Dimzoom GUSDURian: Menyoal Santri Kosmopolit

Peringatan Hari Santri jatuh jatuh pada hari Jum’at, 22 Oktober 2021 kemarin. Beberapa perayaan digelar di banyak pesantren dan tempat-tempat publik oleh para santri. Namun pertanyaannya, siapakah sebenarnya orang yang menyandang identitas santri ini? Lalu kenapa santri harus bisa menjadi sosok yang kosmopolit?

Untuk menjawab menjawab pertanyaan itu, Jaringan GUSDURian mengadakan dimzoom (diskusi melalui Zoom) bertepatan dengan Peringatan Hari Santri kemarin. Acara tersebut menghadirkan tiga narasumber dari latar belakang yang cukup beragam. Mereka adalah Hairus Salim HS (Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta), Sugar Nadia Azier (Direktur Madani Film Festival), dan Rm. Lukas Heri Purnawan MSF (Rohaniawan Katolik). Diskusi bertajuk “Santri Kosmopolit: Potret Santri dalam Kehidupan Kebangsaan dan Global” tersebut dipandu langsung oleh Inaya Wahid sebagai host.

Dalam pengantarnya, Hairus Salim menjelaskan definisi dan istilah santri berdasarkan asal-usul katanya. Secara bahasa, santri bisa didefinisikan sebagai “orang yang belajar”. Dalam hal ini para pembelajar tersebut melakukan pendidikannya di sebuah pesantren. Di sisi lain, secara istilah, santri juga tidak hanya diartikan sebagai orang yang belajar di pesantren, namun bisa berarti lebih luas lagi.

“Santri adalah orang yang selalu ingin belajar kepada siapa pun, di mana pun, dan terhadap masalah apa pun. Maka dari itu, dari definisi ini siapa pun bisa disebut santri. Jadi ini adalah hari di mana kita merayakan suatu sikap berendah hati di hadapan realitas yang sangat majemuk dan complicated, yaitu dengan selalu belajar,” terang Hairus.

Sedangkan menyangkut arti “kosmopolit”, Hairus menerangkan bahwa kosmoplit merujuk pada sikap yang terbuka, tidak pernah merasa diri menjadi orang yang “tinggi”, dan mau terus belajar.

Sejalan dengan itu, bertepatan dengan Hari Santri, Sugar Nadia Azier memutuskan untuk memulai rangkaian acara Festival Film Madani. Menurutnya, santri tidak terbatas pada orang-orang yang belajar di pesantren saja, tapi milik semua, termasuk orang-orang yang menyukai film juga.

“Film-film dalam Festival Film Madani ini bertemakan kemanusiaan dan kita bisa belajar dari situ. Nah, sikap belajar santri itulah yang nantinya menjadi ketertarikan terhadap film-film dalam festival ini,” jelas Sugar.

Berbagai film yang ditayangkan dalam Festival Film Madani tidak hanya berkutat seputar film-film bertema keislaman. Spektrum festival ini lebih luas, mengingat kata “Madani” sendiri tidak tertuju pada Islam saja. “Film-film ini memang bikin kita lebih empati, saling mengenal sesama kita, sehingga baik secara langsung atau tidak langsung bisa membuat kita lebih rileks, lebih terbuka, dan lebih belajar lagi, lebih nyantri lagi,” pungkasnya.

Selanjutnya, Romo Lukas menjelaskan tentang alasan kenapa dirinya menyandang identitas santri. Sebagai lulusan seminari, ia menyamakan nilai-nilai yang diajarkan di lembaga pendidikan bagi calon pastor tersebut dengan pesantren.

“Dua hal yang sama-sama kita lakukan (di seminari atau pesantren) yaitu kita sama-sama ngangsu kawruh, mengembangkan dan mencari ilmu, sekaligus menjaga akhlak. Itulah yang ditawarkan teman-teman santri. Dan itulah yang menjadi kesamaan kita,” kata rohaniawan yang akrab dipanggil Romo Ipeng tersebut.

Menurutnya, baik di pesantren atau seminari, para santri tidak hanya bertugas mengejar ilmu, tapi juga mewarisi nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang ditanamkan oleh pendiri pesantren atau seminari. Romo Ipeng sendiri mengaku merasa perlu merayakan Hari Santri karena ia adalah warga negara Indonesia.

“Saya merasakan sumbangsih teman-teman santri yang rajin belajar itu, belajar untuk mengenal yang berbeda, belajar tentang kemajemukan, dan senantiasa membangun persaudaraan sejati,” lanjut Romo Ipeng.

Diskusi melalui Zoom yang diselenggarakan oleh Jaringan GUSDURian ini disiarkan langsung melalui akun Youtube GUSDURian TV.