Beberapa hari terakhir muncul polemik ucapan selamat hari raya Naw-Ruz oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas untuk Komunitas Baha’i. Ucapan itu sebenarnya sudah diunggah sejak tanggal 19 Maret 2021 yang lalu. Namun beberapa kalangan baru mempermasalahkan empat bulan kemudian.
Salah satu alasannya ialah agama Baha’i bukan merupakan agama yang diakui di Indonesia. Mengucapkan selamat atas hari besar agama yang tidak diakui dianggap sebagai bentuk “pelanggaran” ataupun offside. Padahal mengucapkan selamat adalah bentuk solidaritas kemanusiaan yang justru sesuai dengan prinsip kenegaraan, kebangsaan, dan keagamaan.
Agama Baha’i merupakan agama yang lahir di Persia pada tahun 1844. Menurut catatan Kementerian Agama, agama ini mulai masuk di Indonesia pada tahun 1878. Saat ini jumlah pengikut Baha’i sekitar 5.000 orang. Pada tahun 1962 Presiden Soekarno sempat melarang Baha’isme dengan Keppres No. 264.
Pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) larangan tersebut dicabut. Presiden KH. Abdurrahman Wahid menerbitkan Keppres No. 69 tahun 2000. Melalui Keppres tersebut Pemerintah Indonesia secara konstitusional mengakui keberadaan ajaran Baha’i sekaligus memperbolehkan penganutnya menjalankan kepercayaannya.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempunyai perhatian yang sangat serius terhadap hak-hak berkeyakinan dan beragama, termasuk Baha’i. Pada bulan Maret 2000, saat itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Gus Dur hadir dalam pertemuan para penganut Baha’i di Jalan Menteng, Jakarta Pusat.
Pengakuan dan perlindungan terhadap semua kepercayaan dan agama ini merupakan salah satu warisan Gus Dur yang harus dirawat dan dikembangkan sebagai bagian dari upaya kita bersama untuk menciptakan masyarakat yang adil dan non-diskriminatif. Tidak hanya terhadap umat Baha’i, Presiden Gus Dur juga bertemu dengan tokoh-tokoh agama minoritas dan aliran lainnya.
Oleh karena itu Jaringan GUSDURian menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, mengapresiasi dan mendukung sepenuhnya langkah Kementerian Agama untuk membuat ucapan selamat dalam perayaan hari besar berbagai agama yang ada di Indonesia. Hal ini merupakan bukti pengakuan pada realitas keberagaman yang ada di Indonesia dan langkah yang penting untuk memberi pengakuan pada semua agama dan kepercayaan di Indonesia.
Kedua, meminta pemerintah khususnya Kementerian Agama untuk mengambil langkah lanjut dengan memberikan perlindungan dan pengayoman kepada semua agama minoritas dan kepercayaan agar dapat mempraktikkan keyakinan mereka secara bebas dari rasa takut, intimidasi, dan diskriminasi. Hal ini merupakan prinsip dari Pancasila sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara hukum, tidak ada satu pun perundang-undangan di Indonesia yang secara eksplisit menyatakan adanya entitas agama-agama yang diakui maupun yang tidak diakui.
Ketiga, meminta kepada semua pihak untuk tidak mempolitisasi pernyataan Menteri Agama tersebut. Pernyataan tersebut perlu dipahami dan diletakkan dalam konteks untuk membangun pengakuan, perlindungan, dan pelayanan publik kepada berbagai semua warga negara Indonesia tanpa membedakan kelompok agamanya, termasuk Baha’i, secara setara tanpa diskriminasi; sesuai dengan pasal 29 UUD 1945.
Keempat, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus merawat semangat kebhinekaan dan berupaya menghentikan diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda, termasuk kelompok agama minoritas seperti Baha’i. Keberagaman adalah keniscayaan yang seharusnya bisa menjadi kekuatan untuk membangun peradaban.
Kelima, menghimbau semua pihak untuk mencurahkan perhatian dan tenaganya kepada upaya-upaya untuk menghadapi situasi yang mendesak seperti penanganan Covid-19 dan korupsi.
Yogyakarta, 1 Agustus 2021
Koordinator Jaringan GUSDURian
Alissa Wahid