Privilese

Pukul empat pagi dalam kondisi kurang tidur, saya terkantuk-kantuk berdiri di antrean panjang validasi surat keterangan bebas Covid-19. Kala itu aplikasi Peduli Lindungi belum berfungsi, dan penumpang harus mendapatkan validasi yang distempel di hasil laboratorium. Butuh waktu cukup lama di antrean.

Tiba-tiba di barisan lain, saya melihat seorang laki-laki menerobos antrean dan membawa beberapa lembaran yang harus divalidasi. Saya menggerutu dalam hati, tidak berbuat apa-apa. Orang-orang di barisan tersebut tampak bersungut-sungut, tetapi tidak bertindak.

Selepas proses validasi selama sekitar 20 menit, saya antre di barisan masuk security area bandara di mana petugas keamanan meminta kita membuka masker sambil mencocokkan data di KTP. Hanya ada satu barisan sehingga proses pun berlangsung lamban.

Mendadak laki-laki yang sama muncul di ujung barisan, menerobos dari samping diikuti beberapa orang yang tampaknya pejabat. Kali ini, sebelum mereka sampai di titik saya menunggu, saya sengaja menggeser koper saya menutup jalan di samping barisan.

Ketika si laki-laki sampai di titik saya sambil setengah membentak, ”permisi!”, saya hanya menoleh sekilas sambil menjawab dengan nada datar, ”Maaf Pak, saya sudah mengantre sejak tadi. Saya keberatan Anda menyerobot saya. Silakan mundur ke belakang.”

Si lelaki bersiap untuk membantah, tetapi sang pejabat memilih untuk mundur. Mungkin menghindari video-video viral bila mereka memaksa dan saya melawan terbuka. Apesnya, orang-orang di belakang saya pun akhirnya bersuara, tidak mau diserobot. Walhasil, mereka terpaksa mundur panjang untuk bisa masuk dalam barisan antre. Orang-orang terus mengomel dengan suara cukup terdengar.

Belakangan saya tahu mereka adalah anggota parlemen yang hendak berangkat dengan pesawat menuju Indonesia Timur. Mereka pun menyerobot di antrean boarding dan tak ada orang yang menghentikan mereka.

Pengalaman diserobot makin lama makin sering saya alami. Bahkan, di antrean check-in kelas bisnis penerbangan yang lazimnya lebih hati-hati, hari-hari ini sangat sering kita harus bersabar menunggu protokol pejabat sipil maupun Polri-TNI menyerobot barisan antre untuk mengurus tiket penumpang-penumpang istimewanya. Demikian juga turun dari pesawat. Dulu, para penyambut menunggu di area luar. Makin ke sini, semakin banyak tim penyambut menunggu di depan belalai pesawat.

Soal antre dan sambutan di bandara ini hanya salah satu penanda sikap berhak privilese dari para pejabat kita. Tak jarang di jalan raya Ibu Kota kita bertemu dengan kendaraan-kendaraan yang tidak berpelat pejabat tinggi negara pun menggunakan sirene strobo di jalan raya, hanya karena ingin membuka jalan di tengah kemacetan.

Di Indonesia, agaknya banyak pejabat publik dan selebritas kita merasa bahwa jabatan dan status sosial sama dengan privilese yang melekat, bahkan di ruang publik. Jabatan menjadi gerbang untuk mendapatkan pelayanan ekstra, demikian juga dengan status sosial. Tentu saja, ini menciptakan banyak masalah budaya masyarakat.

Mark Cole dalam tulisannya, A Leaders Most Dangerous Thought (2019), menyatakan bahwa pikiran pemimpin yang paling berbahaya adalah pikiran ”I Deserve” alias ”saya berhak”. Walaupun posisi kepemimpinan memang membawa beberapa privilese yang layak dilekatkan, mental set berhak privilese ini akan memerangkap seorang pemimpin untuk menganggap dirinya sebagai orang yang paling tahu dan paling berkuasa.

Dan ketika ini terjadi pada pejabat publik, penyalahgunaan wewenang pun menjadi sangat mudah terjadi. Bahkan, hukum rembesan kepemimpinan (trickle down effect) pun akan berlaku: anak buah sang pemimpin pun akan menggunakan relasi kuasa dalam kesehariannya. Saya sering menemukan eselon 3 kementerian/lembaga yang sudah berlagak sebagai pejabat tinggi negara terhadap staf-stafnya, sesuai teladan atasan-atasannya. Contoh paling mudah adalah insiden-insiden satpol PP di berbagai daerah yang beringas menghadapi rakyat.

Cole mengingatkan, kepemimpinan adalah sebuah peran, bukan sebuah posisi. Dan kita bisa melihat para mantan pejabat yang mengandalkan kekuasaan dan privilese dari posisinya dulu, selepas hilangnya posisi justru mengalami sindrom sulit beradaptasi dengan gaya hidup rakyat biasa.

Sebagai kontras, banyak kisah terekam tentang Buya Syafii Maarif. Di usianya yang sudah sepuh, beliau menolak diperlakukan istimewa di mana pun dan berkeras mengikuti aturan, tetap antre menunggu giliran, baik di bandara, rumah sakit, maupun tempat umum lainnya. Karena integritas beliau, walaupun tidak memiliki jabatan atau posisi apa pun, masyarakat selalu menghormati beliau.

Lepas dari persoalan personal, budaya pejabat dengan mental set berhak privilese ini berdampak besar pada budaya masyarakat yang ada. Pendapat bahwa orang Indonesia sulit diatur tak lepas dari bagaimana para pejabat kita membengkokkan aturan atas dasar hak istimewa pejabat itu.

Dampaknya, peraturan menjadi hal yang tidak lagi mengatur, karena boleh dilanggar asal kita punya jabatan atau status sosial. Tak heran beredar video-video viral tentang pejabat atau selebritas yang terekam menuntut perlakuan istimewa dan tidak terima diperlakukan sebagaimana rakyat biasa. Kalimat sakti ”kamu tidak tahu saya siapa?” kerap kita temukan dalam video-video seperti ini.

Alhasil, kepercayaan publik terhadap aturan pun menjadi rendah. Humor klasik kita rupanya masih berlaku dalam kehidupan nyata: di Indonesia, segalanya bisa diatur. Apalagi punya jabatan dan status sosial.

________________

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 20 Februari 2022)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.