Rindu Gus Dur yang Akhirnya…

Jangankan kawan-kawan, bahkan Mbak Alissa Q. Wahid saja gak percaya bahwa aku belum pernah ke rumah Gus Dur di Ciganjur. Tentu saja itu terdengar aneh. setidaknya melihat kedekatanku dengan putri-putri Gus Dur dan para dedengkot GUSDURian, baik sebelum istilah itu dipakai sebagai nama-diri bagi jaringan para pecinta dan pelanjut perjuangan Gus Dur maupun ketika nama itu masih menjadi istilah generik.

Apalagi para GUSDURian junior sudah biasa sritha-srithi ke Ciganjur. Aku yang sejak akhir rejim Orde Baru sudah di tahap akhir kuliah S-1 tentu saat ini dianggap senior. Para aktivis-pengagum Gus Dur seusiaku bisa merasakan langsung bagaimana Gus Dur mendidik kami, menumbuhkan nalar kritis, menyemai kesadaran perlawanan, dan pembelaan terhadap kaum mustadh’afin. Karena itu, maka di berbagai acara GUSDURian yang diselenggarakan para junior itu, kami-kami sering didapuk menjadi narasumber comotan-gratisan untuk menjelaskan pikiran-pikiran Gus Dur.

Maka, terdengar aneh ketika aku mengatakan tidak tahu bagaimana bentuk rumah Gus Dur di Ciganjur, bagaimana auranya, lay out halaman dan terasnya, hiasan ruang tamunya, karena memang belum pernah menginjakkan kaki bahkan sekedar mendekati pintu pagarnya.

Di tahun 2019, menjelang Haul Gus Dur ke-10, aku memiliki kerinduan yang sangat dalam ke Gus Dur. Dalaaaam banget, sampai aku merasa aneh, kenapa bisa merinduinya seperti ini. Tapi aku tetap tak membuat keputusan untuk berangkat ke Ciganjur menghadiri haulnya. Banyak alasan mengapa tidak berangkat, sekalipun kalau dinyatakan, pasti banyak kawan yang merespons: “Halah… alasan!”

Salah satu alasannya adalah karena sampai tanggal 25 Desember, aku masih dengan Mbak Alissa dan beberapa kawan lain workshop di Jakarta. Sedang haulnya tanggal 28/29 Desember. Pilihannya adalah mengeksten sambil nggelandang di Jakarta menunggu haul atau balik ke Surabaya dan tidak ikut haul. Padahal, aku rindu banget ingin menjumpai Gus Dur. Aku memutuskan balik ke Surabaya sambil menghibur hati bahwa insya Allah kerinduan ini tetap tersambung kepada sang junjungan sekalipun aku tak bisa sowan.

Tapi rupanya Gus Dur tahu betapa rindunya aku. Dia “memanggilku”. Pulang dari Jakarta, malam itu datang sebuah undangan, yang mana undangan itu mewajibkan aku harus kembali terbang ke Jakarta untuk sebuah acara yang jadwalnya seakan-akan sudah diatur sedekian rupa sehingga aku bisa ke Ciganjur saat haul.

Akhirnya, malam itu aku sowan ke rumah Gus Dur di Ciganjur. Menghadiri haulnya. Hingga saat ini, itulah pengalaman satu-satunya aku datang ke rumah Ciganjur.

Pengalaman malam itu agak sedikit memalukan. Karena halaman rumah terbatas, maka tamu yang bisa masuk ke dalam dibatasi. Hanya tamu yang membawa undangan saja yang bisa masuk. Lha terus aku yo opo jal? Masak senior GUSDURian keleleran di luar gak bisa masuk saat acara Haul Gus Dur. Apa kata dunia?

Akhirnya, seorang junior yang menjadi panitia menyelematkanku. Begitu tahu aku mbambung di dekat pintu masuk, dia kemudian mencarikan keplek bertuliskan “AMONG TAMU”. Begitu keplek menggantung di leherku, aku sah menjadi panitia yang leluasa keluar masuk.

Aku langsung masuk ke dalam halaman yang penuh sesak dengan para tamu yang sebagian duduk di kursi, sebagian lesehan berdesakan di atas tikar. Aku mencari tempat agak mojok. Ndelalah aku dapat tempat tepat di samping patung Gus “Buddha-Tidur” Dur. Aku diam saja di situ sambil memaknai kehadiranku sebagai perjalanan yang telah “ditakdirkan”. Inilah rindu yang berujung dengan pertemuan itu. Syahdu! Romantis!

Tapi kesyahduan itu rupanya tidak berlangsung lama. Kembali para junior “dengan penuh kesopanan bercampur kekurangajaran” mengusikku. Aku diseret ke dalam untuk bergabung dengan para Among Tamu sungguhan yang adalah sahabat-sahabat GUSDURian. Akhirnya, aku “pamit” ke Gus Dur untuk kembali ke dunia nyata bersama kawan-kawan. Di belakang panggung rokok-rokok, makan-makan, ngopi-ngopi dan nyamperin Kartolo yang malam itu mengisi jula-juli Suroboyoan di acara haul seorang kiai-budayawan.

Besoknya, aku kembali ke Surabaya. Untuk menyempurnakan rindu, aku melanjutkan ziarah ke makam sang junjungan di Jombang. Aku tahu, malam hari makam itu tertutup untuk pengunjung luar. Aku menyengaja diri untuk terkunci di dalam. Aku bercengkerama bersamanya hingga fajar menjelang.

_____________

Tulisan ini dimuat pertama kali di akun Facebook penulis: Ahmad Inung

Dewan Pakar Jaringan GUSDURian. Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI.