Dalam memperingati International Women’s Day yang jatuh pada 8 Maret 2022 lalu, GUSDURian Bandung menggelar bedah buku Gus Dur di Mata Perempuan. Buku ini merupakan antologi atau kumpulan tulisan tentang pandangan dan pengalaman perempuan terhadap sosok Gus Dur dan perjuangannya.
Sementara untuk pelaksaannya, acara bedah buku ini dilaksanakan pada 9 April 2022 di Aula PW JQH Jawa Barat. GUSDURian Bandung yang dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan Bumi Perempuan Nusantara mengundang tiga pembicara di acara ini. Di antaranya Prof. Dr. Hj Ulfiah sebagai Ketua PW ISNU Provinsi Jawa Barat, Lili Dwilisia, S.Pd sebagai Ketua Wanita Theravadha Indonesia Provinsi Jawa Barat, dan Neneng Yanti Khozanatulahpan, Ph.D dari PW Fatayat NU Provinsi Jawa Barat.
Prof. Dr Hj Ulfiah dalam buku Gus Dur di Mata Perempuan mengungkapkan tentang pembelaan Gus Dur terhadap kaum minoritas dan perempuan. Misalnya tidak usah diragukan lagi seperti pembelaan Gus Dur terhadap kesetaraan gender.
“Kepedulian Gus Dur pada kaum minoritas maupun pembelaannya terhadap perempuan tidak usah diragukan lagi. Bagi Gus Dur kesetaraan dalam kehidupan bukan hanya sekedar gaya hidup melainkan berangkat dari ruh hak asasi manusia yang sama. Oleh karena itu kesetaraan tidak hanya dalam hal relasi gender, akan tetapi kesetaraan di hadapan hukum, kesetaraan hak hidup dan seterusnya. Oleh karenanya, bagi beliau tidak sulit untuk memahami perjuangan menghadapi ketidakadilan gender,” sebut Profesor Ulfiah.
Hal senada juga disampaikan oleh Neneng Yanti. Menurutnya Gus Dur membicarakan kesetaraan bukan hanya sebatas wacana, konsep, dan definisi. Namun lebihnya Gus Dur memberikan contoh konkrit dalam segala aktivitasnya. Misalnya dalam cara Gus Dur berhubungan dengan keluarganya tanpa ada diskriminasi dan dominasi.
“Dukungan Gus Dur kepada kaum perempuan dimulai dari rumah dan keluarganya, yang beliau perluas menjadi dukungan pada perjuangan perempuan Indonesia pada umumnya. Misalnya, dukungan penuh beliau berikan kepada aktivis perempuan, termasuk pada istrinya, adik-adik perempuannya, putri-putrinya, dan para sahabatnya dengan segmen perjuangan mereka masing-masing,” ungkap Neneng.
Buku Gus Dur di Mata Perempuan ini menjadi bentuk refleksi tersendiri bagi Lili Dwilisa. Menurutnya, Gus Dur merupakan tokoh nasional yang sangat berperan penting dalam hubungan antarmasyarakat, agama, dan golongan. Terutama berbicara hubungan sosio-kultur yang mana pada masa Orde Baru perempuan tidak mempunyai ruang kebebasan berpikir dan berpendapat. Gus Dur sebagai agent of change, memberikan perubahan tentang pandangan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, tentang kebebasan berpikir dan berpendapat.
“Gus Dur adalah guru bangsa yang sudah mendedikasikan hidupnya bagi bangsa dan negara demi kemanusiaan dan keberagaman. Gus Dur dalam pandangan kami (Tionghoa) adalah pahlawan, bukan hanya sebagai bapak bangsa, tetapi juga sebagai bapak kemanusiaan dan toleransi budaya,” kata Lili Dwilisa
“Di sisi lain, Gus Dur merupakan pemimpin yang mampu mengubah keadaan dan mampu mewujudkan keinginan kaum minoritas. Etnis Tionghoa sudah lama menginginkan kebebasan dalam memeluk agama Konghucu dan merayakan Imlek. Etnis Tionghoa sudah lama menginginkan kebebasan dalam memeluk agama Konghucu dan merayakan Imlek,” tandasnya.