Cantik yang Distandarisasi dan Hilangnya Toleransi

Setiap hal memiliki standarnya sendiri-sendiri, bergantung tolok ukur yang digunakan ⸻entah karena disepakati atau sesuai selera pribadi. Termasuk dalam urusan kecantikan perempuan, meskipun sebagian orang menyebut cantik itu relatif. Serelatifnya kecantikan, tetap saja ia dibatasi oleh standar-standar yang berlaku secara luas maupun yang berlaku secara terbatas. Sebutan relatif muncul karena selera, sedangkan setiap selera lagi-lagi dibatasi oleh standar. Menariknya lagi, standar ini terus berubah sepanjang perjalanan zaman. Di era prasejarah, standar cantik adalah adalah perempuan yang “subur”. Maksudnya, perempuan yang dianggap cantik di zaman prasejarah adalah perempuan yang bagian badannya penuh dan besar. Hal ini ditandai dengan proporsi patung Venus yang lebih mempertontonkan bagian badan daripada kaki maupun kepala.

Memasuki tahun 1990-an, standar kecantikan mulai mengalami pergeseran. Dari penonjolan bagian badan yang padat berisi, beralih ke bagian tubuh yang ramping dan seksi. Senada dengan yang diungkapkan oleh Naomi Wolf (1991) dalam The Beauty Myth: How Images of Beauty are Used Againts Women, bahwa standar kecantikan perempuan pada tahun 1990-an adalah tubuh yang kurus. Lain lagi dengan standar kecantikan zaman sekarang yang lebih beragam, mulai dari hidung yang mancung; kulit yang putih bersih; hingga tubuh ideal yang dinamai dengan jargon body goals.

Baik zaman prasejarah; era 1990-an; hingga era kekinian, semuanya mengerucut pada satu simpulan, yakni cantik yang distandarisasi dengan tolok ukur yang pada hakikatnya ‘tak layak’ dijadikan patokan. Akibatnya, perempuan yang dianggap tidak memenuhi standar kerap kali mendapat cacian, hinaan, bahkan makian. Lagi-lagi masalah klasik terulang lagi: krisis toleransi. Ada sikap diskriminatif terhadap perempuan gara-gara standarisasi kecantikan. Tak jarang ditemui terjadi perbedaan ungkapan kemarahan kepada yang memenuhi standar kecantikan dengan yang kurang/tidak memenuhi standar tersebut. Ada kesan mudah memaafkan jika yang berbuat salah adalah pihak yang memenuhi standar, sedangkan kepada pihak yang belum/tidak memenuhi standar, memuntahkan kemarahan yang kebablasan.

Sebenarnya masalah tersebut sederhana, tolok ukur yang digunakan untuk membentuk standar tak layak. Pertanyaan susulannya, tolok ukur bagaimana yang layak untuk dijadikan standar?

Ihwal Tolok Ukur Kecantikan

Sebagaimana disebutkan sejak awal bahwa setiap hal memiliki standarnya sendiri-sendiri, seperti standar malam adalah tenggelamnya matahari dan standar pagi adalah terbitnya matahari. Tolok ukur tenggelam atau terbitnya matahari terasa layak dijadikan standar karena antara tolok ukur dan yang diukur memiliki kesesuaian. Yang dijadikan tolok ukur adalah hal yang tidak bisa diubah manusia (terbit dan tenggelamnya matahari) dan yang diukur (malam maupun siang) juga hal yang tidak bisa diatur oleh manusia alias sudah menjadi ketetapan Tuhan.

Berbeda dengan kecantikan⸻sebagai hal yang diukur⸻yang dinilai dengan tolok ukur badan yang berisi, tubuh yang ramping, kulit yang putih, atau hidung yang mancung. Kecantikan dan segala tolok ukur yang telah disebut tersebut tidak memiliki kesesuaian. Kecantikan adalah perspektif buatan manusia sendiri (oleh sebab itu cantik itu relatif, karena penilaian manusia sendiri), bukan ciptaan Tuhan yang serba pasti. Sementara tolok ukur yang berlaku (seperti kulit putih bersih dan hidung mancung) adalah ciptaan Tuhan yang ditakdirkan oleh-Nya sejak manusia lahir untuk hidup di bumi. Oleh sebab itu, menjadikan kulit putih atau hidung mancung sebagai tolok ukur kecantikan adalah hal yang tidak layak sama sekali. Hal ini sama saja menghina ciptaan Tuhan yang tidak sesuai dengan tolok ukur.

Jika ingin mencari tolok ukur yang layak untuk standar kecantikan, maka sudah semestinya menggunakan kriteria yang juga bisa diubah (bergantung niat dan usaha) oleh manusia, bukan takdir yang sudah paten. Sebut saja seperti rajin/malas dalam menjalankan kewajiban, bertanggung jawab/tidak atas pilihan, atau peduli/tidak terhadap siapa pun yang membutuhkan bantuan. Kriteria-kriteria inilah yang seharusnya dijadikan tolok ukur kecantikan, karena siapa pun bisa belajar untuk bertanggung jawab (meskipun sebelumnya tidak bisa); siapa pun juga bisa berusaha menjadi rajin untuk meninggalkan kemalasan; dan siapa pun bisa membenahi diri untuk lebih peduli terhadap orang-orang butuh pertolongan, karena bagi seseorang yang ingin mengubah diri (karena belum memenuhi kriteria itu) sama saja dengan mencari kebahagiaan dengan cara penyiksaan. Tak terhitung banyak perempuan yang menyiksa diri dengan diet ketat demi mendapatkan tubuh ramping memesona.

Akhir kata, standar yang paling layak menurut hemat saya adalah setiap perempuan itu cantik dengan kelebihan serta kekurangan yang berbeda-beda. Satu-satunya yang membuat kadar kecantikan perempuan bertambah/berkurang adalah kriteria-kriteria yang berwujud sikap mulia/hina yang bisa diubah oleh manusia seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Mengamini ungkapan Sokrates, bahwa siapa pun yang menikah dengan istri yang baik, ia akan bahagia dan siapa pun yang menikah dengan istri yang tidak baik, ia akan menjadi seorang filsuf. Agaknya Sokrates ingin menyadarkan kita, bahwa entah cantik-baik atau tidak, keberadaan perempuan merupakan anugerah bagi laki-laki ⸻tanpa perlu distandarisasi dengan sesuatu yang bernama ‘cantik’.

(Artikel ini adalah hasil kerja sama neswa.id dengan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama)

Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya sekaligus penulis buku ‘Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia’.