Cerita Maman Suherman Bertemu Gus Dur, Zainudin MZ, hingga Almarhum Ayahnya di Padang Arafah

“Ada uang buat kamu, dan ini rezeki kamu, kamu mau ke mana bebas,” kata Jakob Oetama kepada Maman Suherman

Jakob Oetama, adalah seorang Pimpinan Umum Harian Kompas, tempat di mana Maman Suherman berkarir. 

Lalu pada tahun 1991, berkat karya tulisannya, dia mendapat sebuah rezeki yang diterimanya dari Pendiri Kompas Gramedia itu, untuk berangkat melaksanakan ibadah haji.

“Saya cuman bilang satu, cita-cita orang Makassar kan cuman satu, naik haji. Kata pak Jakob: Berangkat! Jadi saya ini adalah haji yang dibiayai oleh orang Katolik dengan status abubakar (atas budi baik kantor),” ucapnya di kanal youtube Basabasi TV.

Dia pun berangkat, dan selalu terbayang sosok ayahnya yang telah meninggal pada tahun 1982.

Setelah sampai, dia bertemu dengan dua orang yang kini dianggap sebagai seorang guru yang tidak bisa ia lupakan seumur hidupnya. Dua guru itu, ialah KH Zainudin MZ dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang juga saat itu menjadi pembimbing ibadah haji.

Oleh Gus Dur, Maman dibuat tersentuh, ketika pada saat melihat Gus Dur sebagai petugas dan pembimbing haji, yang juga saat itu tengah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, tetapi masih saja ikut turun tangan mengangkat koper para jamaah.

“Dia mengajarkan hal itu ke saya. Tentang ‘kalau kamu statusnya hari ini sebagai pelayan haji, ya melayani, apa pun status duniamu’. Nah saya belajar terus dari beliau,” tutur Herman.

Tidak berhenti sampai di situ, kepada Zainudin MZ dia bertanya, mengapa harus mengikuti Wukuf dan Tawaf. Zainudin pun menjelaskan semuanya. Karena dia seorang wartawan yang suka bertanya, Maman bertanya lagi mengenai apa makna Wukuf di Padang Arafah.

“Zainudin MZ menceritakan panjang lebar, tapi yang dibilang Zainudin MZ adalah minta apa yang ingin kamu minta dan lepaskan saja enggak usah punya beban.”

“Saya nanya ke Gus Dur bener nggak penjelasan Zainudin MZ. Kata Gus Dur: ikuti saja, gitu aja kok repot,” ucap Maman

“Jadi kalimat ‘gitu aja kok repot’ ini saya sudah dengar tahun 1991,” lanjutnya.

Pendek kata, Maman pun duduk di Arafah menghadap padang pasir yang kosong. Di sampingnya ada seorang mualaf bernama Haji Cahyono, mas Jojon Jayakarta Group, juga ada Warisman, Doyok, dan Kadir yang sama-sama menghadap di padang tandus itu.

Di sinilah ia berdoa dan meminta ingin sekali dipertemukan dengan almarhum ayahnya. Ia melafalkan Surah Al-Alaq di tengah-tengah kerinduannya. Hingga akhirnya doa itu dikabulkan. Bapaknya datang menemui dan mengusap kepalanya.

“Di tengah-tengah rindu bapak, tiba-tiba ada orang jalan pakai baju ihram, cuma memegang kepala saya dan mengatakan terima kasih kamu sudah mendoakan. Saya lihat itu bapak saya, dan saya jatuh pingsan karena kaget, (padahal kan) dia sudah meninggal,” ujarnya

Setelah sadar, akibat terperanjat., dia pun dimarahi, dimaki-maki oleh kerabatnya. Maman dicecari pelbagai pertanyaan, “Kamu nggak minum ya? Kamu dehidrasi tadi ya? Kami semua ketakutan.”

”Saya minum kok,” kata Maman kepada kawan yang risau ketakutan.

“Lalu mengapa (kamu pingsan)?”

“Kalian lihat orang yang lagi jalan tadi?” tanya Maman

“Lihat. Dia pegang kepala kamu, lalu dia pergi. Itu orang salah tenda. Dia bukan jamaah tiga utama. Dia salah tenda. Tendanya di tempat lain, makanya dia pergi,” temannya menyahut

“Itu bapak saya,” sahut Maman kembali

Karena itu, hari itu juga Gus Dur berkata, agar membadalkan ayahnya untuk berhaji, ”Tahun depan badalkan papa kamu untuk berhaji,” kata Gus Dur.

“Saya cuman bilang, ‘Gus tahun ini saja abubakar (atas budi baik kantor), gimana tahun depan?'”

Zainudin mencolek. “Dengerin aja,” katanya.

“Tahun depan Jakob Oetama kembali membiayai saya naik haji. Dan saya bisa membadalkan orang tua saya,” pungkas Maman.

(Artikel ini pertama kali dimuat di nulondalo.online)

Penggerak Komunitas GUSDURian Bone Bolango, Gorontalo.