Kisah Gus Dur dan Kiai Spesialis Kepala Desa

Mbepok (goblok) Gus Dur itu. Lewat ke sini kok nggak mau mampir. Apa karena tidak mau disuguhi nasi orang desa? Apa karena dia sudah biasa makan makanan Amerika? Awas nanti kalau ususnya mborok (luka) tak tahu lho.”

Ungkapan di atas adalah perkataan Gus Dur sendiri, menirukan “omelan” seorang kiai dari Mojojajar, Kemlagi, Mojokerto sebagaimana dimuat di majalah Tempo No.3 Tahun XXII, 21 Maret 1992. Omelan kiai yang bernama lengkap Abdul Wahid Fauzi itu, memang menjadi kenyataan.

Lima hari setelah mendengar omelan tersebut, Gus Dur harus opname di rumah sakit. Ada yang tidak beres dengan ususnya hingga harus dipotong sepanjang 93 cm. Setelah dioperasi tersebut, secara tiba-tiba kiai yang mengomelinya itu datang bersama seorang kiai lain. Mereka membantu proses penyembuhan tokoh yang kelak jadi Presiden Indonesia Keempat tersebut.

“Saya heran masuknya dari mana, penjaganya juga tidak tahu,” aku Gus Dur tentang kedatangan dua tokoh tadi. Sejak saat itulah, Gus Dur kapok untuk tidak bersilaturahim dengan para kiai ahli hikmah ketika melintas di suatu daerah. Takut terkena omelan seperti di atas.

Namun, bukan fragmen di atas yang hendak disampaikan dari tulisan ini. Sisi lain sosok Kiai Abdul Wahid Fauzi yang memiliki kedekatan dengan Gus Dur itulah, yang hendak didedah. Sebagaimana ditulis di Tempo dalam indepht cukup panjang berjudul “Kiai-Kiai ‘Sakti’ dan Amalannya” itu, memiliki spesialisasi tersendiri.

“Kiai spesialis kepala desa,” begitu Gus Dur menjuluki kiai kelahiran 1943 itu. Gus Wahid, demikian ia akrap disapa, memang kerap menjadi rujukan para calon kepala desa. Menurut penuturan santrinya kepada Tempo, pada musim pilkades, jumlah tamu memuncak. Bahkan, sampai 500 orang per hari. Tak hanya dari Mojokerto saja, namun juga dari luar kota.

Gus Wahid yang dianggap memiliki karomah, diharapkan keberkahan doanya bagi para calon kades itu. Siapa tahu dengan doa dari Gus Wahid, hajat menjadi pemimpin bisa terkabul.

Praktik sebagaimana yang dilakukan Gus Wahid itu, memang bukan barang baru. Dalam bentang sejarah, praktik spiritualitas demikian dalam perebutan kekuasaan dan jabatan telah terjejak berabad lamanya. Bahkan, menurut Ong Hok Ham, praktik demikian tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia lainnya juga sama. Tak terkecuali di Amerika Serikat yang modern pun juga sempat tersiar kabar demikian. (Ong Hok Ham, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang, 2018, Hlm. 3-21).

Hal yang cukup purba ini, ternyata tak lekang oleh zaman. Di era milenial, revolusi industri 4.0, disrupsi dan sederet lebel lainnya, yang mana survey menjadi piranti pemenangan, praktik “perdukunan politik” tak bisa sirna begitu saja. Lebih-lebih pada politik pemilihan kepala desa (Pilkades). “Suara langit” kerap kali ditempatkan di atas segala perhitungan rasionalitas politik modern.

“Jika maju pilkades, nggak usah mencari dukun. Dia yang akan datang tersendiri,” ungkap Ketua PCNU Banyuwangi KH. Ali Makki Zaini setengah berseloroh tentang maraknya praktik demikian.

Para ahli dunia pergaiban tersebut, memiliki beragam latar belakang keilmuan. Secara kasar, ada dua kelompok besar. Berlatar belakang Islam atau non-Islam basis keilmuannya. Dalam tulisan ini, akan lebih fokus melihat lebih dekat praktik-praktik spritualitas yang dilakukan oleh –meminjam istilah Gus Dur– “kiai spesial kepala desa” itu.

