Social Media

Gus Dur dan Penghargaan kepada Kelompok Difabel

Indonesia pernah menjadi tuan rumah ASIAN Paragames. Ajang olahraga yang dikhususkan bagi para atlet difabel ini memiliki tujuan untuk mewadahi kelompok difabel berkiprah secara profesional di bidang olahraga serta meningkatkan kesejahteraan difabel melalui aktivitas olahraga.

Ajang ini hanyalah salah satu langkah untuk meningkatkan apresiasi publik terhadap kelompok difabel karena hingga saat ini baik individu maupun institusi belum sepenuhnya memberikan hak-hak terhadap difabel. Presiden Joko Widodo secara informal melalui video blog (vlog) bersama Surya Sahetapi, seorang aktivis difabel tuli, pun mengakui bahwa pemenuhan hak-hak difabel di ranah publik masih terbatas.

Apabila dilihat dari data SUPAS (Survey Penduduk Antar Sensus) tahun 2015 tercatat bahwa jumlah difabel nasional sebesar 8,56 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia. Persentase tersebut tentu kecil jumlahnya, tetapi bukan berarti masyarakat maupun pemerintah abai terhadap pemberian hak-hak difabel. Adanya fakta mengenai pemenuhan hak yang belum setara menunjukkan bahwa difabel sebagai bagian minoritas dari keberagaman sosial di Indonesia belum menerima perlakuan anti-diskriminasi.

Barangkali kita tidak perlu terlalu jauh mengkritisi implementasi UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mengenai pewajiban pemberian hak kerja kepada difabel sejumlah satu persen di setiap tempat kerja. Serta tidak perlu dahulu menengok UU Penyandang Disabilitas tahun 2016 mengenai hak kerja di Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) bagi difabel sebesar dua persen yang belum terealisasi sepenuhnya hingga tahun 2017.

Hal berdasarkan fakta yang diungkapkan oleh Ruby Emir selaku CEO Kerjabilitas saat diwawancarai BBC News. Lebih baik kesadaran pemenuhan hak difabel dimulai dari hal-hal mendasar seperti penggunakan kata “difabel” sendiri. Hingga saat ini, media maupun individu masih banyak menerapkan padanan kata difabel dengan penyandang disabilitas atau bahkan penyandang cacat. Terminologi tersebut sebetulnya memiliki makna yang berbeda. Penggunaan kata difabel dicetuskan oleh banyak aktivitis difabel di Yogyakarta. Difabel merupakan kepanjangan dari different abled yang berarti memiliki kemampuan yang berbeda, bukan berarti tidak mampu. Hal ini berbeda dengan kata disabilitas yang memiliki makna ketidakmampuan dalam beraktivitas atau melakukan sesuatu.

Terdapat kebutuhan yang perlu diperoleh difabel, yakni kebutuhan aksesibilitas fisik dan aksesibilitas mental. Aksesibilitas fisik merupakan aksesibilitas yang diberikan dalam bentuk fisik berupa sarana dan prasana pada fasilitas umum. Salah satu perwujudannya adalah dalam program-program Kota maupaun Desa Ramah Difabel. Program ini tentu dilaksanakan secara kelompok dan melibatkan campur tangan pemerintah dan dikoordinir secara nasional. Sedangkan aksesibilitas mental atau disebut juga aksesibilitas psikis merupakan sebuah aksesibilitas yang diberikan dalam bentuk penerimaan maupun apresiasi terhadap difabel. Penerimaan terhadap kehadiran difabel inilah yang sebenarnya jauh lebih mendasar dibandingkan penerapan penggunaan kata difabel di berbagai media.

Berdasarkan pengalaman penulis berkecimpung dalam komunitas difabel tuna netra dan tuli, para difabel ingin diterima dalam masyarakat tanpa dipandang sebelah mata. Mereka tidak memerlukan belas kasihan secara mental apalagi dianggap tidak mampu. Di sinilah penerapan makna toleransi yang lebih luas diperlukan. Penerapan toleransi dalam hal sosial berlaku pula bagi kelompok berkebutuhan khusus atau difabel.

Toleransi merupakan kunci penerimaan kehadiran difabel sebagai bagian dari masyarakat dengan segala kelebihan dalam keterbatasan mereka. Kita tentu masih ingat akan sosok Guru Bangsa, KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab dengan sebutan Gus Dur. Beliau memiliki keterbatasan penglihatan bahkan saat menjadi Presiden di tahun 1999.

Pada saat itu kita ditunjukkan oleh fakta bahwa keterbatasan fisik tidak menghalangi seseorang untuk memberikan sumbangsih bagi bangsa. Perjuangan Gus Dur memberikan hak-hak yang sama bagi seluruh warga termasuk bagi difabel ia teladankan saat mendaftar sebagai Calon Presiden pada tahun 2004. Pada saat itu Gus Dur berkeyakinan bahwa penyandang difabel memiliki kesempatan yang sama untuk berkiprah dalam berbagai sektor, walaupun perjuangan tersebut terhenti karena regulasi yang mewajibkan calon presiden harus memiliki kesehatan jasmani dan rohani sesuai yang dipersyaratkan.

Perjuangan-perjuangan memenuhi hak kelompok difabel saat ini terwujud dalam skenario masyarakat inklusi yang merupakan pengejawantahan dari masyarakat yang menerima keberagaman tanpa diskriminasi. Difabel sebagai bagian dari minoritas dengan kebutuhan khusus perlu terus didukung dan hal tersebut diawali dari hal yang paling sederhana seperti bersikap toleran dengan menerima keberagaman dan menjunjung persamaan. Dengan demikian, wacana masyarakat inklusi bukanlah isapan jempol semata.

Alumnus Sekolah Menulis Kreatif GUSDURian Jogja.