Rio Tuasikal, Project Multatuli
23 April 2022
Sabtu dini hari pada Ramadhan tahun 2017.
Seorang bocah laki-laki 10 tahun sedang tertidur pulas di lantai masjid Al Hidayah ketika tiba-tiba ada suara membangunkannya.
“Heh, bangun! Bangun!” seru seorang pria.
Iwan (bukan nama sebenarnya) perlahan membuka matanya. Ia melihat sosok berseragam. Petugas itu memaksanya bergegas keluar.
Masih separuh sadar, Iwan berjalan keluar. Yang ia lihat kemudian langsung membangunkannya.
Di luar, sejumlah petugas berseragam sedang adu mulut dengan sejumlah orang dewasa. Polisi bersikeras menyita CCTV milik masjid. Dini hari yang dingin itu pun memanas.
Iwan segera menyadari apa yang sedang terjadi. Sejak kecil ia sudah menyaksikannya berulang kali: Masjidnya disegel lagi.
***
Masjid Al Hidayah di Sawangan, Depok, berdiri sejak 1999 dan telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada 2007.
Selama belasan tahun berdiri, masjid ini menjadi lokasi kegiatan warga setempat. Lapangan terbuka yang ada di samping masjid, misalnya, kerap digunakan bocah bermain bola dan menggelar turnamen. Baik anak-anak Ahmadiyah maupun bukan, tidak ada yang mempermasalahkan keyakinan. Semua hanya fokus menjadi juara.
Namun kebersamaan itu berubah drastis pada tahun 2011 ketika Walikota Depok menerbitkan larangan kegiatan Ahmadiyah. Peraturan ini terbit menyusul Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 dan SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008, regulasi yang telah lebih dulu dikritik karena melanggar hak beribadah.
Tak lama, kelompok garis keras meminta masjid Al Hidayah ditutup. Pemerintah kota serta-merta menurutinya.
***
Iwan lahir pada 2007 ketika masjid mendapatkan IMB. Namun, masjid sudah disegel sejak dia baru menginjak usia 4 tahun. Sampai sekarang, dia sudah menyaksikan penyegelan setidaknya 8 kali sepanjang 2011-2021
Seperti Iwan, anak-anak Ahmadiyah lainnya masih terlalu belia untuk mengetahui apa itu Pergub dan SKB 3 Menteri. Mereka mungkin belum dapat mengeja diskriminasi.
Yang jelas, di mata mereka, mereka kehilangan teman-teman sepermainan sejak masjid disegel. Tidak lagi bisa belajar sholat dan mengaji. Tidak bisa main bulu tangkis di depannya. Tidak bisa main tenis meja. Masjid sepi.
Jauh dari sekadar tempat ibadah, masjid adalah tempat anak-anak ini belajar, berolahraga, mengembangkan hobi, dan membangun pertemanan. Namun, masjid telah direbut dari mereka. Hari-hari menyenangkan itu sirna.
Mengenang Masjid
Lantas, bagaimana anak-anak Ahmadiyah mengenang masjid mereka?
“Ya itu pas dibangunin Satpol PP, hahahaha…” ujar Iwan saat ditanya pengalaman paling berkesan di masjid.
Namun ia buru-buru meralat. Iwan memilih kenangan manis: bermain bulu tangkis.
“Saya ingin jadi pemain bulu tangkis, skala internasional.”
Menurutnya, turnamen bulu tangkis dulu rutin digelar di masjid.
Sama seperti Iwan, Rudi (bukan nama sebenarnya) juga mengenang masjid ketika dia bisa bermain tenis meja dengan teman-teman.
“Sering sih main, bisa setiap hari. Kalau tempatnya sih paling di depan masjid. Kadang-kadang bareng teman, kadang teman dari luar masjid, kadang teman dari sekolah.”
Ia bahkan menyabet titel juara 3 ketika mewakili masjid Al Hidayah dalam pertandingan tenis meja di DKI Jakarta.
Lain halnya dengan Indra (bukan nama sebenarnya) yang gemar belajar dan mengikuti madrasah. Madrasah adalah sekolah keagamaan yang diadakan pada akhir pekan.
“Kita belajar ngaji, belajar pelajaran sekolah kayak membaca, menulis, Bahasa Inggris, matematika.”
Dia bercerita, madrasah adalah tempatnya bertemu teman-teman sebaya.
Sementara bagi Rizki (bukan nama sebenarnya), beristirahat di masjid adalah pengalaman paling berkesan.
“Suka tidur di masjid. Abis kegiatan abis sholat, atau abis madrasah, ikut beristirahat di masjid.”
Dampak pada Anak
Salah satu anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Depok, Mutia Shidiqqa Mukhsin mengatakan anak-anak harus menanggung beban stigma masyarakat.
“Kita keluar pagar masjid saja itu ada perasaan ‘ya Allah dilihatin orang’. Seolah-olah kami itu bersalah. Seolah-olah kami ini manusia yang kenapa gitu. Punya salah, punya dosa apa?”
“Mereka harusnya tidak mengalami hal seperti ini kan. Mereka harusnya bisa bermain, belajar, menikmati masa kanak-kanak mereka,” ujarnya lagi.
Sementara itu, Mubaligh JAI Depok, Abdul Hafidz, menceritakan rentetan peristiwa penyegelan telah membekas di hati anak-anak yang kini tumbuh dewasa. Tak sedikit dari anak-anak itu yang sering mempertanyakan kesalahan mereka sehingga masjid harus disegel.
“ ‘Memang dosa kita apa? Kan kita sholat, kita bayar infaq, kita puasa, kan kita sama saja?’ Mereka bertanya karena polisi datang. Anak anak kan menangkapnya ada sesuatu yang jahat di kami karena polisi datang.”
Abdul berharap anak-anak Ahmadiyah bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Namun dia melihat bagaimanapun juga masa kecil mereka telah direnggut.
“Ketika itu terjadi terulang, masih ada tindakan-tindakan diskriminatif. Masih ada persekusi terhadap Jemaah Ahmadiyah di Depok. Masih terus pemerintah melakukan seperti itu. Kami rasa mereka telah berdosa kepada anak-anak. Mereka sudah menanamkan pengalaman-pengalaman buruk untuk anak-anak.”
Peristiwa diskriminasi semacam itu akan mengganggu perkembangan anak, ujar Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti.
“Anak-anak tersebut bisa saja mengalami rasa takut dan cemas, tak percaya diri, dan lain-lain ketika berada di luar komunitasnya,” ujarnya seraya menegaskan keprihatinannya atas kejadian yang menimpa anak-anak Ahmadiyah sejak 2011 tersebut.
Peristiwa itu, tambah Retno, bahkan bisa memicu trauma pada anak. Jika ditemukan trauma, maka penting bagi anak-anak ini untuk mendapatkan pemulihan supaya tidak mengganggu proses tumbuh kembangnya.
“Bahkan bisa saja anak-anak tersebut menyimpan dendam dan kemarahan atas kejadian yang menimpa mereka,” paparnya.
Editor: Alex Sastro
Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.