Penulis yang berkecimpung pada Pilkades Patoman, Kecamatan Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi memiliki sejumlah pengalaman langsung berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang demikian. Ada beberapa catatan menarik yang bisa dikulik dari hal ihwal praktik “kiai-kiai kepala desa” tersebut.

Dalam pilkades, keterlibatan para ahli karomah itu, setidaknya ada pada dua fase penting. Fase pertama adalah saat akan mencalonkan. Sedangkan fase selanjutnya adalah pada saat proses pencalonan hingga waktu pemilihan.

Masa pertama adalah saat orang-orang yang berminat atau didorong maju pilkades mencoba untuk meneroka peruntungan. “Bagaimana kelak jika saya mencalonkan diri sebagai kepala desa? Jadi atau tidak? Baik bagi kami atau seperti apa?” Deretan pertanyaan tersebut merupakan coba dicari jawaban lewat “mata batin”.

Sejauh pengetahuan penulis, ada beberapa praktik yang ada. Ada satu kiai berinisial NQ di Tegalsari, misalnya. Cara menjawabnya sangat dramatis. Nama-nama yang bakal mencalonkan kepala desa ditulis di secarik kertas. Masing-masing nama yang tertulis digulung kecil. Di masukkan ke suatu wadah, dibacakan doa, lalu disuruh mengambil.

Dari kertas yang diambil itulah, jawabannya. Nama siapa yang tertulis di kertas itu, ialah pemenangnya.

Berbeda lagi dengan Kiai S di Kabat. Pembawaannya santun dan begitu memasrahkan diri pada Yang Maha Kuasa. Ketekunannya beribadah diberikan oleh Allah Swt kelebihan untuk diperlihatkan isyarat-isyarat akan apa yang bakal terjadi. Tak terkecuali soal pilkades.

Ada banyak cerita dan studi kasus tentang isyarat-isyarat yang muncul di benaknya. Suatu ketika ada seorang calon kades yang datang. Belum selesai si tamu mengutarakan maksudnya. Tiba-tiba muncul isyarat air mineral “Aqua”.

“Bawa pulang Aqua ini, minum dan usapkan ke kaki waktu pemilihan. Bi’idnillah menang,” ungkap sang kiai.

Di tengah kebingungan sang tamu, apa yang diucapkan oleh Kiai S tadi, terkandung maksud. Isyarat berupa Aqua tadi, secara linguistik dekat dengan kata “aqwa” dalam bahasa Arab. Maknanya, lebih kuat. Diberi perlambang “Aqua” berarti menyiratkan jika si calon tersebut, yang paling kuat. Akhirnya, si calon tadi pun keluar sebagai pemenang pilkades di kampungnya.

Beda lagi dengan si calon lain yang juga datang ke sana. Isyarat yang hadir adalah pohon pisang yang buahnya masih hijau. Sang kiai menafsirkan, jika si tamu belum waktunya untuk maju. “Tapi, ini tafsir saya. Maju dan tidak, terserah keputusan sampean,” ujar sang kiai merendah.

Si tamu tetap ngotot maju Pilkades. Ternyata, antara kenyataan dan isyarat tak berbeda. Ia kalah dalam proses demokrasi di level desa itu.

Namun, tak semua tamu yang datang, langsung diberi isyarat. Terkadang si tamu perlu melakukan ritus tertentu terlebih dahulu agar bisa mendapatkan isyarat sendiri. Salah satu ritus yang dilakukan adalah membaca “Ya Khabir” dalam hitungan tertentu menjelang tidur malam, selama tujuh hari berturut-turut.

“Setelah membaca itu, tidak boleh ada aktivitas lain selain tidur. Mimpi dalam tidur itulah isyaratnya,” pesan Kiai S itu.

Apa yang dimimpikan oleh si calon, bakal ditafsirkan olehnya. Biasanya, selain menggunakan logika umum, juga melakukan pendekatan dengan bahasa Arab. Di sanalah jawaban akan muncul. Misalnya mimpi menaiki sepeda motor. Ini adalah perlambang derajat. Yang mana, bahasa Arab dari sepeda memiliki kesamaan dengan derajat.

Sebenarnya, ada banyak jenis praktik lainnya untuk memberi jawaban atas kegalauan masing-masing calon. Baik yang menggunakan perhitungan nama, tanggal lahir, tempat mukim, dan lain sebagainya.

Setelah melewati fase pertama tersebut, baru menginjak fase pemenangan. Upaya untuk merebut simpati masyarakat untuk memilihnya. Jika hendak dikelompokkan, setidaknya ada tiga instrumen utama pada tahap ini.

Instrumen pertama adalah bacaan-bacaan tertentu. Biasanya, sang kiai menyuruh si calon untuk mengamalkan suatu wirid yang telah ditetapkan. Ada yang mutawattir dan ada yang tak umum. Mulai dari membaca basmalah, al-Fatihah, selawat atau ayat-ayat tertentu dalam Alquran.

Sedangkan yang tak umum (ghoiru mutawattir), biasanya perpaduan dua bahasa. Mirip mantra. Salah satunya berbunyi: “sak humma yaftahin ghonizin ajib yasar toyali.

Tentu saja, berbagai wirid yang diijazahkan itu, memiliki ketentuan tersendiri. Mulai jumlah bacaannya, waktunya, hingga tawasul yang harus disambungkan. Tak jarang ada tata cara tersendiri. Seperti berada di tempat tertutup, namun atapnya harus terbuka. Harus duduk di tikar pandan. Dan beragam syarat lainnya.

Para calon biasanya dengan sendiri dawuh menjalankan beragam anjuran tersebut. Namun, tak jarang yang dengan terang-terangan meminta tolong sang kiai. Paket lengkap. Si calon terima beres. Jika seperti yang terakhir ini, mahar yang diberikan biasanya lebih mahal.

Sedangkan instrumen yang kedua adalah “benda-benda khusus”. Ini semacam jimat atau pusaka yang jadi perantara memperlancar doa. Ada yang tanah desa, keris, cincin, sikep, batu, kendi, pohon atau hewan khusus dan beragam media lainnya.

Benda-benda di atas memiliki ketentuan tersendiri. Seperti halnya tata cara memperlakukannya hingga penempatannya. Satu contoh adalah paket kendi, dahan pohon gaharu, menyan, dan minyak khusus. Paket tersebut dilengkapi dengan foto calon dan dibungkus kain kafan. Kemudian, dipendam di empat penjuru desa yang kerap dilewati penduduk.

“Pasang tengah malam, biar tak diketahui orang,” begitu biasa pesan tambahannya.

Yang tak kalah pentingnya adalah instrumen ketiga. Tata laku. Kiai ahli karomah tersebut, terkadang juga menganjurkan untuk berperilaku khusus guna mendukung kemenangan si calon. Seperti halnya pemilihan tempat duduk saat menghadapi tamu, bertemu calon lain, hingga rute nanti saat menuju tempat pemilihan.

Pada instrumen ketiga ini, juga diatur pakaian apa yang harus dikenakan di hari pemilihan. Tak sembarang. Ada yang biasa disarankan menggunakan baju yang biasa digunakan untuk salat, baju dengan warna tertentu, kopiah, dan lain sebagainya.

Terlepas dari takdir Allah Swt, apakah hal di atas memiliki signifikansi secara langsung? Wallahua’lam. Bukan tak mungkin hal tersebut memiliki korelasi tertentu, karena Allah Swt sendiri memerintahkan umat manusia untuk mengimani yang gaib. Namun, juga tak menutup kemungkinan beragam anjuran di atas dikritisi dengan seksama. Semua terserah kepada individu masing-masing, bukan?

(Artikel ini pertama kali dimuat di alif.id)

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro.