Biasanya, ketika kita berpapasan dengan orang lain, baik karena alasan kenal atau sekedar kesopanan, kita akan menganggukkan wajah, tersenyum, dan menyapanya jika perlu. Tapi ketika wajah kita tertutup oleh selembar masker, kita jadi berpikir, apa gunanya tersenyum pada orang lain. Toh, kita tersenyum atau tidak, atau bahkan menyeringai, orang lain tidak tahu.
Sekalipun demikian, kita toh tetap tersenyum pada orang saat kita berpapasan. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar apakah orang lain tahu kita tersenyum atau menyeringai kepadanya. Sesuatu itu adalah ketulusan hati kita dalam bertegur sapa; dalam bertetangga; dalam berteman; dalam membangun hubungan baik dengan orang lain. Tak peduli apakah mereka melihat bibir kita tersenyum atau tidak, nurani kitalah yang mendorong kita bahwa mungkin saja dalam situasi tertentu kita tidak bisa memperlihatkan senyum di bibir, tapi mereka tetap bisa mendapatkan ketulusan hati kita.
Betapa sering kita mendengar nasihat bahwa kebaikan hati itu lebih penting dari keindahan wajah. Tapi kita ngeyel. Bahkan Allah dalam surat al-Tin secara gamblang menjelaskan bahwa manusia memang diciptakan dalam dedeg fisik yang sangat baik, tapi kebaikan penampilan fisik itu bisa jatuh ke jurang kenistaan, kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
Artinya, tidak peduli manusia memiliki wujud fisik yang baik, itu sungguh-sungguh tidak berarti, bahkan bisa sangat nista, jika tidak dibarengi dengan perilaku yang baik pula. Jadi, ukurannya adalah pada iman dan perilaku yang baik (amal shalih) Tapi bahkan terhadap firman Allah pun kita abai.
Ketika sebuah makhluk mikroskopis bernama virus Corona memaksa kita menutup wajah pakai masker, baru kita sadar, bahwa pada akhirnya wajah bukanlah segala-galanya. Senyum di wajah hanya bermakna sebagai kemuliaan jika ia adalah ungkapan tulus dari kedalaman hati. Untuk apa memoles wajah dengan senyuman, kalau itu hanya sarana untuk menipu orang. Bukankah semakin canggih penipu, semakin canggih pula dia memanipulasi senyumnya?
Tapi begitulah, kita selama ini lebih mementingkan penampilan fisik. Penampilan fisik bahkan dianggap lebih penting dari menyelamatkan jutaan nyawa manusia. Dalam tulisannya berjudul The Globalization of Cosmetic Surgery: Examining BRIC and Beyond, Lauren E. Riggs menjabarkan panjang lebar budaya bedah kosemtik (cosmetic surgery) yang besar biayanya mungkin tidak terbayang bagi manusia seperti kita.
Berdasarkan data dari the American Society for Aesthetic Plastic Surgery (ASAPS), di tahun 2011 terdapat lebih dari sembilan juta operasi kosmetik (baik bedan maupun non-bedah), dengan estimasi dana yang dikeluarkan lebih dari 10 miliar USD. Selama tujuh tahun, biaya operasi kosmetik meningkat menjadi 60,5 persen. Laporan terbaru dari American Society for Plastic Surgeons (ASPS) memperlihatkan bahwa rakyat Amerika mengeluarkan dana lebih dari 16,5 miliar USD untuk operasi plastik kosmetik, mulai dari implan payudara hingga pembenahan bentuk hidung.
Bukan hanya membuat ternganga bagaimana manusia bisa mengeluarkan sebegitu besar uang untuk sebuah penampilan fisik, tapi juga membuat kita prihatin karena bahkan penampilan fisik bisa menjadi prioritas di tengah jutaan kemelaratan manusia.
Sebagaimana tulisan Rebecca Dana, “Plastic Surgery is More Popular Than Ever”, di Newsweek Magazine, bahwa antara tahun 2009 hingga 2010, penduduk Amerika mengeluarkan biaya kurang dari 3,8 persen untuk makanan, kurang dari 2 persen untuk perumahan, kurang dari 1,4 persen untuk pakaian, dan kurang dari 7 persen untuk hiburan, tapi pada saat yang sama, mereka mengeluarkan lebih dari 1,3 persen untuk operasi payudara, lebih dari 5,1 persen untuk operasi pengangkatan lemak, lebih dari 8,1 persen untuk operasi kelopak mata, dan lebih dari 24,4 persen untuk operasi memperbaiki bentuk pantat.
Penduduk Amerika yang dikenal rasional itu sudah menjungkirbalikkan rumus kebutuhan primer-sekunder-tersier. Sandang-pangan-papan bukan lagi prioritas kebutuhan. Orang mungkin lebih resah bentuk pantat yang tidak seksi daripada berita kelaparan.
Di tengah tingginya uang yang dikeluarkan untuk biaya operasi kosmetik orang-orang kaya, data dari World Bank menunjukkan bahwa sampai tahun 2015, 85% penduduk Afrika berada dalam kemiskinan. Setiap hari mereka hanya hidup dengan uang rata-rata 5,5 USD. Bahkan 40 persen lebih, mereka hanya hidup dengan uang 1,9 USD per hari.
Lalu, apa motivasi terpenting dari orang-orang yang mengeluarkan dana besar untuk operasi kosmetik itu? Dana menjelaskan bahwa motivasi dari begitu banyak keluarnya uang untuk operasi kosmetik (kecantikan dan ketampanan) adalah keinginan untuk selalu tampak lebih muda dan hasrat untuk “tetap berada dalam permainan”.
Dan, sebagaimana permainan, ia bukanlah hal-hal substansial dalam kehidupan. Ia bisa hanya berupa penampilan fisik (kecantikan/ketampanan wajah, tubuh yang tak berlemak, kelopak mata yang menarik, dan pantat yang seksi), tanpa ada kaitannya dengan ketulusan hati kita dalam menjalani hidup dengan orang-orang di sekitar kita, yang mungkin saja membutuhkan uluran tangan kita. Kita tidak bisa membantu orang lain karena uang kita terlanjur habis untuk memulas wajah agar tampak menarik. Tapi kini, wajah itu harus ditutup masker.
(Artikel ini pertama kali dimuat di arrahim.id)