Januari 2020, sebelum pandemi covid-19, saya berkesempatan ziarah ke makam keluarga Ponpes Tebuireng. Salah satu yang menarik bagi saya dalam ziarah waktu itu adalah ketika melihat makam Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Betapa tidak, jika makam dua tokoh pendahulunya, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, adalah makam Pahlawan Nasional, maka makam Gus Dur dikenal sebagai makam Pejuang Kemanusiaan.
Pada nisan Gus Dur terukir: “Here Rest a Humanist (Di Sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan).” Membaca kalimat itu, pikiran saya seketika melayang, membayangkan sosok kosmopolit Gus Dur yang selalu mengedepankan nilai kemanusiaan dan membela kaum yang tertindas.
Pesan Gus Dur, sebagaimana dikutip dari Maman Imanulhaq dalam Fatwa dan Canda Gus Dur: “Mari kita wujudkan peradaban di mana manusia saling mencintai, saling mengerti, dan saling menghidupi.”
Perjuangan kemanusiaan menjadi satu bagian penting dalam kehidupan Gus Dur.
Kontak dengan Gus Dur
Saya tidak pernah bertemu dengan Gus Dur. Sewaktu Gus Dur hidup, saya masih seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa yang hidup di satu desa di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Namun, sewaktu kuliah, sedikit demi sedikit, pemikiran teacher of the nation (guru bangsa) ini turut mengisi ruang wawasan saya. Bagi warga PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) mustahil rasanya jika tidak mengenal sosok Gus Dur. Ah, bahkan Gus Dur tidak hanya terkenal di kalangan pengagum namun juga penghujat.
Semakin kenal Gus Dur, semakin paham bahwa dia bukan sekadar tokoh nyentrik yang dikenal lewat guyonan: “Gitu aja kok repot.” Juga bukan sekadar tokoh kontroversial yang sering distigma kalangan penghujat, seperti, karena pembelaannya kepada Inul dalam kasus goyang ngebor, atau pernyataannya kalau: “Tuhan tidak perlu dibela.” Melainkan, Gus Dur merupakan sosok luar biasa yang pemikirannya mewarnai perkembangan Islam Nusantara. Dia adalah guru bangsa yang menggoreskan tinta emas untuk kemajuan Indonesia, khususnya dalam pembinaan moral bangsa.
Salah satu pemikiran Gus Dur yang terkemuka adalah soal Pribumisasi Islam. Sebuah gagasan yang mengajarkan untuk menjadi manusia yang taat beragama dan tetap berbudaya. Lewat pemikirannya Gus Dur mengajarkan Muslim Nusantara untuk berislam tanpa kehilangan identitas kebangsaan. Selain itu, Islam yang disuarakan Gus Dur adalah Islam ramah yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur mengingatkan bahwa, “Islam… mengajarkan hidup tanpa kekerasan.”
Pada Juli 2022 kemarin, kesempatan untuk semakin akrab dengan sosok Gus Dur kembali datang, ketika beberapa teman Gusdurian Bolsel mengajak untuk membersamai kegiatan-kegiatan Gusdurian. Hadirnya Gusdurian di Bolsel tentu memberi dampak positif, misalnya lewat kegiatan “Bacirita Gus Dur” yang telah berlangsung selama beberapa bulan belakangan, turut mewarnai tradisi keilmuan di Bolsel yang terbilang masih sepi dengan agenda diskusi keilmuan.
Pemikiran Gus Dur untuk Masyarakat Bolsel
Memajukan Gusdurian sama halnya menghadirkan pemikiran Gus Dur di Bolsel, sehingga kegiatan Gusdurian Bolsel selain punya potensi membangkitkan tradisi diskusi, juga dapat merawat semangat Islam ramah. Hal ini makin terasa urgen ketika kita memahami struktur masyarakat Bolsel.
Bolsel dengan masyarakat yang multi-agama: Islam, Kristen, dan Hindu; serta multi-etnis: Bolaang Mongondow, Bolango, Gorontalo, Sangir, juga ada Cina dan Arab, merupakan masyarakat majemuk. Sehingga, merawat toleransi antaragama dan etnis adalah hal yang amat penting dalam upaya menjaga kehidupan yang damai.
Semangat gerakan dan pemikiran Gus Dur menjadi berarti dalam warna kehidupan masyarakat Bolsel. Lewat Pribumisasi Islam Gus Dur, misalnya, kita dapat memahami salah satu hal penting dalam keberagamaan di Bolsel adalah berislam dengan mengedepankan kerukunan antarumat beragama.
Sebagaimana Gus Dur dalam Pribumisasi Islam menjelaskan, “Pendekatan sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa….” Dalam hal ini, sebab masyarakat Bolsel adalah masyarakat multi-agama, maka merawat kedamaian dalam kemajemukan menjadi satu hal yang amat penting, agar kehidupan yang damai terus terjaga.
Maka yang dibutuhkan adalah wajah Islam ramah yang bukan memukul namun merangkul non-Muslim. Sebagaimana Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita menjelaskan, “…mayoritas kaum Muslimin (terutama para ulama Indonesia), memegang arti Islam sebagai pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum non-Muslim.”
Masyarakat Bolsel dapat terbilang sudah berkesadaran hidup majemuk. Kondisi ini semakin didukung dengan pemerintah setempat yang juga memerhatikan toleransi antarumat, seperti membangun tiga rumah ibadah: masjid, gereja, dan pura yang menjadi simbol ikonik Bolsel sebagai daerah toleransi. Maka spirit pemikiran Islam ramah Gus Dur, yang dihidupkan lewat giat Gusdurian, punya potensi untuk merawat wajah Islam ramah itu.
Selain masyarakat yang multi-agama, Bolsel juga memiliki masyarakat Muslim yang multi-paham. Ada Muslim tradisionalis–warga NU dan masyarakat Muslim secara umum–serta ada juga Muslim puritan–warga Muhammadiyah, Wahdah Islamiyah, dan tidak lupa juga Salafi–yang mewarnai keberislaman di Bolsel. Sehingga, toleransi tidak hanya dibutuhkan untuk Muslim dan non-Muslim, namun juga antara sesama Muslim.
Dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur mengingatkan bahwa dalam berislam, “Perbedaan pandangan atau pendapat adalah sesuatu yang wajar bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif kita, sehingga tidak perlu ditakuti…. Yang dilarang oleh agama Islam adalah perpecahan, bukannya perbedaan pendapat. Kitab suci al-Qur’an menyatakan; ‘Berpeganglah kalian pada tali Allah, dan jangan terpecah-pecah… (QS Ali Imran (3): 103). Dengan demikian, perbedaan diakui namun perpecahan/keterpecah-belahan ditolak oleh agama Islam.”
Islam ramah yang diajarkan Gus Dur tidak hanya menghendaki hubungan baik Muslim dengan non-Muslim, namun juga mengedepankan sikap saling menghormati dalam perbedaan keberislaman. Hal ini menjadikan nilai-nilai pemikiran Gus Dur penting dalam upaya membina serta merawat rasa saling mengasihi, memahami, dan menjaga kedamaian masyarakat Bolsel.