjukkan bahwa lembaga anti-korupsi itu masih bekerja. Tetapi dengan efektivitas dan kekuatan yang amat lemah.
Yang penting adalah citra bersih. Perkara bahwa banyak hal-hal substansial dalam korupsi yang tidak tersentuh, itu soal lain. Saya kira, akan banyak OTT dilakukan khususnya di daerah-daerah. Tapi siapa yang berani mengusik yang maha besar di pusat?
Lalu, apa beda antara Litsus dan Bersih Lingkungan pada jaman Orba dan TWK pada jaman Orbaba ini? Untuk saya, tidak ada sama sekali.
Salah satu ciri rejim-rejim otoriter di mana pun juga adalah kemauan dan kemampuannya untuk menyeleksi siapa yang tunduk dan taat, dan menyingkirkan mereka yang punya pikiran menentang.
Seleksi ideologis, rejim otoriter selalu memeberlakukan mekanisme perangkulan (inclusion) dan penyingkiran (exclusion). Ini kekuatan rejim model ini.
Sebagai orang yang hingga usia ke-32 mengalami rejim model ini, saya tahu persis bahwa mekanisme ini sedang bekerja sekarang. Mereka yang lolos ‘litmus test‘ ideologis rejim yang berkuasa akan mendapat ganjaran. Mereka yang gagal akan disingkirkan.
Rejim seperti ini tidak punya toleransi terhadap ketidakpuasan. Apalagi terhadap kritik. Dia berkuping tipis, sangat sensitif, dan gampang menuduh (wahai, betapa mudahnya meng-kadrun-kan orang lain yang tidak sepakat dengan rejim!).
Beberapa kawan segenerasi saya memilih untuk menjadi bagian “komite” yang melakukan litmus test terhadap siapa saja. Bahkan mengganyang kawan-kawan sendiri.
Bahkan orang yang saya sebut menggunakan kredensial akademisnya, yang mendirikan Civil Society Watch, mengaku dirinya paling civilised. Sehingga dia merasa berhak untuk menghakimi siapa saja yang tidak sejalan dengan junjungannya dan mencapnya sebagai ‘uncivilised.’
Begitulah dunia politik, sosial, dan kebudayaan kita sekarang ini. Orang baik itu hanyalah hasil pencitraan berharga triliunan rupiah. Ia hanyalah seonggok “tai goreng tepung.” Itulah.