Greta Thunberg, saya pertama kali membaca kiprahnya beberapa tahun yang lalu. Mungkin di awal-awal kuliah, saya tidak ingat pasti. Aktivis lingkungan muda dari Swedia. Pada usia 18 tahun dia memulai mogok di gedung parlemen Swedia. Dia melakukannya sendiri, setiap hari Jumat. Heroik sekali, seorang anak melakukan protes sendirian. Tapi itu dulu. Sekarang, setiap orang—setidaknya aktivis lingkungan—kenal siapa itu Greta Thunberg.
Darinya saya mulai membaca sedikit demi sedikit isu lingkungan. Selain itu persinggungan dengan istilah-istilah eco-Marxis, atau eco-feminis, gerakan ekonomi hijau serta mengikuti—tidak terlibat secara langsung—kegiatan-kegiatan lembaga seperti Greenpeace, WALHI, dan semacamnya, menjadikan saya sedikit lebih tahu dengan isu lingkungan. Climate change, sampah plastik, deforestasi, dan semacamnya. Secara tidak langsung, saya memandang ini berkaitan langsung dengan negara dan sistem.
Selain perebutan kursi di parlemen oleh politisi—maupun aktivis-aktivis senior yang penasaran bagaimana empuknya kursi pemerintahan—persoalan lingkungan juga menjadi penyebab sikut-menyikut antara pemerintah dan NGO bidang lingkungan. Yang terkenal itu, dan paling ter-update adalah perseteruan antara Greenpeace dengan Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar terkait deforestasi.
Ultra-nasionalis, bolehkah saya memanggil Ibu Menteri dengan cara seperti itu? “Pembangunan besar-besaran di era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” katanya. Saya akui, pernyataan itu sangat berani. Karena isu perubahan iklim dan deforestasi sangat esensial, dia tanpa tedeng aling-aling, langsung mendaratkan sebuah anti-tesis.
Saya harus mengakui satu hal di sini. Saya punya kebiasaan membaca berita media tentang anak miskin yang putus sekolah, membaca postingan Greenpeace tentang perubahan iklim, menyaksikan orang-orang yang meminta-minta di lampu merah, lalu mengutuk-ngutuk kapitalisme. Kapitalisme adalah kosakata lain dari perang, krisis iklim, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan keadaan yang masih serumpun dengan itu.
Modal adalah sesuatu yang berada pada tingkatan tertinggi dalam piramida kapitalisme. Kapitalisme melalui sifat dasarnya memaksa kita memandang bumi sebagai perempuan yang “digarap” dan dieksploitasi, bukan sebagai ibu yang harus disayangi. Pemerkosaan terhadap bumi adalah perkosaan terhadap peradaban.
Bumi adalah Ibu
Beberapa waktu yang lalu dalam Kelas Menulis Esai Creator Academy yang diadakan oleh Jaringan GUSDURian, saya sempat berkenalan langsung dengan salah seorang aktivis lingkungan. Mungkin kurang tepat, karena dia berasal dari sebuah NGO yang bergerak pada bidang perempuan. Tapi dia adalah salah satu pendamping Wadon Wadas. Wadon Wadas adalah gerakan perempuan di desa Wadas, Purworejo yang mendapat sorotan dalam beberapa tahun belakangan karena berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman pembangunan bendungan di sana.
Dia biasa disapa mbak Ari. Melalui pengakuannya, dia mengunjungi Wadas dalam rangka monitoring satu kali dalam seminggu. Dia jauh-jauh dari pulau Bangka Belitung untuk berkhidmat di Yogyakarta. Saya tidak ingat lagi semua cerita-ceritanya—maaf, lupa direkam—tapi yang jelas secuil motivasi tertanam dalam diri saya melalui penuturan-penuturan dan esai beliau.
Bumi adalah ibu. Saya—dan kawan-kawan—mendapatkan kalimat itu dari mbak Kalis Mardiasih dalam kegiatan tersebut. Walaupun nyatanya bukan dia orang pertama yang membuat kalimat itu, namun bunyinya terdengar sangat estetik sekali di telinga. Mungkin karena keluar langsung dari mulut seorang Kalis Mardiasih—Mbak Kalis, kalau secara kebetulan Mbak membaca tulisan ini, tolong jangan kepedean, please Mbak.
Bumi dan ibu. Secara fungsional sama: sama-sama memberikan kehidupan. Tunggu, saya teringat satu kalimat, makanya harus saya tulis; dia yang melahirkan peradaban tidak pantas untuk dilecehkan. Eaa… gila, keren sekali saya. Sebab, kapitalisme memandang bumi, tanah sebagai peluang untuk menggarap dan membentuk alat produksi, dan kemudian menggandakan modal mereka.
Menyibak Kesadaran Kecil
Kemudian juga ada teman saya. Dia aktif sebagai seorang jurnalis sejak di kampus. Namun kiprahnya juga bukan sampai di sana. Dia merambah ke dunia persoalan lingkungan. Setidaknya dia pernah memposting dirinya berpose dengan sebuah lembaga lingkungan di sungai Batang Arau, Kota Padang. Beberapa orang termasuk dia berpose dengan memegang poster yang memuat protes. Entah dia bergabung sebagai anggota atau turut berpartisipasi dalam kegiatan itu, saya tidak tahu.
Korporat yang membabat hutan bukan rahasia lagi. Pabrik tekstil yang limbahnya mengotori lingkungan cukup banyak mendapat pemberitaan. Restoran cepat saji yang menyumbang berjuta-juta ton sampah plastik juga ada. Hubungan korporat, pabrik, restoran cepat saji dan permasalahan lingkungan bersifat intersubjektif dengan cara yang amat mesra. Hubungan mereka coba diganggu oleh aktivis-aktivis lingkungan, di beberapa tempat mungkin berhasil, di banyak tempat tidak berarti. Hai, yang penting itu MODAL kawan!
Agak sulit untuk dapat menemukan kesadaran atas narasi “bumi adalah ibu” di kalangan-kalangan bos-bos korporat. Tapi saya juga tidak bisa mengatakan bahwa kesadaran seperti itu terdapat di kalangan rakyat biasa yang lebih dekat dengan bumi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan penggunaan sampah pada 2021 mencapai angka 68,5 juta ton, dan 11,6 di antaranya adalah sampah plastik—wiiih, ternyata ada juga positifnya KLHK.
Data ini berbanding lurus dengan data yang menunjukkan masyarakat Indonesia yang konsumtif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat berdasarkan atas dasar harga berlaku (ADHB) pengeluaran rumah tangga di Indonesia mencapai 9,41 kuadriliun. Dan lagi-lagi, sengsara membawa nikmat, di dalam keburukan juga terdapat kebaikan, menurut Fabrice Carrasco, Managing Director Indonesia-Vietnam-Phillipines Kanal WorldPanel (KWP) perilaku konsumtif itu turut menopang ekonomi masyarakat Indonesia di era Covid-19.
Sebagai contoh, sungai Batang Arau, sebagai tempat di mana kawan saya tadi melakukan protes, merupakan aliran sungai yang airnya sangat hitam pekat. Berdasarkan penelitian oleh Tim Ekspedisi Sungai Nusantara menemukan banyak mikroplastik di dalamnya, 420 partikel mikroplatisk dalam 100 liter, atau tiga kali lipat di atas baku mutu air. Saya tidak terlalu bisa membaca data ini, tapi melalui pengamatan secara langsung, karena saya kuliah di Kota Padang, kualitas airnya memang sangat buruk.
Di tempat air yang hitam, dipenuhi tumpukan sampah, di sana juga digunakan untuk aktivitas mencuci, mandi, memancing. Bukan membandingkan, tapi semacam sikap prihatin, terkadang saya berpikir, di desa, kami memang mandi di sungai, tapi airnya jernih, bersih, langsung dari pegunungan, tapi di sini keadaan airnya memperihatinkan.