Peringati Haul Gus Dur ke-12, GUSDURian Jogja Adakan Napak Tilas Gus Dur di DED

Minggu, 23 Januari 2020 para peserta “Napak Tilas Gus Dur” melanjutkan kunjungannya ke Dinamika Edukasi Dasar (selanjutnya DED). Sesampainya di sana, terpampang sebuah lukisan Gus Dur, Romo Mangun, dan ada beberapa tokoh lain yang senapas perjuangannya.

Tempat ini cukup familiar namanya bagi penggemar Romo Mangun, sebab lembaga ini didirikan oleh beliau. Romo Mangun, sapaan akrab dari Alm. Rama Y.B Mangunwijaya memiliki dedikasi besar, khususnya di bidang pendidikan.

Secara legal formal, Dinamika Edukasi Dasar disahkan pada tanggal 4 Agustus 1989 dan terletak di Jl. Gejayan-Afandi Gang Kuwera, Mrican, No. 14, Sleman Santren, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta. Di tempat ini para peserta disambut hangat dengan pelbagai cerita yang cukup informatif tentang kisah Gus Dur yang memiliki hubungan dekat dengan Romo Mangun.

Berdirinya DED ini tidak terlepas dari kegelisahan Romo Mangun atas kondisi pendidikan di Indonesia, khususnya pada tingkat pendidikan dasar, di mana anak-anak dihadapkan pada dehumanisasi arus komersialisasi sekolah.

“Romo Mangun ingin mengangkat derajat anak-anak dari kalangan menengah ke bawah untuk mendapat pendidikan dan derajat yang sama,” Ucap Romo Edy, panggilan akrab dari Rm. Basilius Edy Wijayanto, Pr. dalam acara napak tilas tersebut.

Menurut Romo Edy, sepak terjang Romo Mangun dalam membela hak-hak orang kecil (wong cilik) terlihat pada pendampinganya kepada penduduk korban proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah serta penduduk miskin di pinggir Kali Code, Yogyakarta. Melalui latar belakang tersebut, Romo Mangun mendirikan sekolah yang diberi nama Sekolah Eksperimental yang memiliki visi pendidikan dasar yang memekarkan anak dalam kasih persaudaraan, eksploratif, kreatif, dan integral di masyarakat Pancasila.

Sosok Romo Mangun bernama lengkap Yusuf Bilyata Mangunwijaya. Ia lahir di Ambarawa, Jawa Tengah. Ia merupakan seorang Imam Gereja Katolik Roma, budayawan, penulis, arsitek, dan aktivis sosial. Kedekatannya dengan Gus Dur bisa dilihat dari anekdot-anekdot yang tercipta dan menunjukkan betapa dekatnya dua sahabat karib ini.

Perbedaan agama tidak lantas membuat persahabatannya semakin risau, sebab keduanya menyatu dalam dimensi Tuhan yang berbeda. Justru dengan adanya perbedaan itulah, lahir pemikiran dan gerakan yang memberikan makna pada kehidupan tentang persaudaraan antariman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

“Romo Mangun menulis buku berjudul Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak yang menggambarkan gagasannya tentang pembebasan dalam religiusitas. Gus Dur merespons baik adanya buku ini, bahkan Gus Dur memberikan kata pengantar dalam buku tersebut,” lanjut Romo Edy.

Tidak hanya Romo Edy, Mas Bin, sapaan akrab dari Adi Bintoro juga turut menjadi pembicara dalam kesempatan itu. Ia menjelaskan bahwa dalam buku tersebut, Gus Dur menuliskan keresahannya tentang paham dan penghayatan keagamaan masyarakat yang cenderung bersifat dikotomis, terkesan sempit, dan tidak terbuka atas keberagaman manusia. Padahal perbedaan itu tidak hanya terdapat dalam relasi antaragama, bahkan sesama pemeluk agama tertentu tidak akan terlepas dari apa yang disebut dengan perbedaan.

“Gus Dur dan Romo Mangun kiranya menjadi contoh yang perlu diteladani oleh anak muda, khususnya yang hadir pada saat ini. Bahwa perbedaan agama bukanlah halangan dalam merajut persaudaraan, pertemanan, bahkan untuk melakukan perjuangan demi masyarakat,” ucap Mas Bin.

Dalam kesempatan tersebut, para peserta belajar banyak tentang kedekatan Gus Dur dengan Romo Mangun. Perjuangan yang senapas, dengan gerakan-gerakan yang memberikan dampak menyeluruh kepada masyarakat, khususnya masyarakat kecil menjadi bukti bahwa Gus Dur dalam kehidupannya senantiasa berbaur dengan semua golongan, tanpa memandang agama.

Gus Dur dan Romo Mangunwijaya telah memberi pelajaran besar untuk generasi selanjutnya tentang menghargai sesama, berperan aktif dalam menyuarakan keadilan, meletakkan kepentingan bersama, dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan perbedaan antarumat manusia. Romo Mangun dengan politik hati nurani, sedangkan Gus Dur dengan sembilan nilai utamanya, menjadi pijakan kita untuk belajar agar bisa melihat orang lain sebagai manusia.

Nilai-nilai tersebut mampu menjadikan kita sebagai orang yang terus berani menyuarakan keadilan, berpihak pada kaum marjinal, dan lebih peka terhadap persoalan sosial yang begitu kompleks. Acara tersebut ditutup dengan foto bersama, serta dilanjutkan dengan Room Tour yang dipandu oleh Mas Ryan, Volunteer DED.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.