Beberapa tahun lalu, tepatnya pada tahun 2003 ketika duduk di bangku kelas 3 SMA, nama Gus Dur sangat menancap di pikiran saya. Bukan sebagai tokoh guru bangsa atau kiai pesantren yang kharismatik, melainkan sebagai tokoh nasional yang kontroversial. Meskipun sejak SMP saya sudah dimasukkan pesantren oleh orang tua saya, sejak kecil hidup di lingkungan pesantren, tapi sosok Gus Dur sebagai “mujaddid” dalam kancah pemikiran Islam tidak begitu saya kenal, bahkan informan yang menceritakan nama Gus Dur kepada saya selalu informan yang anti-Gus Dur.
Bagaimana tidak demikian, ungkapan “Gus Dur itu orang ndak bener”, “dia sering ninggalin shalat”, “dia pro non-Muslim”, dan lain sebagainya, adalah sebagian dari sekian justifikasi informan anti-Gus Dur tersebut kepada saya yang masih saya ingat. Sebagai santri pas-pasan yang selalu ngaji fiqih ‘hitam-putih’ di pesantren kala itu saya selalu mengedepankan unen-unen: siapa pun (termasuk putra kiai) kalo ndak bener, ya ndak bener, kalau nglakuin dosa ya tetep dosa. Walhasil, saat itu saya selalu gagal menemukan kebaikan Gus Dur apalagi kontribusi Gus Dur pada bangsa ini.
Usai lulus dari pesantren, pengetahuan dan perkenalan saya dengan sosok Gus Dur (tentunya melalui membaca beberapa karyanya) semakin intens. Saya mulai heran, ini orang hebat, ini keren, ini orang tidak sembarangan, dan sebagainya. Cara unik dan cepat untuk membaca pemikiran Gus Dur adalah dengan membaca buku Sekedar Mendahului Gus Dur (2010). Buku ini merupakan kumpulan kata pengantar yang ditulis Gus Dur untuk sekian buku karya aneka ragam penulis dari berbagai disiplin keilmuan. Di buku tersebut ada 35 kata pengantar Gus Dur mulai soal humor, politik, NU, keislaman, sosial-budaya, bahkan ekonomi. Dari buku kumpulan kata pengantar yang ditulis oleh Gus Dur inilah kemudian saya semakin yakin bahwa Gus Dur adalah orang yang multitalenta, dan menguasai banyak ilmu pengetahuan.
Proses perkenalan selanjutnya adalah saat ada teman “bakul buku lawas” yang iming-iming pada saya kumpulan tulisan Gus Dur di majalah Prisma tahun 70 dan 80-an. Setelah membaca beberapa tulisan, apa yang menjadi keganjalan dan unek-unek saya pada sosok Gus Dur terjawab. Saya sempat geleng-geleng dan bergumam dalam hati, ini orang yang (istilah Buya Husein Muhammad) “pemikirannya melampaui zamannya”. Saya baru sadar bahwa apa yang dulu saya sangkakan kepada sosok Gus Dur selain salah besar juga ngawur. Beberapa waktu lalu, ada peneliti yang mengungkapkan secara sederhana, bahwa ‘jurus’ yang selalu digunakan Gus Dur dalam bersikap setidaknya ada tiga; keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Saya sangat mengamini dan mengimani hasil penelitian ini.
Pada aspek keislaman, Gus Dur merupakan sosok cendekiawan yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama, tentu akan selalu memperjuangkan fikrah nahdliyyah, tasamuhiyah, tathawwuriyah, dan manhajiyah (moderat, toleran, proporsional, seimbang, toleran, reformatif, dinamis, dan metodologis) sesuai dengan manhaj yang ditetapkan NU.
Pada aspek keindonesiaan, Gus Dur mengikuti sikap NU yang menjadikan NKRI sebagai bentuk final bernegara Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara serta konsesnsus persaudaraan sebangsa-setanah air. Gus Dur meletakkan persaudaraan ini sebagai sebuah sikap yang jelas di tengah pluralisme dan multikulturalisme Indonesia.
Parameter kemanusiaan digunakan Gus Dur saat beliau menampilkan diri sebagai seorang guru bangsa. Ketika banyak orang, baik artis, orang biasa, atau kelompok minoritas, seperti jemaat Ahmadiyah, Sunda Wiwitan, dan sebagainya curhat meminta perlindungan karena merasa dizalimi, Gus Dur selalu terbuka dan pantang menolak segala bentuk permintaan itu. Risiko serangan berupa cibiran, bahkan dari saudara Muslim sendiri, beliau respons dengan santai dan berseloroh “gitu aja kok repot”. Sisi lain yang selalu saya temukan dari sosok Gus Dur adalah la khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun (tidak pernah takut dan khawatir juga sedih) dalam membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Penggalan ayat itu di dalam Al-Qur’an merupakan sifat para kekasih Tuhan, dan saya sangat yakin Gus Dur salah satu dari sekian kekasih-Nya.
Tulisan ini akan saya tutup dengan mengutip sebuah pengantar resensi buku “Benarkah Gus Dur Waliyullah?” yang ditulis oleh teman saya dan dimuat di NU Online beberapa tahun lalu;
“Sebagai sebuah teks, Gus Dur telah selesai ditulis bersama takdirnya, tapi ia belum selesai dibaca. Ia adalah korpus terbuka yang bisa ditafsirkan dengan beragam sudut pandang. Pula, ia dicela dan semakin dicinta dengan banyak cara. Demikianlah, Gus Dur selalu membuat pelbagai kemungkinan untuk “di” karena sejak sosok ini hidup ia adalah subjek sekaligus objek. Gus Dur merupakan unfinished text yang belum tamat, Gus Dur akan selalu menjadi “objek” yang pernak-perniknya (pribadi dan gagasannya) selalu dielaborasi, dikritisi, dan direkonstruksi oleh para penulis yang bertindak sebagai ‘subjek’.”
_____________
Artikel ini adalah hasil kerja sama NU Online dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama