Keberagaman yang Indah di Kupang

Beberapa waktu terakhir saya terlibat dalam kampanye narasi keislaman-keindonesiaan. Narasi ini terus disosialisasikan agar masyarakat terutama para pemuda tidak melepaskan identitasnya sebagai warga negara. Mula-mula pertanyaan yang saya munculkan adalah: kita ini orang Indonesia yang beragama Islam, atau orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan cara pandang kita dalam memahami agama dan negara.

Pertanyaan ini saya lontarkan pula di hadapan aktivis lintas iman di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Semuanya menjawab bahwa mereka adalah orang Indonesia yang memeluk agama tertentu. Kebetulan yang hadir dalam workshop memiliki latar belakang agama beragam. Semuanya sepakat bahwa identitas keindonesiaan diletakkan paling awal. Karena negara adalah entitas yang mampu menjaga keberagaman dan menjaminnya agar tetap berdampingan secara harmonis.

Di hari kedua, saya berkesempatan untuk berbagi cerita dengan puluhan mahasiswa di kampus Universitas Nusa Cendana. Saya memutar beberapa video tentang keberagaman, kemudian meminta tanggapan dari para peserta yang hadir. Ada peserta yang menceritakan pengalamannya bergaul dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dengan menggebu-gebu, ada yang fokus mengapresiasi konten-konten yang ditampilkan dan beberapa tanggapan lain. Namun ada satu pernyataan dari mahasiswi yang cukup membuat saya tertegun. 

“Saya tidak tahu mengapa, ketika saya sudah berusaha berbuat baik, banyak orang masih sering menganggap saya ISIS dan teroris.” Seorang mahasiswi berjilbab menyampaikan pengakuan itu dengan suara parau. Tampak sebagian besar mahasiswa yang hadir menatap sosoknya yang terlihat tegar. Di forum yang dihadiri oleh kalangan lintas iman, perempuan bernama Andini ini mengeluarkan suara hatinya, sesuatu yang mungkin tidak mudah disampaikan di kesempatan yang lain. Saya sangat bisa merasakan bagaimana perasaannya ketika mendapatkan perlakuan seperti itu.

Andini tidak salah. Ya, tentu saja. Ia adalah korban dari pengarusutamaan narasi-narasi kebencian yang menggunakan topeng agama, kemudian dianggap sebagai wajah agamanya oleh pemeluk agama lain. Sementara orang-orang yang melabelinya dengan sebutan seperti itu, juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka mendapat informasi tentang agama Islam melalui media-media ekstremis, juga ceramah-ceramah di media sosial oleh orang-orang yang anti terhadap keragaman. Saya pun ngeri ketika mendengar pernyataan itu karena Kupang dikenal sebagai kota yang sangat toleran. Di akar rumput, suara intoleransi ternyata masih terdengar. 

Di balik kengerian itu, saya cukup optimis suara-suara perpecahan yang didasari sentimen agama dapat diredam. Adalah kelompok pemuda yang mengatasnamakan dirinya Komunitas Peace Maker (Kompak) memberi harapan keberagaman di kota ini terjaga. Para pemuda lintas iman ini terus menyuarakan pentingnya persatuan antarumat beragama dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Beruntung pula karena keberagaman di kota ini adalah praktik sehari-hari penduduknya. Saya cukup terkesan ketika mendengar cerita dari Peter mengenai budaya orang NTT ketika menyambut Natal dan Idul Fitri. Saat Natal, umat Muslim turut berpartisipasi untuk menjaga gereja. Sebaliknya, orang Nasrani akan menjaga masjid di saat hari raya Idul Fitri. Pemandangan demikian membuktikan bahwa sebenarnya toleransi di Indonesia itu suatu keniscayaan karena bangsa ini terbentuk karena keberagaman. Hanya saja segelintir orang yang tidak memahami asal-usul bangsa ini mencoba untuk membenturkan berbagai perbedaan yang ada. Sehingga perbedaan yang mestinya jadi kekuatan malah berubah menjadi ancaman. Hal ini sekaligus menjadi jawaban atas harapan Abah Makarim, ketua MUI NTT yang mengatakan bahwa andai orang Muslim menganggap gereja adalah miliknya, dan orang Nasrani menganggap masjid adalah miliknya, maka yang terjadi adalah keharmonisan karena masing-masing saling menjaga.

Munculnya kecurigaan antarumat beragama adalah akibat kurangnya interaksi yang dilakukan antarberbagai pemeluk agama tersebut. Karena terbiasa hidup dalam satu lingkungan yang sama membuat orang cenderung mengeksklusifkan diri. Inilah awal bibit-bibit konservatisme menjangkiti masyarakat Indonesia dewasa ini. Oleh sebab itu, forum-forum yang mempertemukan orang dari berbagai latar belakang penting untuk diselenggarakan demi menghancurkan tembok kecurigaan. Sekecil apa pun forum itu.

Masalah yang cukup besar terjadi di Indonesia saat ini adalah banyaknya orang yang tidak mengerti pemahaman orang lain, tetapi berani menuduhnya sebagai sebuah kesalahan berdasar asumsi pribadinya. Ini yang membuat salah satu peserta beragama Hindu kemudian memberi penjelasan kepada peserta lain. Ia mengaku sering mendengar celotehan orang lain yang menyatakan agama Hindu menyembah berhala. “Kami tidak menyembah berhala. Yang kami sembah adalah Tuhan. Patung hanyalah sarana, jembatan, bukan tujuan,” ujarnya. Ya, dalam agama Islam yang saya anut pun, menghadap kiblat bukanlah tujuan dalam beribadah. Ka’bah hanyalah sarana, bukan tujuan. Tujuan beribadah tentu saja menyembah Dzat Yang Maha Esa agar merasa damai dalam menjalani kehidupan yang fana ini. 

Kupang menyisakan banyak kisah mendalam bagi saya dalam memahami indahnya keberagaman. Saya bisa melihat keteguhan seorang Andini yang ingin membuktikan dirinya adalah penganut agama yang baik. Ia ingin merobohkan tembok kecurigaan dengan cara bergabung dengan kelompok lain yang berbeda. Begitu juga mahasiswa lain yang hadir di forum itu. Mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan Indonesia sebagai rumah bersama, kini dan nanti. Semoga saja.

GUSDURian. Aktif menulis di berbagai media daring.