Toleransi dan Transformasi Sosial Keberagamaan

Problem hubungan antaragama bukan problem teks Al-Qur’an, Al-Kitab dan atau kitab suci lainnya, namun problem pembaca teks. Pembaca teks sering kali tidak memahami otentisitas teks dan mengambil teks demi keegoisan dan kepentingan sendiri. Yang banyak terjadi selama ini adalah mereka berjuang dalam konstruksi teologis sebagaimana keinginan dan dunia yang diinginkannya sendiri. Perjuangannya fokus pada konstruksi makna teks tanpa memikirkan relevansinya bagi kedamaian, kesejahteraan, dan interaksi manusia yang lebih baik.

Adalah fakta bahwa intolerasi keberagamaan dimulai dari egoisme memahami teks suci. Dalam ruang intoleransi keberagamaan egoisme pemaknaan atas teks suci itu mengambil beberapa bentuk: tekstual. Bentuk ini banyak dipegang oleh pengikut agama yang malas dan takut menggunakan pikiran dalam memahami teks suci. Ada pula interpretasi apologetis, yaitu pemaknaan atas kitab suci dengan mengunggulkan kelompok sendiri. Eksklusif, yaitu pemaknaan atas kitab suci secara tertutup dan mengambil jarak dari realitas sosial yang beragam. Kalau kita cermati bentuk interpretasi teks keberagamaan di atas didorong oleh egoisme penafsir dan Poor understanding of others.

Produk salah tafsir atas kitab suci yang demikian menumbuhkan tindakan sosial yang kurang bersahabat. Tindakan-tindakan itu berwujud intoleransi, prejudice, dan diskriminasi keagamaan. Dalam tiga bentuk tindakan ini egoisme tafsir keagamaan terus direproduksi dan menampak dalam kehiduapn sosial sehari-sehari. Kehidupan antarumat beragama menjadi tidak tenang karena dihantui oleh bayang-bayang konflik. Ketakutan (alkhauf) dan saling curiga menjadi dasar pergaulan sosial. Akibatnya kehidupan sosial keseharian menjadi pengap.

Tindakan tindakan yang menjiwai pergaulan antaragama di atas menyebar dalam ruang apa yang disebut dengan global inequality (ketidaksetaraan global di mana negara adidaya menguasai sekian besar kekayaan dunia), local injustice (ketidakadilan di tingkat lokal atau di internal suatu negara yang ketimpangannya luar biasa), dan social structure (sturuktur sosial di mana distribusi kekuasaan dan wewenang tidak berjalan sebagaimana semestinya). Dalam kondisi dunia yang demikian intoleransi dan tindakan-tindakan yang nir-empati itu terus bertahan dan menyebar luas.

Akumulasi dari semua keadaan ini kemudian meledak dalam bentuk radikalisme (paham-paham yang menginginkan pembaharuan sistem secara menyeluruh berdasar pemahaman keagamaan tertentu), ekstremisme (tindakan dan gerakan intoleransi yang bersifat sporadis), dan terorisme (perbuatan ancaman dan kekerasan yang dilakukan dan dipersiapkan secara terorganisir). Terorisme ini telah menghantui kehidupan bersama. Kasus-kasus terorisme belakangan menggegerkan dunia, termasuk di dalam negeri Indonesia sendiri karena menyasar rumah ibadah agama tertentu.

Harus diakui bahwa ada konstruksi yang berbeda antara agama satu dengan agama yang lain. Metodologi memahami teks pun tidak sama. Begitu juga hasil interpretasi teks juga tidak sama. Konteks historis teks-teks keagamaan juga berbeda satu dengan yang lain. Namun demikian, benang merah dan relevansi makna teks pada kehidupan sosial demi pergaulan bersama dalam masyarakat beragam bukan tidak mungkin dikonstruksi. Benang merah teologi di mana posisi manusia sebagai hamba Tuhan yang setara di hadapan sang adikodrati tak pernah dieksplorasi secara mendalam. Rumah bersama bernama religiusitas di antara agama-agama partikular belum juga ditonjolkan dalam tafsir-tafsir teks keagamaan.

Jika manusia menurunkan egoismenya lalu menafsirkan teks suci yang relevan bagi kehidupan bersama maka umat beragama menghadapi apa yang disebut dengan proses transformasi agama oleh masyarakat dan proses transformasi masyarakat oleh agama. Pemahaman ini tidak berarti dan bermaksud untuk mendekatkan agama-agama secara netral, sebaliknya akan menyadarkan kita semua pada akar-akar keyakinan teologis dari agama yang ada agar bisa tetap membuka diri dan tetap menaruh perhatian pada persoalan kemanusiaan. Selain itu agar terbuka pula kemungkinan untuk memahami bagaimana agama berperan dalam  merumuskan dan menjawab persoalan manusia di masa mendatang. Dengan demikian toleransi keagamaan menjadi strategi dalam mencairkan segala sesuatu yang menggumpal dan membeku.

