Berani Merayakan Keberagaman

Workshop Pengelolaan Keberagaman yang digelar Jaringan GUSDURian dan Yayasan Bani Abdurrahman Wahid dapat dibilang merupakan kegiatan penting dalam merawat pemikiran Gus Dur. Selama tiga hari pelaksanaan (25-26 Juni) para peserta belajar bahwa untuk merayakan keberagaman, pikiran dan hati yang terbuka tidaklah cukup, seseorang juga harus berani melakukannya.

Pelatihan itu menyasar para pemimpin atau tokoh dari berbagai latar agama yang dianggap punya pengaruh di tengah-tengah masyarakat atau komunitasnya. Harapannya jelas: agar para peserta mendapat penguatan mental untuk merayakan keberagaman dan menyebarkan mental tersebut kepada kelompok dan jamaahnya masing-masing.

Salah satu kebijaksanaan yang coba diinternalisasikan dalam pelatihan tersebut adalah bahwa ada tiga masalah psikologis yang menghalangi diri kita menerima perbedaan: pikiran yang tertutup, hati yang tertutup, dan rasa takut. Halangan-halangan itu tentu harus disingkap agar diri kita sampai pada kutub sebaliknya: pikiran yang terbuka, hati yang terbuka, dan berani merayakan perbedaan.

Membuka pikiran dan hati tentu tidak mudah. Fanatisme golongan dan tinggal di lingkungan homogen boleh jadi di antara faktor-faktor yang membentuk pikiran dan hati yang tertutup. Tapi solusinya sudah ditemukan. Peningkatan literasi dan perjumpaan hangat dengan entitas-entitas masyarakat yang berbeda akan meluluhkan pikiran dan hati yang keras.

Namun setelah itu seseorang akan dihadapkan dengan masalah lainnya, yaitu berani mengekspresikan perayaannya terhadap keberagaman. Tidak sedikit orang yang pikiran dan hatinya telah terbuka, tapi belum tentu cukup berani berinteraksi, bekerja sama dan hidup berdampingan secara setara dengan kelompok yang berbeda.

Tekanan dari kelompok sendiri dan posisinya dalam kelompok kadang menghalangi seseorang untuk bersikap berani hidup dalam keberagaman. Inilah kiranya yang menjadi beban individu seorang pemimpin agama atau tokoh masyarakat yang telah memiliki pikiran dan hati yang terbuka. Bukan karena takut, tapi karena belum punya kesempatan yang tepat.

Untuk itu ia juga harus membangun kesempatan itu dengan membuka pikiran dan hati jamaah atau kelompok masyarakat yang ia ampu. Dan ini menjadi beban lainnya, sebab memang tidak mudah mengubah paradigma masyarakat yang sudah terlanjur eksklusif. Tidak hanya perlu tenaga, strategi dan waktu yang tidak sedikit untuk mewujudkannya, tapi juga perlu pengorbanan tulus karena usaha itu boleh jadi mengancam posisi dan kehormatannya di mata kelompoknya.

Sikap yang tulus berarti juga nothing to lose. Inilah prasyarat seseorang untuk menjadi berani. Dalam kisah-kisah kepahlawanan, para pahlawan adalah mereka yang memiliki modal untuk bertindak, entah itu modal materiil maupun modal mental. Bukankah Gatotkaca, misalnya, sudah lebih dulu punya kesaktian khusus dan kedudukan tinggi sebagai putra seorang Pandawa maka kemudian ia pun berani keluar memberantas kejahatan?

Gus Dur, pahlawan kemanusiaan kita, bahkan telah memiliki posisi kultural yang kokoh sehingga memberi peluangnya untuk bergerak. Meski demikian, kerelaannya untuk kehilangan posisi sebagai pemimpin negara yang seharusnya semakin membuka lebar kesempatannya untuk berjuang demi nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan merupakan pengorbanannya yang menyakitkan namun sepadan.

Dengan demikian, kerja untuk menyebarkan nilai-nilai keberagaman jelas bukan tugas yang gampang. Bagi pemimpin agama tugas ini bahkan bukan semata tugas di atas kertas bermaterai, melainkan tugas seumur hidupnya. Ia juga tak hanya memerlukan panggilan jiwa tapi juga dukungan dari semua elemen hidupnya, entah itu keluarga, ekonomimya maupun status sosialnya.

Ia juga harus mampu menahan diri ketika sudah berada di posisi tertinggi dalam kehormatannya untuk tidak terlena dan terbawa arus kepentingan dirinya dan kelompoknya. Ia harus rela untuk tidak populer dan melawan budaya egoistis dalam iklim politik elektoral dewasa ini.

Apabila keberagaman adalah sesuatu yang niscaya sehingga niscaya pula kebenarannya, maka benarlah kata petuah lama: “Katakanlah yang benar walau itu pahit.”




Penggerak GUSDURian Banjarmasin. Guru di Ponpes Darul Hijrah Putri Martapura.