Refleksi Pengalaman Bertoleransi dalam Jambore Pemuda Lintas Agama di Pasuruan

Sejak tahun 2019, Pemerintah Kabupaten Pasuruan merilis Indeks Kesalehan Sosial (IKS). IKS itu dihitung melalui dimensi kepedulian sosial dan dimensi kepedulian lingkungan. Skor IKS tersebut terus meningkat. Tahun 2019 sebesar 72,1. Menjadi 76,6 di tahun 2020. Kemudian meningkat menjadi 78.0 di tahun 2021.

Meski demikian, terdapat beberapa subdimensi dari kedua dimensi di atas yang memiliki skor rendah dan mengalami penurunan. Tahun 2021, subdimensi toleransi kelompok (dimensi kepedulian sosial) mengalami penurunan. Dari skor 7,2 di tahun 2020 menjadi 6,6. Sedangkan subdimensi pengelolaan sampah (dimensi kepedulian lingkungan), mengalami penurunan dari skor 5,8 di tahun 2020 menjadi 5,6 di tahun 2021.

Terdapat dua indikator yang membuat skor nilai rendah dalam subdimensi toleransi. Yakni indikator kebersediaan dibangunnya tempat ibadah agama lain dengan skor 29,78 dan indikator kebersediaan diselenggarakannya kegiatan agama lain di sekitar tempat tinggal dengan skor 41,60.

Berdasar hal itu, masyarakat Pasuruan memiliki persepktif pseudo-inklusif dalam hal sikap berkemanusiaan dalam batas agama. Yakni ada kecenderungan untuk membedakan perlakuan secara eksklusif atau secara inklusif terkait interaksi di antara manusia ketika interaksi tersebut juga berurusan dengan agama. (Makhfud Syawaludin, 2020).

Sedangkan indikator yang membuat skor nilai rendah dalam subdimensi pengelolaan sampah adalah indikator pemilahan sampah rumah tangga yang mendapatkan skor hanya mencapai 10,13. Penulis yakin, semua agama mengajarkan menjaga lingkungan. Islam misalnya, telah menambahkan menjaga lingkungan (hifdzul-biáh) dalam tujuan umum pemberlakukan hukum Islam (maqasid as-syariah). Bahkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara khusus telah menerbitkan buku Fiqih Penanggulangan Sampah Plastik.

Oleh karenanya, Gerakan Moderasi Beragama patut untuk terus dilakukan. Dengan catatan, dilakukan penguatan dan penambahan indikator dalam konsep moderasi beragama tersebut. Sebab, dalam buku Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), dijelaskan bahwa indikator moderasi beragama hanya meliputi 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti-kekerasan; dan 4) akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Pertama, penguatan indikator moderasi beragama pada indikator toleransi. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Moderasi Beragama Kemenang RI, bahwa toleransi beragama yang menjadi tekanan adalah toleransi antaragama dan toleransi intraagama, baik terkait dengan toleransi sosial maupun politik. Dengan melalui relasi antaragama, kita dapat melihat sikap pada pemeluk agama lain, kesediaan berdialog, bekerja sama, pendirian tempat ibadah, serta pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama lain.

Kaitannya dengan pendirian rumah ibadah, perlu dilakukan kajian ulang terkait Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 6 Tahun 2006 Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Terlepas dari sisi positif peraturan itu di sisi pemenuhan legalitas tanah dan bangunan rumah ibadah, dalam praktiknya membuka sisi negatif terkait sulitnya pemeluk agama minoritas di beberapa daerah dalam membangun rumah ibadah. Dimulai dengan adanya minimal 90 orang pengguna rumah ibadah. Selanjutnya harus mendapatkan dukungan sedikitnya 60 orang warga sekitar. Lebih-lebih, cukup banyak masyarakat yang memiliki kecenderungan menolak dibangunnya rumah ibadah agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.

Kedua, dilakukan penambahan indikator kepedulian lingkungan dalam indikator moderasi beragama. Sehingga, ajaran agama terkait kepedulian menjaga lingkungan dapat menjadi aktivitas sehari-hari sebagaimana beragama ritual. Sehingga, ketika tidak melakukan pemilahan sampah organik dan anorganik, terasa seperti sedang tidak melakukan ibadah salat lima waktu bagi umat Islam misalnya.

Dua pemuda yang berbeda agama sedang berdoa agar hujan reda.

Setidaknya, itulah yang penulis rencanakan akan sampaikan saat menjadi salah satu pembicara dalam kegiatan Jambore Kemah Bhakti Pemuda Lintas Agama oleh Forum Pemuda Kerukunan Lintas Agama (FORKUGAMA) dan Forum Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Pasuruan di Lapangan Ledok, Desa Tosari Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Kamis-Sabtu (16-19/06/2022).

Karena adanya problem teknis di lokasi, penulis hanya menyampaikan provokasi terhadap peserta kegiatan. “Saya tidak yakin, hanya dalam dua malam di kegiatan ini, kalian semuanya dapat akrab di antara peserta yang berlatarbelakang lintas agama, lintas etnis, dan lintas organisasi ini. Maka, setelah kegiatan ini, bisa bergabung dengan Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan. Lihat dan ikuti Instagram @gusdurian_pasuruan.”

Faktanya, ada sebagian peserta menjadi akrab dan mendapatkan pengalaman yang berharga kaitannya dengan aktivitas bersama dengan lintas agama, lintas etnis, dan lintas organisasi. Sebagaimana yang diceritakan oleh Muhammad Fahrizal Yusuf, penggerak KGSKR GUSDURian yang menjadi peserta dalam kegiatan tersebut. Ia menjumpai peserta yang beragama Islam dan Kristen, duduk bersama dan berdoa dengan caranya masing-masing agar hujan segera reda, sehingga kegiatan bakti sosial bisa dilanjutkan.

Komentar penulis sederhana, “Jangan puas. Sekali lagi, jangan puas. Sebab, pengalaman bertoleransi itu harus terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat Indonesia adalah negara yang multikultural dan sedang mengalami berbagai macam tantangan dengan pluralitas budaya, etnis, agama, dan bahasa yang dimilikinya tersebut.”

Untuk diketahui, dalam kegiatan Jambore Kemah Bhakti Pemuda Lintas Agama itu dilakukan peresmian Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan sebagai Kecamatan Bhinneka Tunggal Ika oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut). Kemudian diresmikan pula Desa Ngadiwono sebagai Desa Sadar Kerukunan Umat Beragama serta Masjid Pancasila di Dusun Banyumeneng, Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari.

Koordinator Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan. Dosen UNU Pasuruan. Ketua LTNNU PCNU Kabupaten Pasuruan.