Selain membuka diri pada kemungkinan penafsiran yang lebih humble pada teks suci, juga perlu melakukan dialog aksi yang lebih konkret. Dengan cara yang demikian sesuatu yang mengumpal dan membeku dalam pergaulan antaragama itu dapat mencair. Tawaran Ignatius L Madya Utama (2001) patut dipertimbangkan; Pertama, dialog kehidupan, di mana orang berjuang untuk hidup dalam semangat keterbukaan dan bertetangga. Dalam konteks ini manusia beragama saling membagi pengalaman kegembiraan dan kedukaan, permasalahan-permasalahan serta keprihatinan-keprihatinan manusia.

Kedua, dialog tindakan, di mana orang-orang beragama satu sama lain saling bekerja sama bagi terwujudnya kemajuan dan pembebasan secara utuh. Ketiga, dialog pengalaman religius, di mana orang-orang yang berakar pada tradisi keagamaan mereka masing-masing berbagi kekayaan rohani mereka. Misalnya hal-hal yang berhubungan dengan do’a dan kontemplasi, iman, dan cara-cara mencari Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Keempat, dialog dalam pembicaraan teologis, di mana para spesialis berusaha memperdalam pemahaman mereka mengenai warisan-warisan religius mereka, serta saling menghargai nilai-nilai kerohanian yang dimiliki oleh masing-masing pihak.

Diana L. Eck dalam tulisannya “Is Our God Listening?: Eksklusivist, Inklusivist and Pluralism” (2005) mengatakan bahwa isolasi dan dogmatisasi dari eksklusivis tidak terbuka pada dialog. Kalaupun terbuka, ia tidak terbuka dan mendengar pada apa yang disebut dengan self understanding atau saling memahami kepada yang lain. Padahal, dasar dari dialog keagamaan ini adalah ada sesuatu yang harus kita ketahui di antara kita sendiri dan kepada yang lain.

Masuk dalam sebuah dialog bukan berarti kita bermimpi bahwa kita semua akan setuju pada kebenaran masing-masing atau kita melakukan dialog antaragama tidak untuk membuat persetujuan, tetapi untuk membuat relasi atau hubungan yang murni dan sesungguhnya. Bahkan, membuat persahabatan yang didasarkan pada saling mengerti dan memahami, bukan sebaliknya.

Proses saling menyapa antara umat beragama dalam suasana cair dan bersahabat akan mengantarkan kita pada pencarian kebenaran dan transformasi kehidupan bersama yang lebih indah. Dalam suasana itu umat agama satu sama lain memahami kebenarannya masing-masing tanpa harus saling menjatuhkan. Dengan demikian, apa yang disebut dengan mutual understanding mengarah pada cooperative transformation demi kehidupan bersama yang harmoni, tenang dan damai. Yang susah adalah jika kita dari awal tidak mau menerima kenyataan akan keberbedaan ini sehingga transformasi sosial bersama bagi kehidupan umat beragama susah dicapai.

Pertanyaannya apakah toleransi keberagamaan bagi transformasi sosial memungkinkan untuk dicapai? Jawaban tegas yang bisa diberikan adalah ia sangat mungkin dan optimis tercapai. Saat ini telah berdiri perguruan tinggi pelopor yang bergerak dalam proses membangun toleransi keberagamaan bagi transformasi sosial. Sebut saja UKDW, UKSW, UIN Yogyakarta dan PTKIN yang lain, Paramadina dan perguruan tinggi berbasis agama. Begitu juga lembaga-lembaga, NGO-NGO yang bergerak dalam dialog agama.

Sebutnya JIL (Jaringan Islam Liberal)-terlepas dari berbagai kontroversi yang mengitarinya, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Foundation (TWF), Ma’arif Institute for Cultural and Humanity, dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) NU, serta Kajian Islam dan Sosial (LKiS) hingga Jaringan GUSDURian. Paling tidak lembaga-lembaga ini mewakili kelompok pluralis dan progresif.

Selain itu, ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama telah memprakarsai transformasi sosial keberagamaan secara lebih intensif. Dalam konteks ini nasib toleransi keberagamaan ke depan akan semakin cerah. Gerakan religion and peacebuilding begitu intensif dilakukan baik dalam konteks pemahaman dan tafsir keagamaan, diseminasi penelitian terkait moderasi keberagamaan sudah mulai digalakkan.

Fikih baru yang mengatur hubungan kemanusiaan juga sudah begitu tampak, sebut saja hak asasi manusia, etika hubungan internasional dan berbagai perjanjian hubungan yang baik telah dilakukan. Dalam Islam sendiri sudah muncul fiqh al-aqaliyyât atau fikih minoritas yang lebih responsif dan akomodatif. Semua ini yang akan mengarahkan masa depan toleransi keagamaan bagi kemanusiaan di masa yang akan datang.

(Artikel ini adalah hasil kerja sama arrahim.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama)

Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.